Bab 5

9 0 0
                                    

Menutup pintu lalu mengunci---mengurung diri di kamar rasanya lebih seru daripada mendengar omelan Mamanya yang tiba-tiba datang membuat keributan. Bahkan lucunya lagi karena ulah Mamanya tumpukan rasa bersalah Keenan semakin menggunung pada gadis tadi. Desah napas kasar keluar, langkah kakinya yang sedikit gontai menuju ke arah balkon. Membuka tirai lalu di susul jendela. Sepasang mata hitam itu langsung mengarah ke balkon seberang yang tengah tertutup rapat. Masih bergeming ditempat---tanpa peduli rintik air hujan terbawa angin mulai membasahinya.

Keenan kembali teringat akan pertemuannya bersama gadis tadi. Semua itu berawal dari pancake yang Mbok Imah dapat dari tetangga sebelah---katanya. Merasa tergiur dengan iming-iming Mbok Imah, Keenan kembali turun menemuinya. Mengambil pancake yang hanya tersisa satu di atas meja. Jangan ditanya siapa lagi yang menghabiskan jika bukan Mbok Imah. Tanpa di suruh Keenan beranjak keluar rumah melihat awan gelap yang berkumpul diatas sana dengan perasaan sedih---di ikuti rintik-rintik air hujan mulai turun. Hujan adalah satu kata yang cukup mengandung mantra kuat bagi Keenan. Hujan selalu membawa dirinya kembali pada kejadian beberapa hari lalu.

Keenan hendak masuk kedalam rumah tapi semua itu hanyalah angan-angan ketika dia mendengar suara sepatu bertabrakan dengan kerasnya lantai semen. Melihat dari sela-sela gerbang lalu memelototkan matanya secara spontan, begitu gadis yang menjadi bayang-bayang Keenan beberapa hari ini ada didepan mata. Keenan mendongak lalu mengambil payung dengan gesit begitu dia rasa hujan deras akan turun sore ini. Berlari keluar gerbang dan menarik lengan gadis itu sedikit keras. Alhasil tubuh mungil itu menubruk dada bidangnya. Sementara salah satu tangan Keenan memegang payung untuk melindungi tubuh mereka. Dan moment itu hancur berantakan saat namanya di panggil Sintia.

"Jangan pernah ngintip gue dari sana lagi!" teriakan seseorang dari seberang cukup membuat Keenan mengerjapkan matanya beberapa kali lalu beralih ke pusat suara dengan tatapan sulit di artikan. Sementara sang gadis sibuk merangkai kata sambil menggosok-gosok rambutnya yang basah mengunakan handuk. Setelah insiden tak terduga tadi Bella langsung masuk kedalam kamar, mengabaikan teriakan Mamanya terus-menerus bertanya. Dan lebih mengejutkan lagi, setibanya di kamar dia mendapati cowok tadi adalah pemilik kamar sebelah.

"Gue bakal aduin lo ke komnas HAM!" teriaknya disela-sela air hujan yang turun semakin deras. Membuang napas kasar lalu beralih menatap kearah lain.

"Ngapain?" sahut Keenan santai---mencoba tak menunjukan sisi keterkejutannya setelah mengetahui bahwa kamar sebelah adalah milik gadis di bawah hujan. Ya sebelum tahu nama gadis itu mungkin panggilan 'Gadis di bawah hujan' akan lebih cocok.

"Ya, ngadu. Ngadu kalo ada tetangga mesum!"

Keenan mengernyit. "Mesum? Siapa?"

"Ya elo lah!"

"Gue nggak ada maksud kayak gitu!"

"Boong! Pertama lo peluk gue tanpa ijin di bawah hujan. Kedua lo gendong gue. Ketiga lo ngintip gue dari sana saat gue asik joget. Dan keempat lo meluk gue di bawah hujan--" Bella menjeda kalimatnya membuat lawan bicaranya menautkan alisnya bingung.

"Lagi..." imbuhnya lirih, lalu menutup jendela balkon kamarnya keras-keras. Mengingat semua moment itu membuat pipi Bella merona. Jantungnya berdetak tak karuan nyaris copot dari sarangnya. Kedua telapak tangannya menyentuh kedua pipinya---panas. Bella segera menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang sambil mengacak rambutnya frustasi.

"Gue nggak mungkin baper kan?"

"Gak mungkinnnnn!!!!!" teriak Bella frustasi dengan perasaannya sendiri.

Sementara di sebuah kamar dengan aksen hitam dan putih semakin menunjukkan kesan cowokable. Keenan mendesah kecewa saat melihat gadis itu menutup jendela balkon kamarnya. Helaan napas kecewa membumbung tinggi, detik kemudian Keenan mengumpat mendapati lengan bajunya basah kuyup terkena air hujan. Terlalu fokus dengan gadis tadi membuat Keenan melupakan dirinya sendiri. Ditutupnya kembali jendela itu lalu masuk dan mengganti pakaian. Sekarang! Tidak ada kata lain kali. Keenan harus belajar. Meskipun pikiran-pikiran itu terus berkecamuk di otaknya.

KEENAN & BELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang