Lembar Ketujuhbelas: Penasaran
“Lo yakin kakak lo yang galak itu jadi kayak gitu?” Juna bertanya tidak percaya. Mendengar cerita dari Yoga saja ia sangsi jika kakak dari sahabatnya itu bisa berbuat manis.
Yoga menganggukkan kepala. “Kita bahkan sarapan bareng tadi pagi!”
Kening Juna semakin berkerut. Ingin tidak mempercayai perkataan Yoga, tetapi melihatnya yang bercerita dengan antusias tidak mungkin yang dikatakannya itu adalah bohong. Akhirnya, ia memilih mengangguk sambil mengucap syukur.
Keduanya kini berada di taman belakang yang menghadap langsung ke lapangan rumput Diamond High School. Duduk berdua di bangku panjang di bawah pohon besar yang rindang. Semilir angin membawa kesejukan saat mentari bersinar dengan cerah.
Melihat senyuman lebar milik Yoga, Juna kembali mengucap syukur dalam hati. Ia sungguh bersyukur ketika akhirnya keluarganya memperlakukan Yoga dengan baik. Meski baru kakak pertamanya saja, itu sudah kemajuan yang besar. Juna yakin perlahan ayah sahabatnya itu akan bersikap lembut ketika tahu anak pertamanya memihak Yoga terang-terangan.
Bukan tanpa alasan Yoga mengajak Juna duduk di sini. Ia sengaja melakukan itu karena ingin melihat Jian yang bermain futsal di tengah lapangan. Tak ingin melihat kehebatan kakaknya saat bermain sendirian, Yoga pun mengajak sahabatnya.
Di tengah-tengah lapangan, Jian bermain dengan lihai. Menggiring bola hitam putih itu dengan baik tanpa membiarkan musuh merebut bolanya. Lalu mengoper pada temannya yang lain dan membiarkannya mencetak gol.
Yoga dapat melihat betapa bahagianya Jian ketika temannya berhasil mencetak poin. Jian berlari antusias pada teman satu timnya. Tersenyum lebar sambil melakukan tos. Itu turut membuat Yoga tersenyum lebar.
“Jun, ayo balik,” ajak Yoga sambil bangkit berdiri. Ia menoleh pada Juna yang masih duduk sambil mengulurkan tangannya. Juna menerima uluran tangan itu tanpa banyak bicara. Kemudian keduanya berjalan bersisian menuju kelas.
*
Anak-anak kelas 11 IPA 2 itu berebut keluar ketika guru yang mengajar sudah keluar lebih dulu. Beberapa menit yang lalu bel pulang sudah berbunyi. Namun, anehnya Juna kini justru berdiri di samping meja Yoga yang terletak di belakang.
Yoga yang mau mengambil tasnya jadi mendongak, menatap heran pada Juna yang tumben sekali menghampirinya ketika sudah jam pulang.
“Ayo pulang bareng.” Seolah mengetahui apa yang akan ditanyakan, Juna berinisiatif bersuara lebih dulu.
Yoga pun mengangguk. Ia mengambil tasnya dan berjalan beriringan keluar dengan Yoga. Melewati koridor yang tidak terlalu ramai, Yoga berjalan dalam diam dengan telinga yang terus mendengarkan omongannya Juna.
Beberapa siswa-siswi yang masih ada di koridor menyapa Juna ketika pemuda itu berjalan melewati mereka. Juna memang cukup terkenal sebagai kakak kelas tingkat dua yang manis. Pemuda itu juga ceria dan suka menyapa siapa saja. Lain halnya dengan Yoga. Mungkin saja tidak ada yang mengenalnya selain Juna dan Jian di sekolah ini.
“Hah. Besok ada pelajarannya Pak Jay,” kata Juna mengeluh. Pemuda itu mendongak, menatap langit biru di atas sana. Kemudian menghela napas panjang.
“Gua yakin Pak Jay bakal ngumumin semuanya kena remed kecuali si Jae,” lanjutnya.
Dalam hati Yoga membenarkan ucapan Juna. Ia juga yakin karena selama sekelas dengan Jae tak pernah sekalipun ia melihatnya kena remed.
“Besok ke kantin aja, yuk! Kita makan nasi pecelnya Bu Mina biar gak stres sehabis jamnya pak Jay.” Juna menolehkan kepala pada Yoga. Menatap penuh harap pada cowok di sampingnya yang masih diam.
“Iya, boleh.”
“Yes!” Juna langsung berseru senang sambil mengepalkan tangan dan meninju udara. Membuat Yoga tertawa kecil melihat kelakuannya.
Kemudian hening menyapa. Baik Juna maupun Yoga tidak ada yang bersuara. Meski begitu suara bising kendaraan yang lewat tidak sepenuhnya menjadikan hening di antara keduanya.
Brak!
“Astaga!” Juna memekik kaget. Pemuda yang suka tidur itu memegang dadanya dan terdiam.
Yoga jadi ikut berhenti. Memandangi Juna dengan penuh kekhawatiran. “Lo nggak papa?” tanyanya pelan.
Juna menganggukkan kepalanya dengan gerakan kaku. Sejujurnya ia masih merasa terkejut dengan suara benturan yang keras barusan. Entah berasal dari mana suara itu. Namun, yang pasti ia merasa penasaran ingin mencari tahu.
“Juna lo mau ke mana?” Yoga berteriak ketika Juna melangkah cepat melewatinya sambil celingukan entah apa yang ia cari. Mau tak mau membuat Yoga harus menyusulnya.
Duk! Bruak!
“Jun, lo denger suara barusan?”
Juna menjawabnya dengan gumaman. Matanya masih fokus menatap ke bangunan tua di depannya. Ia sungguh sangat penasaran, tetapi ia tidak akan mengikuti rasa penasarannya itu jika membahayakan keselamatannya.
“Kita balik aja, Ga,” ajak Juna sambil menarik kemeja putih yang dikenakan Yoga.
Yoga menggeleng. “Nggak. Kita udah sampai sini, Jun. Kalau kita balik, kita nggak bakal tahu ada apa di sana.”
“Tapi, Ga ....” Juna tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Ia merasa bahwa kali ini mereka berdua akan berada dalam bahaya kalau nekat mengintip barang sejenak. Namun, Yoga yang memiliki rasa ingin tahu tinggi itu justru melangkah mendekat dengan perlahan.
Ini semua salahnya. Juna mulai menyalahkan dirinya sendiri. Kalau saja tadi ia bersikap biasa saja dan menekan rasa penasarannya, mereka berdua tidak akan terjebak seperti sekarang. Mengintip pertarungan sosok yang mereka kenal dengan orang asing.
“Kak Jian!”*
Wah wahhh Jian kenapa tuu
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of Yoga ✓ [Terbit]
Fiksi RemajaIni tentang si bungsu dari keluarga Amardika. Si bungsu yang kehadirannya ditolak oleh keluarganya. Menjadi sasaran pelampiasan sang kepala keluarga. Namun, tetap tegar dan tersenyum menghadapi peliknya kehidupan. Semua tentang Yoga Amardika. Putra...