7. The Farewell to The Dearest One.

20 2 0
                                    

Malam itu, aku tidak bisa tidur hingga tengah malam. Aku masih memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa menjelaskan ini kepada teman-temanku. Jika soal penjelasan kepada orang tua, mereka benar-benar menerimaku untuk berada dibawah pengawasan profesor. Walaupun ayahku hampir curiga dengan perkataan profesor, dia akhirnya setuju setelah profesor menjelaskan bahwa dia tertarik untuk membawaku bersamanya karena nilai akademik dan sikapku dan tentunya dia ingin menjadikanku anak angkatnya. Walaupun itu semua bohong, tapi nampaknya profesor tidak terlihat berbohong saat berkata ingin menjadikanku anak angkatnya. Ditambah lagi dia berkata kepada ayahku, bahwa dia akan menanggung biaya hidupku bersamanya dan juga pendidikanku di luar sana. Walaupun begitu, ayahku tetap bersikeras akan memberikan uang bulanan untuk biaya hidupku sendiri juga.

Selain aku memikirkan tentang teman-temanku, aku juga bingung bagaimana membuat ibuku tidak khawatir. Sebelumnya pada waktu aku mengalami kecelakaan, orang tuaku beserta adik-adikku pergi untuk menemani adik tertuaku untuk mengikuti olimpiade di luar kota dan mereka tahu tentang kejadianku pada saat orangtua Amin menelpon orang tuaku. Setelah telpon tersebut, malamnya mereka berangkat dari hotel mereka dan langsung pulang dengan bus dan akhirnya sampai di Palembang sehari setelahnya.
Apalagi baru bertemu satu hari, sudah ingin pergi dengan seseorang yang baru mereka kenal. Tapi, mereka setuju karna profesor menceritakan bahwa dialah yang menanganiku di rumah sakit pada saat kecelakaan dan selain mereka merasa berhutang budi pada profesor, mereka juga percaya dengannya karna mereka yakin bahwa jika misalnya jika ada masalah dengan tubuhku karena efek kecelakaan kemarin bisa disembuhkan dengan bantuan profesor. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah aku sembuh total dan aku akan pergi meninggalkan mereka agar mereka terhindar dari bahaya.

#TOK-TOK!
"Alfi?"
"Loh? Ma, masih bangun? Ada apa?" jawab ku terkejut karena ibuku datang ke kamarku pada jam selarut ini.
"Nak, kamu serius akan ikut bersama Dokter Lorentz? Jujur saja, mama sama papa agak khawatir bila kamu pergi dengan orang yang baru kami kenal. Memang benar dia seorang dokter dan kemungkinan dia bisa membantumu sembuh, tapi apa tidak apa-apa kau ingin menjadi anak angkatnya?"
Aku mulai terdiam dan berpikir, memang setiap orang memiliki keluarga, sahabat, maupun orang yang sangat disayanginya dalam hidup ini. Tapi, bagiku tidak masalah jika suatu keluarga tidak memiliki suatu hubungan darah. Jika kami masih memiliki rasa saling percaya dan hubungan batin yang terjalin kuat, jika mereka bukan teman maupun sahabat, merekalah orang yang penting di kehidupan kita ataupun bisa saja keluarga kita.
"Bagiku itu tidak apa-apa, lagipula aku bersama profesor bukan hanya tentang cederaku atau apapun. Dia entah kenapa punya sesuatu yang misterius dalam hidupnya dan tidak ada seorangpun yang belum tahu sejauh mana itu, tapi dia memberiku kesempatan untuk mencari tahu. Maka dari itu ini mungkin terlihat sebagai tanda terima kasihku padanya. Mama tidak perlu khawatir, aku pasti akan pulang dan kita semua akan bersama-sama seperti keluarga."
Itulah jawabanku, aku memang sudah membulatkan tekadku bahwa aku tidak akan membebani mereka lagi. Karena aku tahu, walaupun mereka sibuk dengan pekerjaan mereka maupun mengurus adikku pada siang hari, malamnya mereka tidak pernah tidur dengan nyenyak hanya karena memikirkan anak pertama mereka ini.

Lalu, mamaku memelukku dengan muka sedih dan hampir menangis. Setelah, ibuku keluar dari kamarku. Aku mulai kembali berpikir sendiri, mungkin ini adalah pilihan yang benar-benar harus kupilih walaupun resiko yang aku tanggung sangat besar dan setidaknya paling aman untuk kejadian yang akan datang. Aku mulai berfikir, sepertinya ini adalah tanggung jawabku karena akulah alasan orang tadi yang membuat ledakan dengan cara bunuh diri. Untungnya aku sudah diamankan terlebih dahulu oleh profesor, jika tidak mungkin diriku masih mendekam di ruang interogasi polisi ataupun sudah dihakimi dan dibawa ke penjara untuk dieksekusi keesokan harinya. Dan menurutku, jika aku bersama profesor mungkin akan lebih aman dan setidaknya jauh dari jangkauan orang-orang sindikat yang mengincarku. Walaupun begitu, aku masih ingin tahu mengapa mereka mengincarku dan untuk apa sebenarnya diriku. Akhirnya, tanpa kusadari aku pun tertidur sambil berpikir tentang apa yang akan kulakukan hari esok.

Pagi akhirnya datang membawa embun dingin dan menjadi awal hari baru ini. Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap memakai bajuku dan mulai membawa perlengkapan keperluanku. Dan akhirnya aku mulai mengangkat tas-tasku kedalam mobil profesor. Didepan pintu rumah sudah ada kedua orangtuaku yang sedang melihatku berkemas, dan sepertinya sudah kuduga kalau adikku tidak melihatku pergi. Semalam adikku tidak ikut dalam membahas tentang kepergianku dan dia hanya tidur dikamarnya, tapi aku tidak tahu apakah dia mendengar pembicaraan kami atau tidak karena kamarnya tepat satu lantai diatas ruang tamu. Mungkin wajar bagiku jika adikku masih tidur, karna dia masih lelah akibat melakukan banyak aktifitas di sekolahnya maupun diluar sekolah. Orangtuaku berkata padaku bahwa tentang akan kenceritakan tentang keadaanku nanti setelah adikku bangun, dan itu setelah aku pergi dari rumah ini.

Setelah pamit kepada orangtuaku, mereka seperti orangtua pada umumnya memberi nasihat kepada anaknya serta mendoakan anaknya agar sampai di tempat yang dituju. Aku merasa hampir menangis melihat kedua orangtuaku yang telah membesarkanku selama ini akan kutinggalkan mungkin dalam kurun waktu yang sangat lama, tetapi air mata itu aku pendam sangat dalam di hatiku agar tidak membuat mereka menjadi terbebani dengan kepergianku. Muka mereka menampakkan ekspresi yang menyakitkan di dalam hatiku terutama ibuku yang sudah mulai menangis. Setelah aku naik kedalam mobil, aku sengaja melirik ke belakang dan hanya bisa memberikan mereka senyum kecilku dan itu terasa benar-benar menyakitkan. Setelah beberapa meter dari rumahku, aku tidak sengaja melihat ada sebuah mobil van hitam yang berjumlah 3 buah dan yang aku pertanyakan adalah mengapa mobil tersebut masih ada di sekitar daerah rumahku. Akupun mulai panik setelah sadar bahwa mobil tersebut ternyata tidak hanya 3 buah van yang pertama kulihat tadi.

"Profesor......"
"Ada apa Alfi? Kau terlihat sangat panik, atau jangan-jangan kau canggung pada saat berduaan denganku? (tertawa kecil) Kukuku. Maaf tapi bukanlah manusia homoseksual jadi tolong ditahan."
#PLAK! Akupun memukul bahunya.
"Aw! Hei, aku sedang menyetir! Aku butuh konsentrasi tau!"
"Aku ingin bertanya soal van hitam yang ada disekitar daerah rumahku tadi!" Jawabku dengan kesal.
"Oh, bilang dari tadi dong! Jangan malah kau bermain seperti cowok canggung seperti itu, aku jadi malah ingin mempermainkanmu tau."
"Aku tidak suka seperti itu dan kau tau sendiri dok, aku bukanlah orang yang seperti itu."
"Bisa saja kok." Jawabnya dengan tertawa kecilnya.
"Mobil-mobil tadi dari departemenku, ups. Aku lupa bahws nanti akan menjadi tempatmu juga. (tertawa kecil) Kikiki. Jadi anggap saja sebagai imbalan karna sudah mau ikut denganku, dan keluargamu juga sudah terjamin keselamatannya kok. Lagipula kau tidak ingin mereka bermain memggunakan keluargamu kan?"
Itu benar, aku tidak boleh membuat keluargaku menderita hanya karena diriku seorang. Aku sudah memutuskan agar masalah tentang diriku tidak membebani keluargaku maupun orangtuaku, aku mulai sekarang harus hati-hati dalam bergerak maupun membuat keputusan. Walaupun itu susah, tapi aku harus melakukannya. Karna jika tidak, kemungkinan nyawa taruhannya.

The Forbidden : LegendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang