Apa aku pernah mengatakan bahwa kuharap Jove bukanlah kakakku? Jika belum, maka aku mengatakannya sekarang. Jika sudah, maka aku ingin menegaskannya sekali lagi. Aku berharap Jove Marshall bukanlah kakakku.
Jove mengadakan pesta besar-besaran sehari setelah berita tentang pencabutan peraturan karantina tersiar. Dia mengundang beberapa teman sekolahnya, kemudian teman sekolahnya mengundang temannya yang lain, teman yang itu mengundang adiknya, adiknya mengundang sahabatnya, dan begitu seterusnya hingga seluruh rumah dipenuhi oleh anak muda yang saling melempar gelas plastik merah berisi minuman keras. Aku mengunci diri di kamar, menusuk-nusuk salah satu bantal dengan pulpen hingga isinya berhamburan.
Ketika aku kembali ke sekolah di pekan berikutnya, mendadak semua orang ingin mengenal Terra Marshall. Tak hanya yang seangkatan denganku tapi juga kakak kelas. Banyak anak yang tak kukenal menyapaku saat lewat, variasi dari, 'Hai Terra,' lalu, 'Hey, girl,' dan, 'What's up?' menyambutku dari berbagai arah saat aku melewati koridor. Bahkan Dominic Hawkins mengangkat tangannya, mengajakku untuk tos. Kupandangi dia dengan satu alis terangkat hingga dia malu dan berlari dari hadapanku.
Mereka melakukan itu hanya agar bisa datang ke salah satu pesta Jove, bukan karena ingin menjadi temanku.
Jadi pada akhir pekan sepulang sekolah, aku tidak langsung pulang. Aku berkeliling di pusat kota, membeli beberapa buku yang kuperlukan untuk pelajaran. Menjelang sore, aku mendaratkan diri di toko musik di ujung jalan. Entah berapa lama aku di tempat itu, menghafalkan judul lagu dari banyak band yang tak kukenal, dan membaca majalah bekas yang ada di rak.
Aku baru saja meletakkan majalah kembali ke rak saat seseorang berseru, "Hei, Terra."
Aku tidak berbalik maupun merespon. Kukatupkan rahang, setengah mengeretakkan gigi karena jika ini adalah salah satu dari anak-anak di sekolah yang menyapaku demi pesta Jove, maka aku bersumpah aku akan—
"Hei," seseorang memegang pundak kananku.
Aku menyingkirkan tangan itu dan berbalik, bersiap menyuruhnya pergi ke neraka. Tapi ternyata yang berdiri di hadapanku adalah Celeste Green—aku duduk di belakangnya di kelas Algebra—dan dia bukan salah satu dari anak-anak menyebalkan itu.
"Oh, kau." kataku, setengah malu karena hampir memarahinya.
Celeste mengangguk, "Ya, aku. Sudah jam tujuh sekarang. Toko akan tutup."
Aku melihat sekitar dan tidak ada siapa-siapa. Hanya aku pelanggan yang tersisa, pelanggan tidak berguna yang menghabiskan tempat dan udara tanpa membeli apapun.
"Sori. Aku lupa waktu," ucapku, melirik kunci di tangannya, "Kau yang mengunci toko?"
Celeste mengangguk, "Yep. Ayahku sudah pulang dulu untuk menyiapkan makan malam karena masakan Ibuku bisa membuat anjing rontok giginya."
Hal itu membuatku tertawa meskipun sedikit bingung. Lalu aku ingat bahwa ayah Celeste adalah pemilik toko, pantas saja Celeste ada di sini. Tolol, batinku.
"Apa kau belum pulang sejak tadi?" tanya Celeste, mengamatiku yang masih dalam pakaian yang sama saat di sekolah tadi.
Aku mengangkat bahu, "Belum."
Aku menegakkan diri, bersiap menerima ucapan Celeste tentang betapa kasihannya aku dan tentang hebatnya pesta Jove dan apakah aku mau mengundangnya datang. Tapi dua menit berlalu, Celeste tidak mengatakan apapun juga tidak memandangku simpati. Dia hanya berdiri di depanku dengan tangan memegang kunci.
Kuhela nafas lega, memberi Celeste salah satu senyumanku, "Oke, aku tidak akan menghalangimu menutup toko," lalu berjalan ke arah pintu.
"Oi, Terra. Tunggu aku di luar, kita bisa jalan pulang bersama."
Aku melakukan yang dia minta. Kami berjalan di trotoar, membicarakan tentang guru Algebra yang suka mengorek hidungnya saat mengajar. Lalu Celeste membicarakan toko musik milik ayahnya, menceritakan saudaranya yang suka berlarian di tangga, sepupunya yang tinggal di Atlanta, dan macam-macam. Aku lebih banyak mengambil peran sebagai pendengar yang baik, tertawa di satu cerita, memberi respon di saat yang tepat. Rasanya menyenangkan, punya teman bicara yang tidak memberiku senyuman mencemooh tiap menit dan yang benar-benar peduli tentang pendapatku mengenai banyak hal.
Aku bukan orang yang suka mengobrol, aku tidak terlalu suka orang yang bicara tanpa henti. Tapi aku tak keberatan mendengarkan Celeste berbicara dengan kecepatan seratus kata per detik. Mungkin aku kesepian karena hanya Jove yang kumiliki selama ini sehingga saat Celeste cukup peduli untuk mengajakku bicara, aku menyambutnya tanpa ragu.
Tak terasa kami sudah sampai di blok rumah Celeste berada, rumahku masih satu blok lagi jauhnya. Celeste tidak segera berbelok ke halaman rumahnya, dia justru berhenti di trotoar memandangku dengan ceria.
"Kau langsung pulang, Terra?" tanyanya.
Sebenarnya aku tidak ingin pulang, tapi akan kemana aku pergi untuk menghindari rumah yang penuh remaja tak kukenal?
"Ya," jadi kuputuskan untuk menghadapinya.
Celeste melambaikan satu tangan ke arah rumah, "Kau mau makan malam dengan kami? Orang tuaku tak akan keberatan."
Undangan yang menggiurkan. Tapi aku tidak ingin menjadi beban orang lain sekarang. Jadi aku menolaknya. Celeste mengangguk mengerti, lalu mengatakan padaku bahwa aku boleh datang ke rumahnya kapanpun dan hangout di sana. Dia bilang kami bisa menonton banyak film dan bergosip. Aku tertawa, menyanggupi bahwa aku pasti datang.
Celeste mengangguk puas, "Bagus. Telepon aku ya."
"Um," aku menggaruk kepala, "Aku tak menyimpan nomormu."
"Benarkah? Kalau begitu sini berikan ponselmu."
Aku berjalan pulang dengan langkah ringan, mungkin aku juga sedikit melompat-lompat seperti anak kecil.
Rumah masih sepi ketika aku sampai, tapi beberapa menit lagi pasti akan penuh. Cepat-cepat aku masuk dan melesat ke dapur. Kuambil banyak makanan dari lemari es untuk kubawa ke kamar.
"Terra?" panggil Jove dari belakangku.
Aku menoleh setelah mengambil dua botol air, "Apa?"
Dia memandangiku dengan kening berkerut. Jove sudah berganti pakaian, rambutnya mengkilat, wajahnya dihiasi glitter. Kukunya yang bercat hijau neon mengetuk meja.
"Kau baru datang?"
Kututup pintu lemari es dengan kaki, "Ya."
"Oh," alisnya terangkat, "Kupikir kau sudah di kamar sejak tadi."
Hebat, pikirku sambil memutar bola mata. Bahkan dia tak tahu apakah adiknya sudah di rumah atau belum.
"Bagus sekali, Jove. Tak pernah tahu kau peduli dimana aku berada."
Aku berlari ke kamar dengan tangan penuh makanan. Kupastikan Jove mendengarku membanting pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MORS
General Fiction"Kemana kita pergi saat kita mati?" Aku tidak mengharapkan jawaban, tentu. Tapi kakakku, Jove, membisikkan jawaban tanpa ragu-ragu. "Ketiadaan." Saat itu Jove menjawabku berdasarkan logika. Aku jadi ingin tahu, bagaimana jawabannya sekarang seandain...