i

12 2 0
                                    

Pandemi dimulai ketika aku berusia sebelas tahun. Awalnya, banyak orang cenderung meremehkan peringatan yang telah diberikan oleh pemerintah. Karma bertindak akibat ketidakpedulian ini. Dalam selang waktu kurang dari satu bulan, pandemi menyerang hampir lima persen dari seluruh penduduk di dunia. Baru saat itulah, kepanikan menyebar. Jam malam dan karantina dalam rumah diberlakukan. Namun kerusakan telah menyebar, orang yang tak berani melangkahkan kaki ke luar ambang pintu pun bisa terjangkit.

Dua diantaranya adalah orang tuaku. Momma dan Dad. Aku tidak ingat siapa yang terjangkit pandemi terlebih dahulu. Aku hanya ingat keduanya mengalami demam tinggi selama beberapa hari, lalu dimulailah batuk yang menyiksa mereka hingga seolah tercekik kehabisan napas. Jove menghubungi nomor darurat dan dalam sekejap, Momma dan Dad diangkat menggunakan tandu menuju ambulans. Aku memandang mereka dengan sedih, kupikir mungkin aku juga memohon untuk ikut atau semacamnya. Tapi Momma menggeleng, memberiku senyuman. Bagaimana mungkin dia masih bisa tersenyum, aku tak pernah tahu.

"Tidak apa-apa, Terra. Momma dan Dad akan baik-baik saja," matanya berkaca-kaca, "Kita akan segera bertemu lagi, oke? Aku menyayangi kalian."

Jove menahan kedua bahuku supaya aku tidak berlari dan memeluk Momma. Itu adalah terakhir kalinya aku bicara dengan orang tuaku. Itu juga terakhir kalinya aku melihat mereka. Rumah kami ditutup rapat sedangkan aku dan Jove dipindahkan ke gedung yang diperuntukkan bagi masyarakat yang harus dikarantina. Aku tidak memprotes, aku tak pernah mengatakan apapun. Aku terlalu sedih untuk membuka mulut karena aku tahu bahwa kecil kemungkinan bagi kedua orang tuaku untuk kembali.

Lain lagi dengan Jove, dia benci tempat karantina itu dan dia menyuarakannya. Dia benci memperoleh tanggung jawab atas diriku, adiknya yang hanya duduk diam menerima kenyataan. Jove mencari setiap kesalahan yang ada. Dia mencela makanan yang diberikan, dia berkata kasar pada setiap orang yang menanyakan orang tua kami, tapi orang-orang berusaha memaklumi. Mereka menganggap bersikap seperti itu adalah cara Jove untuk melampiaskan kesedihannya.

Tapi kenyataannya tidak begitu. Jove tidak sedih, aku bahkan ragu dia tahu apa artinya sedih. Salah satu emosi yang dikenalnya dengan baik adalah murka. Dia murka pada takdir. Sejak dulu dia memang seperti itu. Jove bukan tipe orang yang bermuram durja atas kehilangan sesuatu atau seseorang. Dia akan mendengus dan mengatakan bahwa semua ini pasti akan terjadi, buat apa menangisinya?

Satu bulan kemudian, berita dari orang tuaku datang. Aku sudah tahu bahwa mereka tidak akan bisa bertahan, tapi itu tidak menghentikanku untuk meneteskan air mata.

Bukannya membiarkanku, Jove mencengkeram kedua bahuku lalu mengguncangkannya dengan wajah memerah, "Kontrol dirimu. Hapus air mata itu, kubilang."

"Lepaskan," isakku, "Aku bukan kau yang tidak punya perasaan."

"Ini tidak ada hubungannya dengan punya perasaan atau tidak. Kau sudah menyadari kenyataan ini sejak Momma dan Dad dibawa. Buat apa menangisi sesuatu yang tidak bisa kau hentikan? Air mata konyolmu tidak akan menghidupkan mereka lagi. Jadi berhentilah menangis."

Aku menghempaskan tangannya, "Tutup mulut, Juventas. Aku menyayangi Momma dan Dad, aku tahu apa yang akan terjadi, dan aku memilih untuk menangis. Kau tidak punya hak untuk menghentikanku."

Jove tertawa masam, "Kau sadar, kan, bahwa hanya aku yang kau punya sekarang?"

Pernyataan itu membuat air mataku semakin deras. Tidak hanya pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal, orang tuaku meninggalkanku bersama satu-satunya orang yang tidak pernah mempedulikan keberadaanku. Bukannya aku membenci Jove, aku hanya seringkali berharap bahwa dia bukan kakakku.

"Ya," jawabku lemah, "Untuk alasan itu juga aku menangis."

Aku mendongak, mengamati raut wajah Jove dengan pandangan terkaburkan air mata. Aku berharap menemukan rasa sakit hati akibat ucapanku barusan. Tapi wajahnya tak menunjukkan apa-apa. Jove mengamatiku dengan senyum mencemooh. Di matanya, aku ini beban, tanggung jawab yang terpaksa dia terima karena dia tidak punya pilihan. Aku ingin sekali membencinya, tapi Jove selalu memberiku alasan untuk tidak melakukannya.

Tangannya bergerak, kupikir dia akan menamparku saat itu. Aku memejamkan mata, siap menerima pukulan. Tidak ada yang terjadi. Tangan Jove berhenti di depan wajahku dan dengan tegas dia menghapus jejak air mata di pipiku.

"Aku memberimu banyak alasan untuk membenciku, Terra," ucapnya, masih dengan senyum mencemooh, "Tapi jauh di dalam hatiku, aku tidak sanggup melihatmu menderita."

Aku tidak menjawab dan membiarkan kedua lengannya merengkuhku dalam pelukan.

MORSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang