Seven (╥_╥)

1K 141 13
                                    

Jaemin masih menunjukkan gelagat ingin muntah dengan memegangi mulutnya. Sedang sang adik memasang wajah panik saat ibunya dan juga Renjun sudah masuk ke kamar.

"Jaem, lo nggak papa?" tanya Renjun yang langsung duduk di samping temannya itu.

Wajah Jaemin yang selama bertemu tadi kelihatan riang, sekarang murung dan memandang kosong. Meski wajahnya begitu tampan saat seperti itu, Renjun suka Jaemin yang berisik seperti biasa.

Kalau diam begini dan cenderung sedih, Renjun jadi ikutan sedih.

"Pasti kecolongan lagi ya nak? Lain kali obatnya diminum beneran ya, jangan cuma pura-pura." Ibunya yang seolah sudah sering dihadapkan dengan kondisi begini langsung keluar dari kamar untuk mengambil alat pel.

Jisung mengekor untuk membantu ibunya.

"Males banget anjir obat mulu bikin gue kaya orang sakit," keluh Jaemin yang langsung berubah badmood.

Renjun tidak tau harus menjawab apa tapi sikap Jaemin yang badmood itu cenderung menahan derita. Wajahnya yang murung menandakan ada sesuatu yang tertahan di dada.

"Ya kan lo emang sakit," kata Renjun, kedua tangannya mencengkeram pinggiran kasur tempat tidur Jaemin.

Jaemin sampai harus memicingkan kedua matanya karena tidak suka dengan ucapan Renjun barusan. "Gue nggak sakit Renjun! Gue sehat!" serunya galak.

"Iya, iya terserah dah." Renjun mengalah.

Tidak ada kacamata yang bertengger di batang hidungnya. Keringat dingin yang sempat keluar dari pori-pori kulitnya membuat rambut Jaemin sedikit lepek.

"Sejak kapan begini?" Renjun menatap pemandangan muntahan Jaemin di lantai sebagai pemandangan satu-satunya di dalam kamar bersih itu.

"Begini gimana?" Jaemin mengernyit, memandang cermin besar yang memantulkan bayangan dirinya duduk berdampingan bersama Renjun.

"Sering muntah begini. Nggak pernah minum obat dengan bener. Nggak inget Jeno, nggak inget Mark, nggak inget siapa-siapa."

Kerutan di alis Jaemin semakin jelas kentara, pertanda bahwa dia bingung. Dua pertama yang disebutkan Renjun benar, yang sesudahnya, Jaemin bingung.

"Gue cuma inget temen gue itu lo." Jaemin bersuara. Segelas air putih yang ada di nakas samping tempat tidurnya diraih lalu diminum.

"Nggak Jaemin, temen lo bukan cuma gue. Ada Mark, Jeno, Haechan sama Chenle. Kita ketemu pas SMA." Renjun mencoba menjelaskan dengan hati-hati.

Jika dia berkata kalau dia datang dari masa depan, apa Jaemin akan percaya?

"Gue nggak kenal mereka, Renjun." Jaemin semakin tertunduk lesu kala otaknya mencoba mengingat. Memori yang muncul selalu terbatas hanya di masa SMP dia saja.

Pembicaraan mereka pun terpotong saat Jisung masuk bersama ibunya. "Kak, lo ajak kak Renjun ke belakang dulu. Kalian ngobrol disana aja. Ini biar gue beresin dulu."

Pun Jaemin berdiri dan berjalan keluar, menggandeng tangan Renjun untuk mengikutinya.

Mereka sampai di halaman belakang rumah keluarga Na dan duduk di ayunan besar, berhadap-hadapan. Sama seperti saat masih SMP, Renjun dan Jaemin memang bersahabat dekat, saling berkunjung ke rumah satu sama lain dan bercengkerama seperti ini seperti kegiatan sehari-hari.

Namun setelah beranjak kelas tiga, mereka menjadi agak renggang. Jaemin sibuk les piano, Bahasa Inggris dan beragam macam banyaknya. Renjun membenarkan bahwa yang paling dekat dengan Jaemin saat SMP adalah dirinya.

Tapi setelah kelas tiga, semuanya berubah. Rasa cinta yang dipendam Renjun untuk temannya itu membuatnya bersikap segan. Terutama saat Jaemin sering ditembak dan didekati kakak kelas, adik kelas, teman seangkatan, yang dimana semuanya itu perempuan, pasti selalu melalui perantara Renjun.

Lost In Reality ✦ JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang