Lembar Ketigabelas: Dipanggil BK
Juna menunggu dengan gelisah. Di dalam ruangan serba putih yang mirip rumah sakit ini hanya ada dirinya dan sahabatnya yang tengah terbaring menutup mata. Berkali-kali ia melirik ke arah Yoga yang masih terpejam. Cowok itu tak kunjung bangun juga.
Menghela napas berat, Juna menyandarkan punggungnya yang mulai pegal. Matanya bergerak memindai seisi ruangan yang kali kedua ini ia kunjungi. Sama seperti sebelumnya, dengan alasan menjaga Yoga yang sedang sakit. Namun, bedanya adalah kali ini Juna rela melewatkan jam pelajaran demi sahabatnya itu.
Ruangan yang dimodel hampir mirip seperti rumah sakit ini cukup luas. Ada 5 ranjang yang berdampingan dibatasi sebuah tirai hitam yang memanjang hingga menyentuh lantai berkeramik putih. Namun, kali ini tirai tersebut dibiarkan terbuka karena hanya ada Yoga saja yang terbaring di salah satu ranjang.
Meja dengan beberapa tumpukan buku berada di dekat pintu masuk. Tempat untuk menuliskan nama daftar pengunjung UKS yang sedang sakit. Juna sudah menuliskan nama Yoga di sana tadi.
Berikutnya ada lemari cokelat yang Juna yakini digunakan untuk menyimpan beberapa peralatan medis. Di sampingnya terdapat etalase yang menyimpan berbagai macam obat-obatan yang tidak ia ketahui namanya. Sangat banyak karena etalase terlihat penuh.
Melalui keheningan ini, Juna dapat mendengar suara detik jam yang keras. Padahal ia tidak suka jika hanya duduk diam. Namun, jika ia berbicara sendiri ketika tidak ada orang maka dirinya akan dianggap gila, kan? Meski merasa sedikit tidak nyaman Juna duduk diam di dekat Yoga seraya memanyunkan bibir tipisnya. Kebiasaan imut yang sulit ia hilangkan.
“Ju ... na?”
Juna hampir tertidur kalau saja ia tidak mendengar suara serak itu memanggilnya. Matanya langsung terbuka lebar dengan kepala yang segera menoleh pada Yoga yang kini sudah membuka matanya.
“Lo sadar?” Buru-buru ia mengambil segelas teh hangat yang sudah disiapkan di atas meja terdekat. Membantu memegangi gelas teh agar Yoga meminumnya meski hanya satu teguk.
“Shh, perih.” Yoga merengut tak suka ketika merasakan sudut bibirnya perih saat meminum teh yang tak lagi hangat.
“Ah, iya, bibir lo robek.”
Yoga tidak heran lagi karena seingatnya tadi Jian memukulinya keras sekali. Kakaknya itu seperti kerasukan banteng saja karena tenaganya sangat kuat.
“Jun ... gimana sama Dika?” Yoga menoleh, mendapati Juna yang tengah menaruh gelas tehnya yang berkurang seperempat.
“Ah, Dika? Ngapain tanya dia kalau lo lebih parah?” balas Juna mengerucutkan bibir.
“Ya, kan, tadi Dika kena pukul sama kak Jian.”
Juna menegakkan tubuhnya, menatap sahabatnya lekat-lekat. “Ga, Dika gak papa, kok. Tadi dia udah dipanggil BK dimintai keterangan. Gak usah khawatir, karena gue yakin bentar lagi guru BK bakal ngasih keadilan buat lo.”
Pintu UKS yang semula tertutup kini dibuka. Seorang siswa tinggi bertubuh gempal masuk dengan takut-takut.
“Permisi, Kak. Kak Yoga dipanggil sama Bu Jingga, katanya disuruh ke BK kalau udah sadar,” ucapnya memberitahu sambil melirik-lirik ke arah Yoga yang duduk bersandar dengan Juna duduk di dekatnya.
Dengan senyum lebar Juna bangkit dari duduknya. Mendekat ke arah siswa itu dan menepuk bahunya agak keras. “Makasih, Wan. Gue sama Yoga bakal pergi sekarang.”
Siswa yang dipanggil Wan itu mengernyitkan alis. “Tapi, Kak, yang dipanggil cuma kak Yoga aja.”
Juna menyeringai. Mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat ke arah adik kelasnya itu. “Hei, gue sama Yoga itu temen. Dan temen gak bakal ninggalin temennya yang lagi terpuruk gitu aja. Jadi gue bakal nemenin dia ke BK sekarang.” Begitu katanya sebelum kembali menegakkan tubuhnya seperti semula. “Udah, lo bisa pergi sekarang, Wan!” Seakan memerintah, Juna menggerakkan tangannya untuk mengusir Awan dari sana. Adik kelasnya itu menurut saja dan langgung keluar.
“Ayo, Ga, kita pergi sekarang!” seru Juna seraya melirik pada Yoga.
Di sisi lain Yoga meremas selimut abu-abu yang menyelimuti tubuhnya sebatas pinggang. Ini tidak benar, begitu pikirnya ketika mendengar bahwa ia dipanggil untuk ke ruang BK. Selama ini ia tidak pernah membuat masalah. Mungkinkah ia dipanggil karena Jian memukulinya tadi?
“Ga?”
Lamunannya buyar ketika Juna menggoyangkan lengannya pelan. Ia menatap pada Juna yang tersenyum lebar, seakan-akan tengah bahagia karena Yoga dipanggil BK.
“Ayo, Ga! Ini bisa jadi kesempatan emas buat menyuarakan keadilan. Selama ini lo selalu ditindas sama kak Jian. Ya, meski itu di rumah, sih. Seenggaknya mungkin dengan ini bisa bikin lo ngerasa lega kalau kak Jian dapet hukuman.”*
Day 10!
Satu kata buat Juna?
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of Yoga ✓ [Terbit]
Genç KurguIni tentang si bungsu dari keluarga Amardika. Si bungsu yang kehadirannya ditolak oleh keluarganya. Menjadi sasaran pelampiasan sang kepala keluarga. Namun, tetap tegar dan tersenyum menghadapi peliknya kehidupan. Semua tentang Yoga Amardika. Putra...