Lembar Kelima: Perlakuan Sang Ayah
“Berantem lagi! Berantem lagi! Kenapa, sih, kamu gak bisa sehari aja gak nyusahin Ayah?!”
Suara menggelegar milik Hanan menyambut Yoga ketika baru melangkahkan kaki di ruang tengah. Ia melihat kedua kakaknya tengah menonton dengan santai sementara sang ayah sudah berjalan mendekatinya dengan raut wajah marah yang kentara.
“Mau jadi apa kamu kalau berantem terus, hah?! Mau jadi preman? Iya?!”
Yoga terdiam. Kepalanya menunduk. Ini memang bukan kali pertama ia menghadapi kemarahan ayahnya, tetapi tetap saja ia tidak terbiasa.
“Gak punya mulut kamu? Kenapa diam? Ayo, jawab!”
Bentakan ayahnya kembali terdengar membuat Yoga memejamkan matanya kuat-kuat merasa takut. Jemarinya meremas celana abu-abu yang ia kenakan.
“Dasar anak tidak berguna!”
Mendengarnya Yoga mendongak. Ia tidak percaya ayahnya bisa mengatakan kalimat jahat itu padanya. Matanya yang sudah berkaca-kaca menatap sang ayah kecewa. Namun, yang ditatap terus saja mengeluarkan kalimat-kalimat buruk lainnya. Melalui sudut matanya, Yoga dapat melihat kalau kakak pertamanya, Danny, langsung pergi dan menutup pintu kamarnya keras. Sementara kakak keduanya, Jian, malah tertawa keras-keras menonton acara di televisi dan mengabaikan dirinya yang sedang mendapat amukan dari ayah mereka.
Plak!
Mata Yoga terpejam, merasakan sakit di pipi kirinya yang sebelumnya masih lebam. Entah sejak kapan air matanya sudah meluruh.
Tak cukup dengan sekali tamparan, Hanan kembali mengangkat tangannya pada putra bungsunya. Berkali-kali ia menampar Yoga yang hanya diam dengan tubuh bergetar menahan isak tangisnya.
“Maaf, Yah.” Hanya itu yang bisa Yoga ucapkan. Berharap dengan itu sang ayah akan menghentikan pukulan yang menyakiti fisiknya.
Hanan berdecak. Menarik tangan anaknya dengan kuat dan menyeretnya menuju gudang di belakang.
“Yah, Yoga minta maaf, Yah. Jangan kurung Yoga di gudang itu, Yah.” Berkali-kali permintaan maaf itu ia ucapkan, tetap tidak digubris sedikit pun. Tangisannya semakin kencang kala menyadari mereka semakin dekat dengan gudang belakang. Yoga berusaha menarik tangannya agar terlepas dari cengkeraman pria berusia kepala empat itu. Namun, yang ia dapat justru pukulan bertubi-tubi yang menyakitkan.
Setelah pintu terbuka, Hanan langsung mendorong Yoga ke dalam dan menutup pintunya dengan cepat. Tak lupa juga ia menguncinya dari luar dan menyimpan kunci itu di saku kemejanya. Lalu pergi dari sana tak menghiraukan teriakan Yoga yang meminta ia untuk dikeluarkan.
“Maaf, Ayah. Keluarin Yoga dari sini, Yah. Yoga takut.” Pemuda yang masih mengenakan seragam sekolahnya itu terus saja menggedor pintu bercat cokelat meski ia tahu ayahnya pasti sudah pergi dari sana.
Yoga lelah. Pemuda itu menempelkan dahinya pada pintu dan tangisnya langsung keluar. “Maafin Yoga, Yah,” ucapnya lirih.
Yoga yakin sekalipun ia berteriak hingga pagi menjemput, ayahnya tetap tak akan membukakan pintu di depannya ini untuknya. Hari semakin gelap dan itu membuat gudang yang tidak memiliki lampu tak mendapat cahaya dari luar.
Yoga duduk bersandar di pintu. Ia memeluk kedua kakinya dengan tangisan yang belum reda. Yoga takut gelap, tetapi ia tidak bisa melakukan apa-apa selain menangis dan menyemangati dirinya sendiri dalam hati dengan mata yang terpejam kuat.
Perlahan napasnya mulai tersengal ketika ia terus saja menangis. Yoga memukul-mukul dada kirinya, berharap itu akan membantu agar napasnya kembali normal. Namun, itu semua sia-sia saat ia justru merasakan telapak tangannya yang semakin mendingin. Yoga meringkuk pasrah. Dalam hati ia berharap, semoga dirinya masih bisa bangun esok hari.*
Day 4!
Gimana? Masih setia nungguin kisah Yoga?
Bakal update tiap hari dan menemanimu selama 15 hari looh!
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of Yoga ✓ [Terbit]
Teen FictionIni tentang si bungsu dari keluarga Amardika. Si bungsu yang kehadirannya ditolak oleh keluarganya. Menjadi sasaran pelampiasan sang kepala keluarga. Namun, tetap tegar dan tersenyum menghadapi peliknya kehidupan. Semua tentang Yoga Amardika. Putra...