Hasan terus melihat ke belakang dengan raut wajah tidak suka, ia terus memperhatikan sesosok gadis yang baru saja turun dari bendi yang kini di naiki oleh Hasan dan Ranan juga seorang kursi yang dari tadi hanya diam.
"Ang nan ka Iyo se lah, Ranan."
(Lo yang benar aja, Ranan)
Begitulah kalimat yang Hasan ucapkan saat siluet perempuan tadi telah hilang di balik belokan yang baru saja mereka lewati, kini tatapan heran ia tujukan pada sahabat baiknya yang sedari tadi membuat Hasan jengah."Apanya?" Ranan menjawab dengan wajah kebingungan tidak tahu kemana tujuan pertanyaan yang di berikan oleh Hasan barusan.
Hasan berdecih, Ranan ini benar benar tidak mengerti atau malah pura pura tidak paham?
"Ang yo bana suko ka urang Cino tu?"
(Lo beneran suka orang China itu?)
Tanpa sadar Hasan bertanya dengan nada tinggi.Walaupun mendengar nada tinggi dari Hasan, Ranan hanya tersenyum tanpa berniat menjawab pertanyaan dari Hasan barusan.
Senyuman lebar dari Ranan membuat Hasan paham dan mendapatkan jawaban dari pertanyaannya sendiri. Hasan menghembuskan nafas berat.
"Bapikia lah ang Ranan. Kalau ang kawin Samo urang Cino tu, indak ba suku anak ang."
(Coba pikirin Ranan. Kalau lo nikah sama orang China itu, anak lo gak ada suku.)
Setengah emosi Hasan berbicara setengah senyuman yang Ranan berikan."Ingak, apak ang pangulu adaik di nagari ko. Aden yakin Mak Datuak tu dak ka ma agiah ang restu."
(Ingat, ayahmu penghulu adat di negri ini, aku yakin Mak Datuak gak bakal kasih kamu restu.)"Aden tahu, tapi kalau hati lah Kanai dak bisa di ubah lai." Begitulah jawaban yang Ranan berikan pada celotehan panjang dari sahabat karibnya itu, membuat Hasan hanya bisa geleng geleng kepala.
"Panek den ngecek samo urang kareh angok ko."
(Gue capek ngomong sama orang keras kepala begini.)
Itulah akhir dari percakapan mereka siang itu, dengan Hasan yang berusaha menenangkan diri sendiri agar tidak kembali memberikan pengarahan kepada Ranan dan dengan Ranan yang terus terbayang bayang gadis asing yang baru saja datang ke negrinya itu.Dia siang yang sama di hari yang sama, Hua berlari kecil di halaman rumah milik keluarga Ratih menuju tangga rumah dengan wajahnya yang jelita di hiasi senyuman yang juga jelita.
Hua sampai di depan rumah, di bukanya sendal yang ia pakai kemudian masuk ke dalam rumah dan langsung mengambil segelas air ke dapur dan membawakannya ke kamar Ratih.
"Ratih? Kau sudah baikan?" Hua melihat Ratih yang sudah duduk bersandar pada kepala ranjang langsung menghampiri temanya tersebut.
"Aku rasa begitu, ini semua karna kompres yang kau beri padaku, Hua." Ratih melirik selendang yang meresap air yang kini telah terpendam di dalam wadah berisi air yang terletak di lantai kamar Ratih.
"Ngomong ngomong, kenapa kau lama sekali?"
Mendengar pertanyaan itu wajah Hua yang semukah sumringah kini sedikit berumah menjadi kesal, ia tidak suka mengingat dirinya yang tersesat akibat kebodohannya sendiri.
"Tadi aku tidak bertanya arah jalan ke pasar ke pada mu sebelum pergi meninggalkan rumah, alhasil aku tersesat." Hua menunduk kemudian dalam hitungan detik gadis itu kembali mengangkat kepala memperlihatkan wajah sumringahnha kembali pada Ratih.
"Beruntung ada orang baik yang mau membantu ku." Hua tersenyum dengan lebar.
"Siapa?"
Ratih semakin mengernyitkan dahi saat melihat Hua malah tersenyum senyum malu di hadapanya.
"Uda...Ranan."
"Kenapa kau tersenyum seperti itu saat menyebutkan nama Ranan? Oh! Apa kau menyukainya!?" Ratih sepertinya lupa pada dirinya yang sedang sakit, terbukti dari gadis itu uang berteriak teriak sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanah Minang 1970 || TELAH TERBIT
Historical Fiction((TAMAT)) PART SUDAH TIDAK KENGKAP INFO NOVEL SHOPEE : @benitobonita Loka ranah Minang nun indah bersama udaranya yang sejuk. Gadis berdarah China bernama Fang Hua selalu memuji indahnya ranah Minang sebelum ia terus menangis dan berhiba hati di te...