Lembar Keempat: Katanya Berantem
Setelah mencuci muka, Yoga mematikan keran. Menatap pantulan wajahnya di cermin dan menghela napas. Pipinya membengkak kemerahan, tetapi tidak terlalu tampak jika hanya dilihat sekilas. Ia menepuk pipinya pelan lalu menarik seulas senyum. Dalam hati menyemangati diri sendiri kemudian keluar.
Baru saja ia membuka pintu toilet, seseorang langsung menarik paksa bahunya dan memberikan bogeman pada pipi kirinya.
Bugh!
Yoga terhuyung ke samping merasa tak siap. Ia berpegangan pada dinding dan mendongak, menatap sosok yang tak ia kenal di depannya.
“Maaf, Bang, gue gak kenal lo,” katanya. Berharap semoga siswa itu melepaskannya setelah ini.
Tersulut, pemuda dengan badge merah di lengan kanannya yang menandakan ia kelas 12 itu melangkah mendekat. Kembali menarik bahu Yoga dan memukul pipi kanannya.
Yoga tersungkur. Ia dapat mencecap rasa amis besi di mulutnya.
“Cih! Lo yakin gak kenal gue?” Pemuda itu tertawa sinis.
Yoga tak mengenalnya. Ia juga tidak tahu apa yang membuat kakak kelas itu tiba-tiba menyerangnya. Ia merupakan siswa pendiam yang tidak suka mencari masalah, tetapi masalah selalu datang padanya meski ia hanya diam. Ia melirik bagian dada kakak kelas itu untuk mendapati name tag-nya, tetapi kosong. Sepertinya orang itu adalah tipe siswa bermasalah jika dilihat dari seragam bagian atasnya yang keluar dan tidak memakai dasi.
“Gue yang kemarin ngejar lo, sialan!” bentaknya membuat Yoga yang berusaha bangkit jadi tersentak kaget. Ia sama sekali tidak mengenali pemuda di depannya ini sebagai salah satu orang yang mengejarnya sepulang sekolah kemarin.
“Tapi gue gak punya salah apa-apa sama lo, Bang,” ucapnya.
“Dasar banyak omong! Dengan lo yang lewat di jalan itu kemarin, lo udah salah!”
Bugh!
Bugh!
Bugh!
Pukulan demi pukulan dilayangkan pada Yoga yang terdiam pasrah. Ketika mangsanya sudah terjatuh lemas, pemuda bernama Abian Prasaja itu tersenyum puas. Ia menendang Yoga untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan adik kelasnya yang babak belur di depan toilet.
Yoga meringis merasakan seluruh tubuhnya kesakitan. Kepalanya terasa berdenyut hebat, tetapi berusaha ia abaikan. Sudut bibirnya robek dengan kedua pipi yang membengkak. Tangannya ia arahkan ke dada bagian kiri ketika merasa jantungnya sakit. Napasnya mulai memburu dan matanya terpejam kuat menahan rasa sakitnya.
“Tolong jangan kambuh sekarang,” batinnya sebelum gelap mengambil alih kesadarannya.
*
“Ga?”
Sapaan itu masuk ke telinganya begitu ia membuka mata. Sosok Juna dengan muka khawatirnya terlihat duduk di samping kirinya. Yoga menarik senyum tipis berusaha untuk menenangkan sebelum meringis merasa sudut bibirnya yang robek itu tertarik.
“Gak usah sok-sokan senyum, deh!” Juna berkata kesal. Cowok manis itu membantu Yoga untuk duduk bersandar di tembok bagian kanan. Setelahnya ia mengambil segelas air putih yang memang sudah disiapkan di atas meja. Kemudian membantu Yoga untuk minum perlahan.
“Makasih, Jun,” ucap Yoga lirih. Ia tidak tahu bagaimana nasibnya jika tidak ada Juna di sampingnya. Mungkin, ia akan menyerah lebih dulu pada takdir.
“Lo kenapa bisa babak belur gitu, sih? Gue yang lagi enak-enakan makan pecel Bu Mina jadi harus ninggalin makanan favorit gue itu demi lo. Lagian aneh banget gak, sih? Lo yang anak pendiam gini tiba-tiba ada yang nyerang.”
Yoga membenarkan dalam hati. Ia tidak memiliki musuh di sekolah. Yoga selalu melakukan yang terbaik agar bisa membanggakan ayahnya, bukannya malah mencari masalah. Ia tidak habis pikir karena hal ini.
Kring! Kring!
Suara bel berbunyi dua kali menyadarkan lamunan keduanya. Juna meringis sebelum bangkit. “Gue mau ke kelas dulu, lo harus istirahat di sini. Jangan ke mana-mana sampe gue jemput lo lagi.”
Yoga menggeleng pelan. Mencekal tangan Juna yang hendak pergi. “Gue mau balik ke kelas.”
Juna melotot, refleks menghempaskan cekalan Yoga hingga terlepas. “Lo apa-apaan, sih? Lagi sakit gini malah mau ke kelas.”
“Gue harus belajar, Jun. Bentar lagi ujian kenaikan.”
“Masih lama kali! Ini, tuh, masih awal semester tahu! Udah, deh, lo istirahat aja. Nanti gue kasih catatannya,” cetus Juna tak mau dibantah. Ia membantu Yoga kembali berbaring dan menarik selimut hingga sebatas dagu cowok itu. Kemudian melambaikan tangannya dan keluar.
Yoga menghela napas. Memandang langit-langit UKS yang berwarna putih tersebut dengan hati yang tidak tenang.*
Double up!
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of Yoga ✓ [Terbit]
Teen FictionIni tentang si bungsu dari keluarga Amardika. Si bungsu yang kehadirannya ditolak oleh keluarganya. Menjadi sasaran pelampiasan sang kepala keluarga. Namun, tetap tegar dan tersenyum menghadapi peliknya kehidupan. Semua tentang Yoga Amardika. Putra...