Lembar Ketiga: Keluarganya
“Yoga!”
Tepat ketika Yoga baru menginjakkan kaki ke dalam rumah, pekikan ayahnya terdengar. Tubuhnya menegang dan wajahnya mulai memucat. Sungguh, Yoga tidak siap jika harus menghadapi sang ayah.
Belum juga dirinya masuk lebih dalam, sang ayah sudah lebih dulu menghampirinya. Mencengkeram bahunya kuat sampai membuatnya meringis kesakitan. Namun, itu tetap tak membuat ayahnya iba.
“Dari mana saja kamu?!”
Yoga memejamkan mata. Pemuda bermata sipit itu mencengkeram celana abu-abunya yang basah hingga kusut saking takutnya.
Tak mendapat jawaban dari anak bungsunya, Hanan semakin marah. Ia mendorong putranya hingga menabrak pintu yang belum tertutup sempurna.
Plak!
Kepala Yoga tertoleh ke samping akibat tamparan ayahnya barusan. Pipinya terasa kebas dan ia yakin nanti akan memerah dengan cap lima jari. Tubuhnya semakin gemetar, tetapi berusaha ia sembunyikan. Yoga tidak ingin ayah melihat dirinya sebagai anak yang lemah. Meski matanya mulai berembun, Yoga berucap lirih dengan bibir bergetar, “Maaf, Yah.”
Plak!
“Maaf lagi maaf lagi! Kamu bisanya cuma minta maaf terus!”
Plak!
Lagi-lagi Hanan menampar putra bungsunya. Meski pipi anaknya sudah memerah dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah, Hanan tak berhenti. Ayah tiga anak itu kembali memukul Yoga.
“Maaf.” Hanya itu yang bisa Yoga katakan. Tubuhnya bergetar hebat dengan isak tangis lirih yang mulai terdengar.
“Dasar anak tidak berguna! Selalu pulang telat! Mau jadi apa kamu, hah?!” Tak cukup dengan tamparan, Hanan membuka ikat pinggangnya.
Melihat hal itu membuat tangis Yoga semakin kencang. Ia berjongkok dan memeluk kaki sang ayah. “Maaf, Yah. Jangan pukul Yoga lagi. Yoga bakal jadi anak baik. Tolong jangan pukul Yoga lagi, Yah.”
Merasa geram Hanan malah menendang Yoga. Hingga pemuda yang bersimbah air mata itu terjengkang ke belakang menabrak pintu hingga menutup dengan keras. Tanpa babibu, Hanan mulai memukuli anaknya menggunakan ikat pinggang miliknya. Tak lupa juga kalimat-kalimat menyakitkan keluar dari bibirnya.
Yoga meringis. Tangannya bergerak naik ke atas melindungi kepala. Yang mampu ia lakukan hanya menerima perlakuan sang kepala keluarga padanya.
“Yah!”
Merasa ada yang memanggil, Hanan menghentikan aktivitasnya. Menoleh pada putra sulungnya yang berjalan mendekat. Dengan senyum terpatri di wajah ia bertanya lembut, “Kenapa, Danny?”
Daniel menipiskan bibirnya melihat Yoga yang meringkuk di pintu. Ia merasa kasihan, tetapi tidak bisa membantu banyak.
“Ayo makan bareng. Ji udah nunggu di meja makan,” katanya singkat. Pemuda bernama lengkap Daniel Amardika itu segera membalikkan badan menjauh, tak kuasa melihat Yoga yang berusaha menahan isakannya.
Setelah kepergian putra sulungnya, Hanan menghela napas. Melirik pada Yoga sekilas sebelum beranjak menuju ruang makan.
Sementara Yoga yang masih meringkuk berusaha menarik bibirnya agar membentuk senyuman tipis meski terasa perih. Dalam hati ia berterima kasih pada kakak sulungnya yang menyelamatkannya dari amukan sang ayah. Sekarang ia harus pergi ke kamar untuk mengobati semua luka yang didapat agar esok temannya tidak curiga.*
Day 3!
Masih setia nungguin cerita Yoga?
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of Yoga ✓ [Terbit]
Teen FictionIni tentang si bungsu dari keluarga Amardika. Si bungsu yang kehadirannya ditolak oleh keluarganya. Menjadi sasaran pelampiasan sang kepala keluarga. Namun, tetap tegar dan tersenyum menghadapi peliknya kehidupan. Semua tentang Yoga Amardika. Putra...