T I G A ; Bakso Chuangky

131 23 2
                                    

Cafe Sunshine tengah ramai-ramainya, padahal menu dalam beberapa carik kertas yang ditata sedemikian rupa hampir mirip warkop di pinggir jalan. Bedanya, indera pengecap pengunjung kala menyesap secangkir hangat akan dimanjakan dengan ke autentikkan rasa, seperti zaman sembilan puluhan. Di tambah harga terjangkau yang sesuai dengan budget remaja yang hobi nongkrong sampai larut malam.

Sejujurnya tiap deret dalam menu, Zee hanya sekedar meniru resep sang Kakek terdahulu. Itu pun dari bantuan Nenek. Ingat sekali, awal tahun 2020, ia harus rela terseok-seok menjelajahi pelosok desa, hanya demi secarik kertas yang telah memudar warnanya.

Lengan kekar miliknya tergerak, mempersiapkan kopi hangat khusus untuk orang paling spesial. Kalau kata Bu Imas— penjual nasi goreng di samping cafe yang hanya buka kala malam menyapa, sebelas duabelas dengan warung soto Mamang Cecep. "Spesial pakai telur, sama karet hijau dua."

Secangkir kopi aren telah tersaji diatas nampan, dengan relung hati berbunga-bunga seperti motif baju Mama saat ingin arisan di rumah Bu Jaenab. Zee melangkahkan kedua tungkainya, menuju satu titik yang tengah netranya sorot.

"Sayang, ini Aa buat kopi aren," gumam Zee, sembari jemarinya meletakkan secangkir kopi dihadapan sosok spesial.

"Meni repot-repot, aku cuma sebentar di sini."

"Sampai jam berapa? Nggak mau makan siang di sini aja?"

Sosok spesial mengela napas, "maunya sampai makan siang. Tapi aku ada kerjaan, habis itu mau beliin ponsel buat si Bunda."

"Aku antar aja ya? Lagi pula, masih banyak karyawan-karyawati yang bisa gantiin pekerjaan aku."

"Nggak perlu, Aa. Aku harus bolak-balik, nanti kamu malah kecapean."

Dasarnya kepala batu. Zee bersikukuh ingin mengantar Nunew, alibinya ia sekalian ingin membeli ponsel baru. Padahal, bulan lalu saat kejadiaan yang sama persis— alibi Zee sama yaitu ingin membeli ponsel baru.

"Bulan lalu bukannya udah beli ya, Aa? Waktu kamu anter aku beli ponsel Bunda juga."

"Masa sih? Tapi ponsel aku udah lemot lagi."

"Dusta kamu itu mah— udah ya, aku mau lanjut kerja, ini totalnya jadi berap—"

"Naon sih kamu, kopi hiji wae mesti pisan minta bill pembayaran," keluh Zee, dengan netra mendelik setajam pisau dapur Bunda. "Biar aku yang bayar, kamu mah pergi aja."

Nunew tertawa kecil, lebih tepatnya terkekeh untuk mencairkan suasana. "habis selesai urusan, aku traktir kamu makan bakso chuangky di taman kota."

"Janji?" tanya Zee, mengulurkan jemari kelingkingnya ke hadapan Nunew.

Nunew guratkan senyuaman, sebelum menautkan kelingkingnya dengan milik Zee. "Janji, Aa kasep."

"Aku pergi dulu ya?" gumam Nunew, mengecup pipi Zee. Kemudian melangkah pergi.

Punggung sempit Nunew semakin menghilang, bersama dengan lonceng diatas permukaan pintu berbunyi. Setelahnya satu dari banyaknya karyawan, Zee pinta mendekat melalui lirikan mata.

"Jan, bersihin meja ini," ujar Zee, menepuk-nepuk bahu Ojan— si barista. Setelahnya melangkah menuju ruang kerja.

Di ruang putih, berhiaskan bingkai-bingkai penuh memori. Zee singgahkan diri pada permukaan kursi yang memiliki roda, atensinya ia arahkan pada satu bingkai berisikan Nunew seorang. Oh pahat lelaki yang ia puja, sebegini gila. Begitu jelita, berhiaskan senyuman bagaikan pelita saat pemadaman lampu di Ibu kota.

"Selalu saja cantik. Seperti kamu tuh sudah merenggut setengah napasku, kira-kira nih ya nanti malam aku akan sesek napas nggak ya?"

Monolog-monolog puja tentang indahnya ciptaan sang pencipta, melalang buana ke tiap sudut ruang. Diiring alunan musik klasik, ia raih bingkai paling ia sukai di muka bumi. Menggerakan benda tersebut bersama dengan tubuhnya, seakan tengah berdansa di bawah rembulan malam. Seperti yang ia saksikan, saat drama terputar pada tivi ruang tamu.

"Memori ini, akan aku buat abadi dalam sanubari. Hiruk-pikuk perjalanan akan cinta yang begitu meninggalkan kesan, lekas ku ukir dalam jutaan batu milik lautan."

➖➖➖

"Bakso chuacky dekat rumah aku enak, sekalian si Mama pingin ketemu kamu. Katanya mah kangen berat, sampai meledak."

Seperti biasa. di tengah kepadatan jalan raya, berhiaskan lautan langit senja, dua anak adam penuh jalinan asmara menyinggahkan diri pada vespa hitam milik satu diantara mereka.

"Si Mama yang kangen atau kamu? Biasanya juga Mama telepon dulu, kalau kangen aku."

"Meni lupa si Mama pasti, Sayang. Kan udah berusia, jadi harus maklum— aduh, jangan di ciwit pinggang aku."

Dua jemari— Ibu serta telunjuk milik Nunew masih senantiasa berputar, memilin perpotongan pinggang sang pengemudi vespa. Sampai ringinsan tak berdaya, menjadi penutup kekerasan tak berumah tangga.

"Kamu jangan suka ciwit kitu, nanti aku hilang fokus."

Nunew geming, setelahnya berkata, "kalau kaya gini, boleh?" tanya pemuda, sembari menggigit bahu berlapiskan jaket hitam tebal.

"ADUH! AMPUN, PENYIKSAAN PISAN AIH KAMU MAH."

Belah bibir Zee segera saja Nunew bekap menggunakan telapak tangannya. Netra jelitanya bergerak ke sana-serta kemari, bersama gurat senyum paksa. Sebab saat ini dirinya beserta sosok pengendara— Zee tengah menjadi pusat perhatian.

"Kamu jangan suka teriak. Nanti orang-orang sangkanya aku apa-apain kamu," peringat Nunew, mengeratkan pelukkan. Dan menenggelamkan wajahnya pada punggung lebar Zee.

Tawa layaknya baru saja memenangkan permainan berhadiah jutaan rupiah, melewati belah bibir Zee. "Makanya jangan suka jahil sama aku."

"Kalau kamu nggak nyebelin, aku mah cicing pasti."

Melalui perdebatan sengit, antara siapa yang salah dan benar. Mengiri perputaan roda, sampai tak terasa wangi aroma chuangky memanjakan hidung bangir kedua Insan adam. Dengan segera si hitam Zee parkirkan dekat trotar jalan perumahaan, setelahnya ia menggandeng lengan Nunew, sembari membubuhkan langkah. Seakan mengejek makhluk ciptaan sang pencipta lain, "lihat nih pacar aing, meni cakep pisan."

"Kamu mau pesen apa? Atau mau satu grobak wae?"

"Ngawur, kamu! Aku satu porsi komplet ya, banyakin siomay."

"Cerewet," gumam Zee, menarik hidung bangir Nunew menggunakan kepitan jemari.

Nunew meringis keasakitan, memukul-mukul permukaan perut berotot Zee. Walau, amat nihil sebab sampai sepersekian detik, kepitan tersebut tak kunjung di lepaskan.

"Zee, sakit! Kamu apa-apaan sih, aduh hidung aku," keluh Nunew, selepas diberi kebebasan.

"Habis kamu lucu banget sih, jadi aku gemes pingin unyel-unyel."

"Maaf menanggung, tapi kalian jadi beli bakso saya atau nggak? Kalau nggak, saya mau lanjut keliling."

Zee melongo, hampir saja ia terlupa ada abang chuangky yang menunggunya berpaling dari hadapan Nunew. Segera, ia putar tubuhnya, tak lupa dengan cengiran layaknya kuda baru saja mendapatkan rerumputan.

"Maaf, Kang. Lupa, soalnya pacar saya cakep banget— lihat deh, Kang. Tapi jangan sampai naksir ya! Cakep pisan kan pacar saya?" gumam Zee, sambil menunjuk-nunjuk Nunew di balik tubuhnya.

"Jangan aneh-aneh, atau aku gigit kamu," bisik Nunew, diiringi satu ciwitan yang menghadilkan ringisan.

Bandung [ZEENUNEW] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang