Jove's Journal Entry III

1 0 0
                                    

Begitu peraturan karantina ditiadakan, pintu rumah tak pernah tertutup. Aku menenggelamkan diri dalam pesta pora. Setelah apa yang kulalui, aku layak merayakan kebebasan ini. Aku berhak tertawa, menari di bawah lampu yang berkedip, dan menikmati apa yang telah direnggut oleh pandemi. Masa muda yang terlewatkan.

Seperti biasa, Terra membenci segala hal yang kulakukan, termasuk pesta ini. Dia benci ketika rumah yang seharusnya menjadi privasi kini menjadi milik bersama. Aku sudah berusaha mengajaknya bergabung. Lagipula banyak teman seangkatannya yang menghadiri pestaku. Tentu saja ide ini ditolak mentah-mentah olehnya.

Pesta yang kuadakan berjalan nonstop. Mulai dari matahari terbenam hingga terbit kembali. Aku tak keberatan dengan orang tak dikenal yang datang selama mereka tidak mengacau. Keberadaan mereka membuatku melupakan sejenak kesepian mendalam yang menggerogotiku sejak pulang ke rumah ini. Jangan salah sangka, aku senang bisa hidup bersama Terra. Tetapi, rumah ini keterlaluan besarnya dan dia selalu punya cara untuk menghindariku. Yah, aku tak seharusnya mengeluh. Terra bersikap seperti itu juga karena sikapku yang tak baik padanya.

Selama beberapa waktu, hidup kami berjalan senormal mungkin. Di pagi hari Terra bersekolah sementara aku berusaha menghilangkan pengar setelah minum-minum. Sore harinya, aku menyetok makanan dan minuman untuk pesta sedangkan Terra merengut lalu membanting pintu kamar.

Tidak ada yang permanen di dunia ini. Status quo yang berusaha kupertahankan justru hancur malam itu. Aku sedang di dapur menikmati segelas jus jeruk ketika seseorang yang tak begitu kuingat namanya masuk dengan tergesa.

"Jove," dia berkata sambil tersengal mencari udara, "Ada yang membuat keributan."

Aku menggoyangkan es dalam gelas, "Selama tidak ada barang yang rusak, tak masalah."

"Tapi Jove, yang terlibat Terra dan Atlas."

Seketika gelas kuletakkan dan kakiku bergerak tanpa menunggu perintah. Boleh saja orang-orang di sini beradu tinju. Tapi jika mereka melibatkan Terra, maka mereka akan menghadapi murkaku.

Aku berhenti di tangga paling atas, sesaat tak sanggup bergerak saat melihat tangan Atlas berada di rambut Terra dan dia berdiri di dekat adikku. Terlalu dekat. Demi segala hal yang suci di dunia ini, setan apa yang merasuki Atlas hingga dia berani menyentuh Terra?

Kutemukan kembali suara dan kemampuan lokomotor yang sejenak hilang. Perasaan murka yang begitu familiar memenuhi diri dan kuteriakkan, "Atlas!"

Kurenggut Terra menjauh dari tangan kotor Atlas. Aku berdiri di antara mereka dengan kemarahan yang tak dapat dibendung. Aku tidak begitu ingat apa saja yang kusemburkan pada Atlas. Yang jelas, apapun itu, berhasil membuat seluruh darah hilang dari wajahnya.

Atlas berusaha mengelak, "Jove—"

"—pergi dari sini sekarang juga dan jangan tampakkan wajahmu di hadapanku lagi."

Kepalan tanganku bertemu dengan hidung Atlas dan menghasilkan suara krak yang begitu memuaskan. Wajah syok, darah mengucur, kemudian dia berlari sebelum aku sempat memukulnya lagi.

Aku berbalik, mendapati Terra yang berantakan dan penuh teror. Dia menjauh saat aku berusaha menenangkannya. Tanpa peduli orang-orang di sekitar, dia menyebutku sebagai egois yang tak memikirkannya. Tentu ini membuatku kesal. Kulakukan segala hal, bahkan memeras Mr. Cameron, hanya agar dia bisa tetap bersamaku dan dia menyebutku egois?

"Aku tidak memikirkanmu?" tanyaku, berbagai emosi berlomba keluar namun berhasil kutahan, "Jika aku tidak memikirkanmu, kau tidak akan di sini sekarang bersamaku."

Pandangan yang Terra berikan padaku adalah murni kebencian. Tak pernah kulihat kebencian sebegitu dalam darinya. Hal ini membuatku terperanjat dan sakit hati.

"Mungkin memang seharusnya kau biarkan aku membusuk di tempat karantina itu." ungkap Terra yang kemudian berlari menerobos kerumunan.

"Terra!"

Kemana dia akan pergi? Dia tidak punya siapa-siapa selain diriku. Bagaimana jika sesuatu terjadi? Bagaimana jika—berbagai pikiran buruk melintas saat aku mengejar Terra.

Aku berhenti beberapa meter di belakang ketika Terra berhenti di depan pintu sebuah rumah sederhana berlantai dua yang jauhnya satu blok dari rumah kami. Bersandar di tiang lampu selagi mengatur napas, kuamati seorang wanita membukakan pintu dan mempersilakan adikku masuk.

Hatiku serasa dipelintir ke berbagai arah. Sedih, iri, bahagia, dan lega bercampur aduk dalam diriku. Entahlah. Aku tak tahu apakah aku seharusnya bahagia atau sedih melihat Terra menemukan orang lain yang peduli padanya—sementara aku terus tenggelam dalam kepahitan hidup yang dipaksakan padaku.

MORSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang