Lembar Kedua: Sial

1.6K 139 1
                                    

Lembar Kedua: Sial

Sudah agak lama sejak bel pulang berbunyi, tetapi tidak ada tanda-tanda anak kelas XI IPA 2 yang keluar. Buku-buku berserakan di atas meja. Meja dan kursi tidak beraturan, bergeser ke sana kemari. Begitu pula dengan siswanya. Ada yang sedang fokus menulis dengan kepala tertunduk. Ada juga yang berdiri dan berjalan keliling mencari contekan.

Yoga yang duduk di pojok belakang tidak luput dari itu semua. Sebagai siswa yang pendiam dan agak pintar, beberapa temannya mengerubunginya untuk menyalin jawaban.

Brak!

Suara pukulan pada papan tulis menghentikan aktivitas semua siswa yang berada dalam kelas. Mereka sepenuhnya menoleh ke depan.

Ketika sudah mendapatkan atensi dari temannya, Jae yang berdiri di depan membetulkan letak kacamatanya yang melorot sebelum berdeham keren. Sebagai ketua kelas yang ditugaskan untuk mengumpulkan jawaban, ia merasa lelah harus menunggu teman-temannya yang sangat lama dalam mengerjakan soal.

“Udah selesai belum? Udah mau jam empat, nih,” katanya sambil melirik pada jam dinding yang tergantung manis di tembok bercat kuning muda.

“Lo, mah, enak Jae, pinter! Lah kita-kita, nih, gimana? Makanya kalau mau cepet kasih contekan, kek,” sahut Mahesa sewot. Tangannya bergerak cepat menulis jawaban milik Prisma yang duduk di sebelahnya.

“Dasar segitiga! Kerjain sendiri, kek, biar bisa pinter kayak Jae.” Prisma menarik bukunya sambil mengumpat. Tidak mau memberi Mahesa contekan karena dirinya belum selesai mengerjakan.

Juna yang duduk di tengah-tengah ruangan tiba-tiba berdiri. Dengan senyuman lebar cowok manis itu mengangkat buku tulis miliknya. “Gue udah selesai, nih, guys. Mau nyontek, gak?”

Bagas yang duduk di sebelah Juna tidak bisa menahan untuk tidak mencibir, “Alah, palingan juga salah semua.”

“Salah semua gimana? Gue ngerjain ini dengan sepenuh hati seperti anak sendiri, tau!” balas Juna tidak mau kalah. Enak saja dia dicurigai ketika mau memberi kebaikan. “Kalau gak mau ya udah, biasa aja kali. Gue, kan, cuma nawarin doang.”

Di tengah keributan itu, sesosok cewek dengan tubuh mungil perlahan berjalan ke depan. Rambut pendeknya bergoyang seiring dengan langkahnya. Ia menyerahkan buku tulisnya pada Jae ketika sudah sampai di depannya. Dengan senyum manis di wajah cantiknya, Sinta berucap, “Nih, Jae. Gue pulang duluan, ya.”

Jae agak terpana sebentar sebelum mengangguk kaku. “Hati-hati, Sin.”

Sinta mengangguk dan memberi lambaian tangan sebelum berjalan keluar. Sosok mungilnya perlahan menghilang setelah berbelok.


*


Setelah berjuang begitu keras menyelesaikan tugas yang diberikan Bu Naya akhirnya Yoga dan Juna bisa menghirup udara segar di depan gerbang. Mereka berjalan bersama ke depan dan kini tengah berhenti di pinggir karena Juna bilang ingin merilekskan tubuhnya sebentar.

“Bu Naya kalau ngasih soal gak kira-kira banget. Udah soalnya sepuluh, anaknya juga sepuluh lagi. Nyebelin banget.” Juna menggerutu. Bibirnya mencuat pertanda ia sedang kesal.

Yoga hanya meliriknya sekilas, tetapi ia sepemikiran dengan Juna. Guru sejarah satu itu memang suka sekali memberikan banyak soal beranak. Apalagi harus dikumpulkan hari itu juga. Membuat kepala Yoga jadi berasap saja.

“Eh, Ga.” Juna yang semula berjongkok tiba-tiba berdiri dan mencondongkan tubuhnya pada Yoga dengan tatapan panik. “Gue lupa hari ini ada kerkel sama Prism–”

Belum sempat Juna menyelesaikan kalimatnya, suara teriakan cewek yang melengking membuat Juna membalikkan tubuh Yoga dan berusaha bersembunyi di belakang punggungnya.

“Juna! Sini lo!” Cewek tomboy itu menyingsingkan lengan seragamnya dan melangkah mendekati Yoga.

Ketika sampai di depan cowok pendiam itu, Prisma tersenyum manis. “Yoga, pinjem Junanya bentar, ya.” Sedetik kemudian ekspresinya yang manis berganti mengerikan ketika dia menyeret Juna yang mencoba berpegangan pada Yoga sambil berteriak histeris. Untuk tenaga, sepertinya Juna akan kalah dengan Prisma. Sebab cewek itu dijuluki sebagai premannya Diamond. Semua orang tunduk di bawah kekuatannya. Termasuk Juna yang sekarang pasrah diseret Prisma kembali ke dalam.

Yoga hanya memandangnya dalam diam. Baru setelah itu ia hendak beranjak ketika matanya tidak sengaja menatap motor merah hitam yang dikenalnya. Yoga tetap terpaku di pinggir. Dalam hati ia berharap semoga pengemudi itu berhenti di depannya.

Cowok yang mengendarai motor CBR 150R itu agak melambatkan laju kendaraannya ketika sudah agak dekat dengan Yoga. Ia hanya meliriknya saja di balik helm full face hitam yang ia kenakan. Sudut bibirnya tertarik ke atas meremehkan, kemudian ia menarik gas kuat-kuat. Meninggalkan suara deru motornya yang perlahan menjauh.

Yoga menghela napas. Memang sepertinya tidak mungkin. Ia hanya bisa menghibur diri sambil berjalan menuju gang sempit yang biasanya dia gunakan sebagai jalan pintas tercepat untuk sampai di rumah. Sebab Yoga yakin jam sudah menunjukkan pukul 4 lebih sekarang.

“Berhenti lo, bangsat!”

Masih dengan seragam putih abu-abunya yang kini sudah kotor, Yoga terus mempercepat langkahnya. Ia memutar kepalanya ke belakang, mendapati 4 pemuda kekar masih mengejarnya. Yoga menelan ludah gugup.

Ia mengarahkan kakinya untuk menyeberang jalan raya yang ramai. Tanpa takut tertabrak, pemuda jangkung itu bergerak lincah melewati kendaraan yang lewat melalui celah-celah kecil. Sesekali bunyi klakson dan umpatan ditujukan padanya karena membuat kemacetan.

Napasnya terengah-engah begitu sampai di seberang. Yoga mendongak, mengamati orang yang mengejarnya merasa kesulitan. Bibirnya membentuk lengkung tipis sebelum kembali memacu langkah.

Tiba-tiba saja dadanya terasa sakit. Yoga menggunakan tangan kanannya untuk menekan dada kirinya, berusaha untuk menghilangkan rasa sakit itu.

Dengan tenaganya yang tersisa, Yoga melewati toko-toko kecil di pinggir jalan. Ia sangat hafal dengan jalanan yang ia lewati. Tanpa takut merasa tersesat, Yoga berbelok ke sana kemari untuk mengecoh komplotan pemuda yang mengejarnya.

Seandainya bisa memilih, Yoga ingin pulang bersama kakaknya tadi daripada harus melewati gang sempit dan membuat sekelompok preman itu marah. Meski sama-sama masih mengenakan seragam putih abu-abu, Yoga tetap merasa takut karena perbedaan tubuhnya. Jika pun ia melawan, ia akan pulang babak belur akibat kalah jumlah.

Yoga berhenti di sebuah jembatan kecil. Napasnya tidak teratur. Ia melirik ke bawah di mana terdapat sungai yang deras. Lalu kembali menghadap depan. Sudah ada 3 pemuda yang menyeringai mendekatinya.

“Mau ke mana lagi lo?” Salah seorang pemuda yang rambutnya berantakan bertanya. Ia melangkah mendekat sambil melemaskan otot lehernya.

Tak ada jalan lain lagi. Yoga merasakan pening di kepalanya. Ia memijit pelipisnya sebentar, kemudian kembali melirik ke bawah sana. Ia menelan ludahnya. Memang sedari awal ini pilihannya. Setelah mengumpulkan keberanian beberapa detik, Yoga memilih melompat ke sungai yang mengalir tenang.

Dari sini ia bisa melihat mereka memandangnya kesal sambil mengumpat. Yoga menarik sudut bibirnya membentuk senyum tipis.

Ia selamat.




*



Day 2!

Ada yang masih nungguin cerita Yoga?

Diary of Yoga ✓ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang