ii

8 2 1
                                    

Aku dan Jove bertahan di gedung karantina selama setahun. Sebenarnya, pihak pengelola sudah memberikan izin bagi kami untuk keluar dari sana setelah kami dinyatakan tidak terjangkit virus. Tapi Jove masih berusia tujuh belas tahun, dia tidak bisa mengklaim warisan yang ditinggalkan orang tua kami sebelum dia berusia delapan belas.

Jadi pilihannya adalah keluar dari sana dan tinggal bersama kerabat terdekat kami atau tinggal sementara di gedung karantina sambil menunggu Jove legal. Kerabat terdekat kami adalah Grandma, yang usianya mungkin sudah seratus tahun. Keadaannya jelas tidak memungkinkan untuk mengawasi kami. Jadi Jove dan aku memutuskan untuk menunda pergi dari gedung karantina.

Terpikirkan olehku kendala yang akan kami hadapi saat keluar dari tempat ini nanti. Tanganku gemetar, memikirkan banyak kemungkinan.

"Jove," mulaiku, "Apa yang akan terjadi padaku saat kita keluar nanti?"

Jove berhenti mengamati kukunya, keheranan, "Huh?"

"Kau mendapatkan warisan itu, lalu bagaimana denganku? Kau baru delapan belas tahun dan kau bukan waliku."

Momma dan Dad tak pernah menunjuk wali resmi untukku. Mereka hanya menyebutkan beberapa nama yang mereka minta untuk mengawasiku jika sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Beberapa nama itu bukan Jove. Dia masih delapan belas saat keluar nanti, sedangkan kriteria bagi seseorang untuk memperoleh hak asuh adalah berusia minimal dua puluh satu tahun. Jadi percuma saja, pihak pengelola akan tetap menahanku di sini hingga aku legal dan sanggup menghidupi diri sendiri.

Suara Jove memecah pemikiran panikku, "Lalu memangnya kenapa?"

Aku mendecak, "Mereka tidak akan membiarkanmu membawaku pergi."

"Oh," kata Jove dengan nada monoton, "Aku ingin melihat mereka mencoba menghentikanku."

"Apa yang akan kau lakukan?"

"Lihat saja."

Senyuman yang dia berikan terkesan mengejek, tapi entah mengapa justru menenangkanku. Di saat seperti ini aku bersyukur memiliki kakak sepertinya. Aku lega mengetahui bahwa dia tidak akan membiarkanku membusuk di sini, menunggu entah-berapa-tahun-lagi.

Meskipun menyiratkan bahwa dia tidak akan meninggalkanku, Jove tidak lantas bersikap lebih baik. Dia tetap mengeluarkan kalimat menyakitkan pada setiap orang dan berusaha melupakan keeksistensianku. Aku tak peduli. Aku sudah terbiasa dihiraukan oleh Jove, berteman dengan sepi. Asalkan dia menepati janjinya, terserah apa yang ingin dia lakukan.

Pengacara datang dua minggu setelah Jove berulang tahun. Pengacara itu, Mr. Cameron, membacakan surat wasiat yang ditinggalkan orang tua kami dengan suara dalam. Aku mengaitkan jari-jari di pangkuan, napasku tak beraturan akibat panik. Benar saja, di akhir pembacaan surat wasiat itu, Mr. Cameron menyatakan bahwa aku harus tinggal bersama Grandma. Jove menolak itu, mengatakan aku akan tinggal dengannya. Mr. Cameron mendebat dan mereka saling bertukar pikiran secara sengit.

"Dengar, pak," Jove berkata, "Aku tidak peduli apa katamu. Terra adalah adikku. Dia satu-satunya keluargaku yang tersisa."

Mr. Cameron mengela napas, "Miss Marshall, aku tidak bisa begitu saja melanggar prosedur—"

"—persetan dengan prosedurmu. Terra akan tinggal denganku dan kau tidak punya hak untuk melarang itu."

Aku mengawasi keduanya bergantian. Tidak ada ujung pangkalnya perdebatan ini. Tanganku saling memilin hingga memutih. Aku tidak yakin Jove bisa memenangkan perdebatan ini. Bagaimanapun juga dia hanya remaja delapan belas tahun sedangkan Mr. Cameron adalah pengacara yang sudah punya banyak pengalaman.

Jove berdiri sambil menggebrak meja. Wajahnya begitu garang hingga aku lupa bahwa aku seharusnya sedang panik. Mr. Cameron mengedipkan mata beberapa kali, terkejut dengan sikap kakakku.

"Dengar, Mr. Cameron. Aku tidak akan menyerahkan Terra pada siapapun. Aku tak peduli pada prosedur konyolmu itu. Dia akan tetap bersamaku," mata Jove berkilat berbahaya, "Dan kau harus memastikan bahwa itu yang akan terjadi. Terra tidak akan kemana-mana tanpa aku."

Aku terperangah. Sebagian diriku merasa hangat mendengar pembelaan Jove, namun setengahnya tak bisa menahan perasaan was-was yang muncul. Mengapa Jove bersikap seperti ini? Setengah usianya dia gunakan untuk tidak mengacuhkanku, menganggapku tidak ada. Apakah dia benar-benar tidak ingin kehilanganku atau ada maksud tertentu di baliknya?

"Miss Juventas Marshall," suara Mr. Cameron terdengar lelah, "Prosedur itu memiliki tujuan tertentu. Aku tidak bisa meloloskanmu hanya agar kau mendapat hak asuh Miss Terra."

"Kau seorang pengacara, Mr. Cameron. Carilah celah diantara prosedur itu. Pasti ada celah di setiap peraturan." Jove menyeringai saat melanjutkan, "Jika kau tidak melakukannya, akan kupastikan kau menderita seumur hidup."

Jove pasti hanya membual. Dia tidak mungkin bisa mengelabui Mr. Cameron dengan ancaman kosong belaka. Mr. Cameron mengetahui itu, dia mengangkat dagu dengan menantang.

"Nah, nah, Miss Marshall, aku sudah biasa menghadapi ancaman."

"Oh ya?"

Jove menarik folder di meja, tangannya membolak-balik kertas hingga dia menemukan lembaran kosong. Tangannya menarik pulpen di saku Mr. Cameron dengan kasar, lalu dia mulai menulis.

Hillary. Frederick. Quentin.

Aku mengernyit memandang tulisan itu, "Apa-apaan ini, Jove?"

Tidak ada yang menjawab. Aku mendongak, melihat raut Jove yang berpuas diri sedangkan Mr. Cameron memucat.

"Apa yang—bagaimana—tapi..."

Jove memotong rentetan kata Mr. Cameron dengan tajam, "Kau akan melakukan yang kuminta, kau dengar aku?"

Mr. Cameron mengangguk dan pergi dari gedung karantina secepat kakinya bisa membawanya. Aku memandangi pintu yang tertutup di belakang Mr. Cameron, bingung sekaligus lega.

"Apa maksudnya itu?" tanyaku, mengedikkan dagu pada nama yang ditulis Jove.

Jove menyeringai, "Pemerasan. Aku punya informasi yang tidak ingin Mr. Cameron umbar ke dunia. Berguna, kan?"

"Tapi siapa orang-orang yang kau tuliskan namanya itu?"

"Cameron menjalani hidup ganda, kau tahu? Di sini dia adalah pengacara tersohor dengan seorang sosialita sebagai istri. Sedangkan di kota lain, dia adalah Frederick Tate, suami tercinta dari Hillary Tate yang merupakan pemilik saham terbesar di kota itu," aku mengangkat alis tinggi-tinggi sementara Jove melanjutkan, "Dan dia memalsukan bukti pengadilan yang memberatkan Quentin Harvey. Harusnya pemuda itu masuk penjara karena pelecehan seksual."

Apa-apaan itu?

"Jadi, Mr. Cameron melakukan bigami dan menipu pengadilan? Darimana kau tahu semua informasi ini?" tanyaku setelah jeda panjang yang diakibatkan syok.

Jove tersenyum miring, "Aku punya cara."

Aku tidak pernah menanyakan cara apa yang dia gunakan. Aku tidak ingin tahu. Yang jelas, satu minggu setelah insiden dengan Mr. Cameron, Jove memperoleh hak asuh atas diriku secara utuh.

MORSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang