T U J U H ; Satu Hari Bersama

109 21 6
                                    

Sedari tengah malam, sampai pagi menjelang. Kedua anak adam di ruang tamu masih saling mendekap, netra mereka tertutup rapat, ruh-Nya seakan berkelana dalam alam bawah sadar penuh akan suka cita, sementara tubuh keduanya tergeletak di permukaan karpet.

"Hey, kalian bangun. Jangan tidur di ruang tamu, kasihan badanya sakit," Papah menggunjang tubuh dua anak adam, sebab tak kunjung membuja mata. Beliau dengan jahilnya menutup akses pernapasan satu diantara keduanya menggunakan dua jemari.

"NU, AKU TENGGELEM! HUH... HAH... AKU NGGAK BISA NAPAS," dengan hebo, Zee menjerit-jerit. Seingatnya, ia tengah berduaan dengan Nunew di cafe.

Sosok di samping tubuh Zee sontak bangkit guna menegakkan tubuhnya, raut khawatir terpancar, walau netranya menyorot sayu-sayu. Sekirannya terlalu dini untuknya terbangun, sebab hari ini ia telah memutuskan mengambil cuti. Itu pun harus menanggung akibat, pekerjaannya ditambah dengan milik seniornya.

Astaga! Sungguh, kalau saja ia tak ingat akan berpisah satu bulan lagi mungkin Zee sudah ia pukuli sampai babak belur. Mimpi indah yang telah terangkai layaknya untaian kalimat dalam buku dongeng harus sirnah, sebab teriakan nyaring Zee seperti milik Ibu-Ibu komplek sebelah yang tengah mencari suami mereka.

"Kamu ini apa? Itu hidung kamu cuma di tutup Papah," keluh Nunew.

"Aku manusia, kamu aneh. Kok aku malah ditanya aku ini apa?" Zee menggaruk perut, kemudian belah bibirnya terbuka lebar meraup serakah oksigen di sekitar.

"Mulut kamu bau, jangan nguap sebesar itu. Mandi sana! Habis itu ke cafe."

"Aku sudah izin nggak datang ke cafe," ujar Zee. "Niatnya mau cicil buat beberes."

"Tetep aja kamu harus mandi. Mulut kamu nih harus di sikat, terus juga badan kamu sudah bau keringat," cicit Nunew.

"Betul, Nu. Papah aja tadi sempet hampir pingsan setelah Zee buka mulut."

Netra Zee mendelik ke arah Papah, Beliau ini mengapa tidak adil sekali pada dia ketika Nunew tengah berada di rumah. Harusnya Papah bisa menjadi bala bantuan, bukan malah mendukung kekasih hati yang tengah menjadi musuhnya. Sesaat, terbesit suatu gagasan cemerlang dari pikiran yang masih mengawang sebab kantuk masih menyerang.

Lengan Zee tergerak menggaruk ketiak masamnya, setelah itu menyodorkan baunya di hadapan indera penciuman Nunew. Sontak pemuda manis menggeram marah, raut semasam aroma ketiak Zee terpancar dari wajah manis Nunew.

"Zee, aku mau pulang sendiri. Kamu jangan pernah hubungin aku lagi, karena hubungan kita aku akhiri sampai di sini," Nunew berujar, wajahnya memerah menahan amarah yang tengah meletup-letup seperti brondong jagung pasar malam.

Kedua tungkai Nunew bergerak, meninggalkan Zee yang masih melongo. Raut wajah Zee mirip seperti kambing conge, dengan belah bibir terbuka besar layaknya gua.

"NUNEW, JANGAN BEGITU. AKU CUMA BERCANDA," pekiki Zee, kemudian berlari mengejar Nunew yang semakin mempercepat langkahnya.

"Nggak! Kamu jangan deket-deket sama aku— MAMA TOLONG, ZEE NAKAL NIH," Nunew kelimpungan, mengetahui langkah Zee semakin dekat dengannya.

"ZEE PRUK, MANDI SEBELUM MAMA SIRAM KAMU!"

Dengan separuh hati, ia hentikan langkah kaki seribunya, meninggalkan ruang makan bersama raut kekecewaan. Seakan-akan ia baru saja menelan pil pahit kehidupan. Sementara Nunew hanya tergelak, menyaksikan kesengsaraan sang kekasih hati.

Zee menolehkan wajahnya, melirik tajam netra Nunew, setelahnya ia berkata tanpa suara, "lihat saja nanti, aku akan balas perbuatan keji kamu."

"Zee, cepat mandi! Ikan Mama bisa saja bangun lagi sebab bau ketiakmu," peringat Papah, sembari menunjuk beberapa ikan yang telah tergoreng menggunakan dagunya.

➖➖➖

Zee serta Nunew memutuskan pergi berkeliling Bandung, menggunakan mobil Papah. Itu pun hasil nyogok, dengan memberikan setengah bagian ikannya pada Papah. Awalanya Nunew menolak, pemuda berkata lebih baik menggunakan si hitam butut.

"Nggak bisa pakai si butut, kemarin aku lupa isi bensinya."

Binggo! Nunew akhirnya mau duduk bersebelahan dalam mobil dengan dirinya. Tangan kanan Zee singgahkan pada kemudi, sementara yang kiri ia taruh dipermukaan paha Nunew.

"Mau kemana kita?" tanya Nunew, di sela-sela alunan musik yang terlantun berkat kaset jadul sang Papah.

"Aku mau cari baju baru, tapi bingung."

"Bingung mah pegangan."

Kesempatan tak datang dua kali. Maka dengan gerakan kilat, ia genggam tangan Nunew. Wajah sok polos ia tunjukan, dengan dalih agar Nunew tak marah. Kenyataannya memang tidak. Nunew malah tersipu layaknya remaja yang baru saja diberikan gombalan receh.

"Merah-merah gitu, kenapa? Padahal Aa cuma pegang tangannya," ujar Zee.

Nunew melayangkan pukulan, tak begitu kencang. Namun, mampu membuat Zee sedikit meringis. Maklum saja, tenaga Nunew sebelah dua belas dengan hulk. Kalau di pandang, Nunew itu kurus, sangat kurus. Padahal poris makan si manis lebih banyak dari pada porsi kuli bangunan dekat rumah. Setelah hampir bertahun-tahun ia melakukan penelitian, jatuh-bangun ia lalui sendirian. Akhirnya ia temukan jawaban, atas gagasan 'kemana semua makanan Nunew pergi?' ternyata selama ini seluruh makanan tertampung dalam dua pipi gembil layaknya sebuah mochi di swalayan.

"Kamu ini suka banget melakukan kekerasan, kalau nanti kita kenapa-napa gimana?"

Nunew berdecak, "ya, kamu lah yang tanggung jawab."

"Kan kamu yang melakukan ke kerasan ke aku."

"Jadi kamu mau salahin aku? Gitu?"

"Nggak, sayangku. Iya, aku yang salah. Maaf ya."

Nunew menangis, kepala pemuda tertunduk. Entah karena apa, hari ini ia merasa begitu campur aduk. Dalam diri seakan tengah ada yang melebur, mendesak dirinya untuk melelehkan bulir demi bulir air mata.

"Loh, kok nangis? Ada apa, sayangku?"

"Aku sayang kamu," gumam Nunew, menolehkan wajahnya. Membiarkan netranya menusuk jauh ke dalam netra teduh milik Zee.

"Iya, aku juga sayang kamu. Tapi kenapa kamu nangis? Aku ada salah kata ya?"

Nunew menggelengkan kepalanya, setelah itu guratan senyum terpancar, "nggak ada salah kata, aku cuma lagi bahagia saja atas pencapaian kamu. Aku merasa..." bulir air mata kembali meleleh, padahal ia telah tahan sepenuh jiwa raga.

"Aku merasa beruntung bisa jadi salah satu bagian terpenting dalam hidup kamu. Kalau nanti kamu sukses, tetap jadi Aa Zee yang aku kenal ya?"

Zee mengecup kedua jemarinya, mengarahkannya ke belah bibir Nunew, menempelkannya ke benda kenyal tersebut, kemudian berkata, "sampai aku tua, aku akan menjadi Aa Zee-Nya Nunew."

"aku jadi melow gini ya, padahal lagi nggak pingin nangis."

"Efek kangen aku."

"Kenapa kangen? Kan kamu ada di samping aku? Tadi malam juga kita tidur bersama, berpelukkan lagi."

"Loh? Siapa tahu aja kamu kangen aku. Kamu merasa pelukkan semalam kurang."

Di tengah lautan langit yang telah oranye, kedua Insan adam temukkan suka cita tak ingin berkesudah. Saling menggengam, dengan harapan tali hubungan mereka semakin merekat.

Bandung [ZEENUNEW] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang