Gadis dengan paras rupawan itu tersenyum saat pertama kali melihat persawahan di tanah Minangkabau. Rambut panjangnya berkibar mengikuti irama angin yang menerpa. Dia dan kedua orang tuanya baru saja sampai di tanah ranah Minang, bersama bendi yang di jadikan alat tranportasi mereka bertiga menuju tempat tinggal seorang yang menyewakan rumah untuk mereka.
Kuda bendi yang mereka naiki terus berlari kecil menuju tempat yang di tuju dengan di arahkan oleh sang kusir.
Hingga sampailah mereka di depan suatu rumah yang khas dengan gonjong di atas atapnya, seorang laki laki paruh baya turun dari atas rumah bersama dengan sang istri yang mengenakan baju kurung dan selendang yang di ikatkan di kepala.
"Selamat datang di tanah Minang, saudara Fang." Sapa sang pria paruh baya sambil menjabat tangan laki laki bermata sipit yang baru saja datang bersama istri dan anaknya.
"Aku tahu, kau pasti membaca surat ku Huang Xizhe." Fang menyambut jabatan tangan orang yang memiliki guntingan wajah yang hampir mirip denganya.
"Perkenalkan ini Istirku Yin." Wanita dengan gaun putih polos dengan rambut di sanggul dengan hiasan sasak bermotif bunga di kepala menunduk sambil tersenyum ke arah Xizhe dan istrinya.
"Dan ini putri ku, Fang Hua." Gadis dengan paras menawan dengan setelan gaun putih polos itu melakukan hal yang sama seperti sang ibu.
"Gadis yang jelita." Puji perempuan berbaju kurung itu dengan tulus, membuat Hua tersenyum dengan canggung. Bukan kali pertama dirinya di puji jelita oleh orang lain akan tetapi Hua masih saja salah tingkah ketika di puji.
"Mari masuk, panas jikalau terlalu lama di luar." Perempuan berbaju kurung yang kerap di panggil dengan sebutan Halimah itu mengajak tamunya untuk menaiki jenjang rumah gadang yang ia tinggali.
Keluarga Fang mengikuti jejak Halimah, menaiki satu persatu anak tangga untuk bisa sampai di pintu rumah gadang nan bagonjong tersebut.
"Ibu, bolah kah aku tinggal lebih lama di luar? Aku masih mau menghirup udara yang menyejukkan ini." Hua berbisik pada sang ibu. Gadis itu sangat menyukai suasan negri yang baru saja ia datangi ini.
"Baiklah, aku akan bilang pada ayahmu." Fang Hua tersenyum saat sang ibu memberinya izin untuk tidak ikut ke dalam rumah dan membiarkannya menikmati udara sejuk ini lebih lama lagi.
Hua melirik sekitar, ada begitu banyak pohon kelapa yang berbuah lebat, pokoknya tampak bersih seperti terawat dengan baik rerumputan di bawah pohon kelapa itu juga tumbuh menghijau dengan baik.
Mata Hua kemudian memandang lebih jauh, gadis itu mendapati para petani yang tengah bekerja di sawah mereka masing masing yang berada di seberang jalan yang tadi Hua lewati bersama bendi.
Sawah sawah itu belum di tumbuhi padi sehingga tampak mencoklat sampai ke ujung nun jauuh di sana, deretan pesawahan itu tampak indah dengan air yang tergenang di dalamnya memantulkan bentuk langit yang biru dengan sedikit awan membuat pemandangan yang tak kalah indah, Hua seperti melihat langit di atas tanah di buatnya.
"Indah." Puji Hua pada pemandangan yang saat ini ia lihat, Hua beranjak dari posisinya menuju batang pohon besar yang ada di pinggir jalan dengan sebuah kursi panjang yang terbuat dari bambu di bawahnya.
Sesampainya di sana, Hua langsung mendudukkan dirinya di atas kursi bambu yang tidak memiliki sandaran itu. Hua sebenarnya sedikit lelah usai melakukan perjalanan jauh tetapi menikmati pemandangan dan udara yang sejuk ini seakan rugi untuk di lewatkan.
"Hai." Hua terkejut saat tiba tiba sebuah suara yang cukup melengking berada di sampingnya, Hua menoleh dan pemandangan yang Hua dapati pertama kali adalah sebuah senyuman lebar milik seorang gadis dengan gaun yang tidak berbeda jauh dari Hua.
"Kau pasti Fang Hua bukan? Anak dari tamu ayah ku. Ayah ku sudah menceritakan isi surat ayah mu waktu itu dan aku telah menunggu kedatangan mu. Perkenalkan aku Huang Jiang, tetapi ibuku memanggilku Ratih. Kau tahu kenapa aku memiliki dua nama? Itu karena ayahku ingin memberikan nama China padaku tetapi ibuku bersikeras memberikan nama Minang pada ku dan terjadilah mereka memanggilku sesuka hati mereka, ayahku memanggil Jiang dan ibuku memanggilku Ratih. Jadi kau mau memanggilku dengan nama apa?" Fang Hua tersenyum kikuk setelah sebelumnya ia terkejut dengan kecepatan berbicara Ratih, gadis berambut sebahu itu berucap dengan satu tarikan nafas.
"Aku sarankan, kau memanggilku Ratih saja." Ratih kemudian duduk di samping Hua ikut memandang persawahan di depan mereka tentu bagi Ratih ini adalah pemandangan yang biasa sebab pemandangan ini yang Ratih lihat setiap hari.
"Baiklah, Ratih."
"Wah, bahasa Indonesia mu sangat bagus." Ratih memuji walaupun baru satu kata yang Hua ucapkan.
"Bisa di bilang aku besar di tanah Nusantara, karna ayah dan ibuku banyak berbisnis di sini. Tetapi aku baru pertama kali ke tanah Minang." Fang Hua benar, ia mungkin sudah berkelana hampir ke seluruh Indonesia bersama kedua orang tuanya tetapi baru pertama kali menginjakan kaki di tanah Minang.
Fang Hua gadis berdarah China yang besar di tanah perantauan dan dirinya beserta orangtuanya acapkali datang ke Indonesia tak jarang pula mereka lama menginap di Indonesia membuat Fang Hua mengharuskan diri belajar bahasa Indonesia.
"Ingin berkeliling?" Hua tentu tertarik dengan tawaran yang di berikan Ratih barusan, Hua ingin melihat tanah Minang ini lebih luas.
"Kau ingin mengajakku berkeliling tanah Minang?"
"Tidak! Aku tidak akan sanggup mengajakmu berkeliling tanah Minang. Aku hanya ingin mengajakmu berkeliling di kampung ini saja." Ratih tentunya terkejut, bagaimana bisa ia mengajak Hua berkeliling tanah Minang yang luas.
"Bukankah kampung ini tanah Minang?" Hua terheran, sebab gadis itu menyangka kampung kecil inilah yang di sebut tanah Minang.
"Iya, termasuk tanah Minang. Tanah Minang itu luas bukan kampung ini saja. Hampir seluruh Sumatra Barat itu tanah Minang." Hua sekerang mengerti, tempat yang saat ini ia kunjungi adalah salah satunya dari tanah Minang.
"Jadi? Ingin berkeliling?"
"Tentu" Fang Hua bersemangat, walau perkiraannya selama ini tanah Minang itu adalah nama satu kampung itu salah Hua tetap senang bisa menginjak salah satu tempat di tanah Minang.
"Mak, Ati Pai main lu Samo..."
(Ma, ati pergi main dulu sama....)
Ratih yang semula sedikit berteriak agar sang ibu yang ada di atas rumah mendengar suaranya."Siapa nama mu?"
"Hua, Fang Hua."
"Ati Pai main Samo Hua lu Mak!!"
(Ati pergi main dulu bareng Hua mah!!)••••®®®®••••
Tetap si sini teman teman nantikan sacen Uda Renjuun yaa
Aku update kalau udah 3 vote 👍👍
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanah Minang 1970 || TELAH TERBIT
Historical Fiction((TAMAT)) PART SUDAH TIDAK KENGKAP INFO NOVEL SHOPEE : @benitobonita Loka ranah Minang nun indah bersama udaranya yang sejuk. Gadis berdarah China bernama Fang Hua selalu memuji indahnya ranah Minang sebelum ia terus menangis dan berhiba hati di te...