Lembar Keenambelas: Sarapan Bersama
“Lo yakin mau sekolah?” Danny bertanya ketika mendapati adiknya sudah memakai seragam putih abu-abu dengan lengkap begitu ia masuk ke kamarnya.
Yoga menjawab dengan anggukan penuh semangat seraya mengulas senyum agar kakak sulungnya itu tidak menaruh khawatir padanya.
Kening Danny berkerut tidak suka. Ia tetap berdiri di ambang pintu dengan tangan yang masih memegang kenop pintu.
“Lo yakin?”
Entah sudah berapa kali pertanyaan serupa yang dilontarkan oleh kakaknya. Yoga tidak berniat menghitungnya. Dan jawabannya tetap sama.
Danny menghela napas berat. Bahunya yang tampak kokoh itu menurun sedikit. “Ya udah kalau gitu. Gue tunggu di meja makan,” katanya sebelum menutup pintu cokelat tersebut. Meninggalkan Yoga yang kini termenung memandangi pintu.
Ia tidak yakin apakah bisa sarapan bersama keluarganya di meja makan. Ia tidak mau jika hal itu akan memicu kemarahan ayah lagi.
Dengan pikiran yang kembali rumit, Yoga mengambil kaus kaki putih di lemari dan mulai memakainya setelah duduk di pinggir ranjang. Mencoba tak menghiraukan ajakan sarapan bersama dari kakak pertamanya.
Begitu selesai, Yoga mengambil tas biru tua miliknya yang tergeletak asal di dekat meja belajar. Ia menaruhnya di bahu sambil membuka pintu. Tak lupa juga senyum cerah terukir di wajah tampannya. Untuk menutupi segala masalah yang ia hadapi.
Begitu sampai di ruang makan, Yoga mengernyit ketika tidak melihat batang hidung sang ayah. Meski begitu ia tetap melangkah mendekati meja makan yang kini diisi oleh kedua kakaknya.
“Ck!” Decakan keras dari Jian yang pertama kali menyambutnya ketika Yoga sudah dekat. Pemuda bertubuh besar itu memutar bola matanya malas sambil meletakkan gelas kosong kuat-kuat ke meja.
“Gue berangkat,” ujarnya. Ketika melewati Yoga yang terdiam tak jauh darinya, Jian sengaja menabrak kuat bahu Yoga hingga adiknya itu terdorong hampir kehilangan keseimbangan kalau saja tangannya tidak cepat-cepat memegangi tembok.
“Lo nggak papa?” Danny bertanya. Ia begitu khawatir melihat perlakuan kasar Jian terhadap Yoga.
Yoga mengangguk pelan dan memberikan senyum tipisnya pada Danny. Membuat kakaknya itu mengelus dadanya lega sambil mengucap syukur.
Yoga duduk berhadapan di meja makan bersama Danny yang terus saja menyunggingkan senyum padanya. Melihat kakaknya yang ceria itu, Yoga berpikir kalau sikap Danny yang perhatian bukanlah kepura-puraan. Bahkan sekarang pemuda yang sudah berkuliah itu menaruh berbagai lauk ke dalam piringnya.
“Nah, makan yang banyak.” Lagi-lagi Danny tersenyum sampai matanya menyipit. Pemuda itu menghentikan kegiatan makannya. Memilih melipat kedua tangan di atas meja sambil memperhatikan Yoga yang terlihat ragu mengambil sesendok.
“Ayo makan aja. Kalau masih kurang, ini ada banyak.”
Meski agak ragu, Yoga mulai menyendokkan makanan ke dalam mulutnya. Ia mengunyahnya perlahan sambil melirik ke arah Danny yang ternyata menatapnya antusias.
“Gimana rasanya?” tanya Danny.
Yoga yang hendak kembali memasukkan makanan ke dalam mulutnya jadi berhenti. Meletakkan sendok penuh berisi nasi dan lauk itu dengan penuh kehati-hatian.
“Hmm, gimana ya.” Yoga terlihat berpikir sebentar. Danny yang duduk di seberang menjadi tidak sabar mendengar jawaban yang akan dilontarkan oleh adiknya itu. Ia sedikit memajukan kursinya dan mencondongkan tubuhnya semakin ke depan.
Sementara itu, Yoga merasa sangat bahagia. Ia sebenarnya tidak terlalu memikirkan rasa makanan yang ia makan tersebut karena sarapan bersama Danny jauh lebih mengesankan.
“Enak, kok.”
Jawaban terlontar. Namun, Danny merasa kecewa. Itu bukanlah jawaban yang ingin ia dengar. Bibirnya melengkung ke bawah dan menatap sepiring makanan di depannya tidak selera.
Suasana cepat sekali berubah. Yoga yang menyadari hal itu menjadi bingung dan sedikit gelagapan. Ia takut kalau Danny memarahinya karena telah mengeluarkan jawaban yang tidak dia inginkan. Atau yang lebih parah justru bermain tangan terhadapnya, seperti ayah mereka.
Jadi, Yoga buru-buru menambahkan kalimatnya, “Lebih enak lagi karena makannya bareng Kakak!”
Mendengar hal itu membuat suasana hati Danny berubah cepat. Perasaan yang semula mendung itu kini menjadi cerah seperti mentari. Selang beberapa detik, perasaan itu kembali seperti semula ketika mengingat ia tidak pernah sarapan bersama dengan adik bungsunya itu. Namun, saat melihat tatapan berbinar dari Yoga sekarang, Danny memberikan senyumnya agar sang adik semakin senang.
“Makasih sarapannya, Kak. Yoga berangkat dulu.” Yoga berucap sambil meletakkan sendoknya dalam posisi terbalik. Menandakan bahwa ia sudah selesai makan.
Danny berdeham singkat. “Hati-hati di jalan. Sorry gak bisa nganter lo, karena gue harus mandi dulu. Bentar lagi ada kuliah pagi.”*
Day 12!!!!
Pen bikin ilustrasi karakter disini tapi ak mager:(
Tolong beri aku semangat
Kuyy 🐮tualan di Ig @/quiriezt atau @/rieztniverse
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of Yoga ✓ [Terbit]
Teen FictionIni tentang si bungsu dari keluarga Amardika. Si bungsu yang kehadirannya ditolak oleh keluarganya. Menjadi sasaran pelampiasan sang kepala keluarga. Namun, tetap tegar dan tersenyum menghadapi peliknya kehidupan. Semua tentang Yoga Amardika. Putra...