Lembar Kedelapan: Hari Minggu
Perlahan sinar mentari pagi menembus tirai cokelat yang masih tertutup itu. Ruangan yang gelap mulai terkena sinar matahari pagi sedikit demi sedikit.
Di balik selimut putih tebal terdapat seorang pemuda yang masih meringkuk. Seluruh tubuhnya tertutup selimut tebal tersebut, hingga tak membiarkan sinar mentari menyapa dirinya.
Tit-tit. Tit-tit.
Bunyi alarm terdengar. Pemuda itu mengerang dalam tidurnya. Tangan kirinya meraba-raba jendela yang tepat berada di samping kasurnya. Setelah menemukan sebuah jam persegi panjang, jemarinya menekan salah satu tombol agar alarm itu berhenti berbunyi.
Masih dengan matanya yang terpejam, ia menyibak selimutnya lalu bangkit untuk duduk. Rambutnya yang sudah agak panjang itu acak-acakan.
Beberapa saat kemudian ia berdiri setelah merasa sudah mengumpulkan nyawa yang masih berceceran tadi. Berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya setelah membuka tirai dan jendelanya. Lalu bunyi gemercik air terdengar.
Dua puluh menit kemudian sosok Yoga yang sudah memakai kaus putih dan celana pendek itu keluar dari balik pintu bercat putih. Rambutnya masih basah dengan tetesan-tetesan air dari rambutnya perlahan jatuh ke lantai. Handuk kecil terlampir di bahunya yang ia gunakan untuk mengusap wajahnya.
Melalui sudut matanya Yoga melirik pada kalender yang terpasang di dinding depan meja belajarnya. Hari Minggu. Ia menghela napasnya perlahan. Memikirkan bahwa sekarang adalah hari minggu sedikit membuatnya merasa lega.
Kini Yoga mematut dirinya di depan cermin di lemari cokelatnya itu. Ia menarik kursi dan mengambil kotak obat yang selalu ia simpan di laci meja belajar. Perlahan tangannya bergerak untuk mengoleskan salep pada luka lebamnya. Sesekali ia meringis ketika lukanya terasa perih saat diberi obat.
Luka robek di sudut bibirnya sudah mengering. Lebam yang membiru di mata kirinya kini tak lagi biru meski masih bengkak. Pipi kanannya yang tergores bebatuan kecil tajam juga sudah mengering. Yoga menarik sudut bibirnya untuk tersenyum, tetapi ia meringis kemudian karena merasakan perih.
Lalu Yoga mengangkat kaus putihnya sedikit. Melihat ada luka cambukan baru di bagian perut dan dadanya. Ia memutar badannya ke belakang dengan kepala yang masih menatap cermin. Luka cambuk di punggungnya sudah mulai mengelupas. Ia bersyukur karenanya.
Masih dengan kaus yang diangkat ia mulai memberikan salep pada lukanya dengan telaten. Tak jarang ringis kesakitan keluar dari bibir tipisnya.
Setelah selesai mengobati semua lukanya, Yoga merapikan kamarnya yang tak terlalu luas tersebut. Di dalam kamar berukuran 2,5×4 m itu tak ada banyak barang yang tersimpan.
Sebuah kasur kecil yang hanya muat untuk dirinya sendiri ada di pojok. Di sampingnya ada meja belajar dan juga kursi dengan roda di bagian bawahnya. Semua bukunya tertata rapi di atasnya. Kemudian ada lemari berwarna cokelat tua di sebelahnya. Sementara di samping pintu terdapat kamar mandi kecil.
Selesai membereskan kamar, Yoga beranjak keluar. Ia berniat akan memasak sesuatu untuk menyelamatkan perutnya yang semalam belum ia isi. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis meski terasa sedikit perih karena lukanya tertarik begitu membayangkan apa yang akan ia masak.
Namun, senyumnya memudar ketika melihat seorang pria paruh baya tengah duduk di meja makan dengan kedua kakaknya. Yoga menelan ludahnya dan menunduk. Ia memelankan langkah.
“Yah, Danny mau tanding futsal. Pulangnya bisa sore atau bahkan sampe malam,” kata Danny sambil mendorong piringnya menjauh. Ia telah menyelesaikan sarapan paginya.
“Cih, sok-sokan mau tanding futsal. Palingan juga cuma jadi pemain cadangan,” cibir Jian kemudian menyuap makanan ke dalam mulutnya.
Danny melotot. Menendang kaki Jian di bawah meja membuat empunya meringis. “Gue jadi kapten, ye,” katanya sombong.
“Gii jidi kiptin, yi,” ujar Jian mengejek dengan muka julidnya. Membuat Danny hampir saja kelepasan memukul wajah yang selalu dibanggakan adik keduanya itu. Sebagai gantinya ia menghela napas keras dan bangkit meninggalkan meja makan. Sesaat ia melakukan kontak mata dengan Yoga yang berada di pintu dapur, tetapi kemudian Danny melewatinya begitu saja.
“Yah, kalau Jian, sih, ada latihan karate di sekolah,” kata Jian yang sudah menyelesaikan sarapannya.
“Oke, latihan yang bener kalau gitu,” balas Hanan. Pria tiga anak itu kemudian bangkit dan berjalan keluar.
Ketika berpapasan dengan Yoga yang terdiam tak berani mendekati dapur, ia melirik sekilas. “Jangan lupa bersihkan rumah. Ayah nggak mau tahu, pokoknya rumah harus udah bersih waktu Ayah pulang.” Begitu katanya sebelum berlalu.
Yoga menghela napasnya, menguatkan diri sendiri. Barulah setelah Jian keluar ia berjalan menuju meja makan. Mengambil piring kotor dan mencucinya di wastafel.
Sepertinya pekerjaannya di hari Minggu sangatlah banyak dan akan melelahkan. Yoga harus mengisi tenaganya dulu sebelum melakukan satu persatu daftar pekerjaan rumahnya nanti.*
Day 7!
Semoga harimu menyenangkan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of Yoga ✓ [Terbit]
Teen FictionIni tentang si bungsu dari keluarga Amardika. Si bungsu yang kehadirannya ditolak oleh keluarganya. Menjadi sasaran pelampiasan sang kepala keluarga. Namun, tetap tegar dan tersenyum menghadapi peliknya kehidupan. Semua tentang Yoga Amardika. Putra...