3. Siapa gadis itu?

7K 823 55
                                    

Sutan Ranan Piliang, bujang gagah nyo nagari. Ranan anak datuk besar di negri ini, orang paling di segani di kampung itu adalah ayahnya Ranan, Datuak Rajo Mangkuto Alam yang terkenal tegas dan menjunjung tinggi adat istiadat Minangkabau,Tempat mengadu bagi orang kampung jika dalam kesulitan.

Ibunya Ranan, berasal dari keluarga beradat pula. Mak angah, begitulah orang kampung memanggil ibunya Ranan, dia adalah anak tengah dari 3 bersaudara dan anak perempuan satu satunya dalam kakak beradik.

Puti Risa, si bungsu di rumah nan gadang, gadih rancaknyo nagari, pemalu begitulah Risa di kenal dalam nagari. Keluar rumah jika hanya ada keperluan, namun kini Risa tidak berada di kampuang halaman. Gadis manis itu sedang menimbah ilmu di luar Sumatra.

Terakhir, si sulung nan gagah. Banyak anak gadis yang tergila gila denganya, ramah tamah, murah senyum, Budi pekerti nan elok, begitu lah sosok Sutan Ranan Piliang di pandang urang nagari.

Jikok bakato mamakai Caro nan ampek, mangecek Jo urang nan gadang Inyo mamakai caro kato mandaki, suaro lambuik juo mahormati urang nan labiah gadang.

Jikok mangecek Jo kawan Samo gadang Inyo mamakai kato mandata, bagurau Samo gadang ado batehnyo, indak mambuek urang ta singgguang.

Kato malereang Inyo gunokan katiko mangecek ka urang nan di gadangkan atau dalam artian lain urang nan di hormati

Jikok bamain Jo anak anak, Inyo ma makai kato nan manurun. Indak mahariak, ma agiah  nasehat jo suaro nan lambuik sarato Jo galak nan manih.

(Jika berkata memakai cara yang tiga, berbicara dengan orang yang lebih tua dia memakai kata mendaki, suara lembut dan menghormati orang yang lebih tua.

Jika berbicara dengan teman sebaya dia memakai kata datar, bercanda sebaya ada batasannya, tidak membuat orang lain tersinggung.

Kata malereng dia gunakan ketika berbicara dengan orang yang di tuakan atau dalam artian lain orang yang di hormati

Jika bermain dengan anak anak, dia memakai kata menurun. Tidak berteriak, memberi nasehat dengan suara yang lembut di sertai senyum yang manis.)

Begitulah, orang kampung melihat sosok Ranan.

Apalagi kini Ranan baru saja pulang dari tanah Jawa sehabis menimbah ilmu di sana. Sekarang di sinilah Ranan berada, di tengah anak anak berjiwa muda nan bersemangat menuntut ilmu, di surau yang sudah berumur lama itu Ranan mengajar mengaji anak anak dengan kurang fokus.

Pikiran anak muda itu terus menerus berhenti di beberapa waktu lalu, di saat ia menemukan dua gadis di halaman surau.

Salah satu dari dua gadis itu berhasil mengunci pikiranya, tatapan lembutnya senyuman manisnya selalu terbayang dalam pikiran pemuda itu.

"Oi!" Ranan terkesiap kala Hasan mencolek bahunya, bahkan Ranan tidak sadar kalau Hasan sudah berdiri sudah cukup lama di sampingnya.

"Hari lah malam, pulang lah Wak lai."
(Hari sudah malam, ayo pulang)

Ranan bahkan tidak sadar kalau cuma kelompok yang ia ajar yang tersisa di dalam surau, maka dengan begitu Ranan dengan segera membubarkan kelompoknya.

"A nan ang pikian?"
(Apa yang kamu pikirin?)
Hasan bertanya setelah anak anak dari kelompok yang Ranan ajar telah turun semua dari surau.

"Baa tu?"
(Kenapa)
Ranan bangkit dari posisi duduknya kemudian menunduk kembali untuk mengangkat dama (sebuah benda penerang bagi orang Minang jaman dulu)

"Ba manuang Jo nampak dek den."
(Ngelamun aja aku lihat.)
Hasan berjalan di belakang Ranan yang menuju ke atas mimbar surau, untuk meletakan Al-Qur'an yang ia pakai sebelumnya di tempat penyimpanan Al-Qur'an yang telah di sediakan.

"Anak gadih nan Samo Ratih tadi, ang tau nyo sia?"
(Gadis yang tadi bersama Ratih, kamu tahu dia siapa?)
Ranan meniup dama yang masih ia pegang membuat penerangan di sekitar semakin remang.

"Lah pasti urang Cino, Pai ba bisnis jo apaknyo Ratih, Baa kok dek ang batanyo Inyo?"
(Sudah pasti orang China, mau berbisnis sama ayahnya Ratih, kenapa kamu tanyain dia?)

Mereka sampai di mulut surau, karena Hasan yang paling belakang mengharuskan pemuda itu untuk menutup pintu surau.

"Ndak Baa doh."
(Gak apa apa)
Ranan dan Hasan sama sama mengambil sebatang obor dan menyalakannya dengan membakar ujung obor itu pada api obor yang lebih besar yang berada di tiang bagian luar surau.

"Jan mangecek ang suko ka urang Cino tu, Nan."
(Jangan bilang kalau kamu suka sama orang China itu, Nan.)
Hasan menyamakan langkahnya dengan Ranan untuk bisa melihat ekspresi yang kawanya itu perlihatkan.

Hasan menghela nafas ringan saat ia bisa melihat jawaban dari pertanyaannya barusan dari raut wajah Ranan saja.

"Jan nak cubo cubo lai Nan, apak ang Datuak gadang di nagari. Indak mungkin Inyo ka mambulihan wa'ang Jo urang Chino tu bajadi."
(Jangan coba coba Nan, ayahmu Datuak di negri ini, gak mungkin dia kasih izin kamu sama gadis China itu.)

"Jan mangecek sabalun di cubo, Hasan."
(Jangan bicara sebelum di coba, Hasan.) Ranan tampak percaya diri membuat Hasan hanya bisa menggeleng saja.

"Kareh angok."
(Keras kepala)

Keduanya kemudian melanjutkan perjalan pulang dengan obor masing masing di tangan dengan perbincangan yang sudah berubah.

••••®®®®••••

Di dalam sebuah kamar di balik kelambu putih Fang Hua masih belum bisa tertidur, bayangan senyuman manis milik seorang pemuda yang ia temui tadi siang terus menghantuinya.

Di saat gadis berkulit putih susu itu memejamkan mata selalu senyuman milik pemudia itu yang ia lihat dalam gelapnya picingan mata.

Hua tidak mengerti mengapa senyuman itu menggila untuknya.

Fang Hua terkesiap kala pintuk kamarnya di ketuk dari luar, ia keluar dari kelambu untuk membukakan pintu kamar yang Hua kunci dari dalam.

"Ibu? Ada apa?" Hua terkejut saat melihat sang ibulah yang berdiri di depan pintu kamarnya saat ini.

"Hua? Kau belum tidur? Ibu mengira kau sudah tertidur."

"Belum Bu, masuklah sebentar."  Fang Hua membukakan pintu itu lebih lebar lagi agar sang ibu bisa masuk.

"Apa kau menyukai kamarnya?" Ibu bang Fua mengecek kasur di kamar itu apakah empuk atau tidak.

"Aku menyukainya Bu, semua yang ada di tanah Minang ini aku menyukainya. Juga..." Fang Hua menggantung kalimatnya, membuat sang ibu berbalik menatapnya menunggu kalimat selanjutnya putri tercintanya itu.

"Ibu, bagaimana kalau aku menyukai laki laki Minang?" Hua memberanikan diri untuk berkata jujur.

Ibu Hua tersenyum mendengar itu, ini kali pertamanya sang putri membahas rasa sukanya kepada lawan jenis tentu sang ibu senang.

"Kau sudah nakal yah sekarang, berani menyukai seorang laki laki." Wanita dengan piyama putih itu berjalan mendekat ke arah sang putri.

"Ibu tidak masalah tentang itu, asalkan anaknya orang baik baik." Hua tersenyum kemudian memeluk sang ibu, entah bagai mana ia mengatakan kalau sebenarnya ia menyukai seseorang yang tidak tahu kalau Hua menyukainya.

••••®®®®••••

Aku kembalii geees

Kali ini, bagai mana kalau vote udah cukup 10 vote baru aku update.

Tetap bersama Uda Ranan dan Hua ya Uda unii🥰🥰

Bantu ramein tanah Minang di tiktok dong, biar banyak kenal🥰🥰

Tanah Minang 1970 || TELAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang