Aku baru saja memeras seorang pengacara tersohor dan masih hidup untuk menceritakannya. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata betapa puasnya diriku. Aku tahu bahwa tindakan itu tidak benar, tapi Mr. Cameron layak mendapatkannya. Maksudku, dengan segala kebusukan seperti itu di belakang layar? Dia beruntung aku tak melaporkannya ke pihak berwajib.
Awalnya aku tak punya pikiran bahwa hak asuh Terra bisa saja jatuh ke tangan orang lain. Kemudian Terra mengingatkanku dengan caranya yang cukup menjengkelkan. Aku pun jadi tak bisa tidur memikirkannya. Kuputar berbagai ide di kepala, tidak satupun memberiku solusi. Maka aku menyelinap keluar dari gedung karantina saat Terra sudah terlelap.
Kuberitahu sesuatu, mudah sekali menemukan rahasia gelap seseorang jika kau pandai memanfaatkan daya tarikmu. Well, Terra takkan percaya jika aku memberitahu bagaimana caraku mendapatkan informasi kotor Mr. Cameron.
Hal yang pertama kulakukan adalah memastikan lokasi kantor Mr. Cameron. Lalu aku mencari tempat yang menyediakan wifi di sekitar kantor tersebut dan mencoba meretas sistem komputer Mr. Cameron. Rencananya, aku ingin mengambil dokumen wasiat orang tuaku kemudian memanipulasi isinya. Tentu saja usaha itu tak membuahkan hasil, pengetahuan yang kumiliki terlalu minim. Selain itu, aturan karantina belum dicabut sehingga tidak ada toko yang buka.
Jadilah aku berdiri di teras sebuah kafe internet yang tutup hanya diterangi lampu neon berwarna kuning.
Dari ujung jalan, seorang pejalan kaki mendekat. Kuharap dia tak menggubrisku.
"Hei," sapanya, "Kau oke? Bukankah seharusnya kau di rumah? Jam malam sudah lewat, Miss."
Yeah, tentu saja aku salah.
Respon otomatis yang kuberikan cukup menyakiti egonya, "Kalau kau ke sini untuk menggodaku, tak akan berhasil. Kau bukan tipeku dan aku tidak tertarik."
Alis pemuda di depanku terangkat sebelah. Dia memang bukan tipeku, tapi mata hazelnya terlalu indah untuk tak dipandang. Dengan tak tahu malu, kutatap matanya lekat-lekat.
"Ya, bisa kulihat itu," ucap pemuda itu dengan ironi mengalir di balik kalimatnya.
Aku memutar bola mata. Memangnya aku tidak boleh mengagumi bentuk ciptaan Tuhan yang begitu indah? Toh, aku tak berpikiran macam-macam.
"Dengar ya, aku tidak punya waktu untuk meladenimu kecuali kau bisa membantu menyelesaikan permasalahanku."
"Miss," pemuda itu menghela napas panjang, "Kau berharap aku membantu tapi belum apa-apa kau sudah menolakku."
"Jadi kau memang mau membantu?"
Pemuda itu mengangkat bahu, "Tergantung. Kau bukan kriminal kan?"
Aku menyeringai. Tak biasanya aku langsung merasa cocok dengan orang yang baru kutemui. Ada sesuatu dari pemuda itu yang menarik, yang membuatku merasa tidak perlu bersikap defensif.
"Hmm, kau takut membantu kriminal?" tanyaku.
Sekali lagi pemuda itu mengangkat bahu.
Kuputuskan bahwa aku menyukainya. Jadi kusodorkan satu tangan, "Juventas Marshall."
Dia memandang uluran tanganku selama beberapa detik sebelum menjabatnya, "Azrail."
Singkat cerita, aku dan Azrail berhasil menggali kebusukan Mr. Cameron. Bukti-bukti yang kami peroleh sudah kusimpan rapat dan tak ada yang bisa menjangkaunya selain aku.
Tidak akan kuceritakan secara detail mengenai hal-hal yang kulakukan dengan Azrail untuk memperoleh itu. Cukup kusebutkan saja bahwa hampir seluruhnya bergantung pada bagaimana aku memanfaatkan daya tarik yang kumiliki. Setelah semua informasi berada di tangan, kudepak Azrail dari hidupku. Jangan menatapku begitu, aku sudah bilang terima kasih padanya. Tanya saja padanya kalau tak percaya.
Entah dimana Azrail berada sekarang. Aku sudah melupakannya. Toh perannya tak begitu penting, dia tak akan muncul lagi di masa yang akan datang.
Yang terpenting adalah Terra tetap bersamaku, tak akan kubiarkan siapapun membawanya pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MORS
General Fiction"Kemana kita pergi saat kita mati?" Aku tidak mengharapkan jawaban, tentu. Tapi kakakku, Jove, membisikkan jawaban tanpa ragu-ragu. "Ketiadaan." Saat itu Jove menjawabku berdasarkan logika. Aku jadi ingin tahu, bagaimana jawabannya sekarang seandain...