Kupikir keajaiban hanya muncul saat korban pandemi dinyatakan sembuh. Ternyata tidak. Aku tak akan berusaha memahami cara dunia menyeimbangkan hal baik dan buruk yang terjadi, itu pekerjaan Dewi Nemesis. Tapi jujur saja, aku cukup khawatir ketika dua tahun berlalu dan tidak ada bencana lain yang datang.
Maksudku, benar-benar tidak ada bencana. Pandemi berhasil ditangani meskipun korban meninggal mencapai jutaan orang. Dunia mulai pulih setelahnya. Keajaiban terus berdatangan—orang-orang dengan penyakit kronis bertahan hidup sejauh ini, bahkan beberapa diantaranya sembuh. Tidak ada yang meninggal. Ini bukan omong kosong. Dua tahun sudah lewat dan tidak ada satupun orang yang meninggal di seluruh dunia. Seolah-olah takdir merasa simpati atas kehilangan besar yang terjadi selama pandemi sehingga manusia menjadi imortal dan imun terhadap macam-macam penyakit.
Aku penasaran, bayaran apa yang akan diminta dunia setelah memberikan keajaiban besar ini. Dunia mengalami overpopulasi sekarang, aku mulai was-was menunggu kelanjutannya.
Dan oh, bicara soal keajaiban. Ada satu hal di dunia yang tak tersentuh keajaiban itu. Hubunganku dengan Jove.
Bisa dibilang hubungan kami semakin memburuk. Sesudah insiden Atlas, aku kabur ke rumah Celeste dan baru kembali ke rumah setelah petugas sosial datang untuk menegur Jove lalu mengancam akan mencabut hak asuhnya atas diriku (ini membuat Mr. Cameron berpuas diri). Jove diminta untuk berhenti mengadakan pesta, dia juga diharuskan mengurusi bisnis Dad yang terbengkalai. Melihat wajah Jove saat mereka memberitahunya begitu, aku sudah bersiap-siap. Aku yakin sekali bahwa Jove akan menyuruh mereka mati dan mengirimku ke Grandma karena Jove tidak suka diperintah melakukan apapun. Dia hidup dengan peraturannya sendiri.
Tapi ini juga Jove yang punya banyak kejutan di balik wajahnya. Dia setuju untuk berhenti berpesta dan mulai bekerja. Dia bilang dia tidak akan membiarkanku pergi kemana-mana.
Aku memandangnya penuh tanda tanya saat itu. Begitu intensnya hingga Jove menoleh. Senyum sinis menghiasi wajahnya, "Sudah kubilang, aku tidak akan menyerahkanmu pada siapapun."
"Terserah."
"Kenapa kau selalu meragukanku, Terra?"
Aku mendengus, "Oh, entahlah. Pikirkan saja sendiri."
Pembicaraan itu berhenti di sana. Aku tak memberi penjelasan, Jove tak meminta, dan walaupun insiden dengan Atlas bukan sepenuhnya salah Jove, aku tak pernah mencoba minta maaf padanya. Kami melanjutkan hidup seolah tidak ada yang terjadi—aku sekolah, Jove bekerja, dan kami berusaha untuk tidak terlalu sering terlibat dalam pembicaraan.
Hingga malam itu.
Aku melirik jam digital di meja. Sudah hampir jam dua malam, Jove belum pulang. Jika ini adalah akhir pekan, aku tentu tak akan merelakan waktu tidurku untuk menunggunya. Tapi ini masih hari Rabu. Setahuku, Jove pulang lebih awal setiap hari itu. Apa yang menahannya sekarang?
Menjelang jam setengah tiga, terdengar pintu depan terbuka dan menutup. Aku bisa mendengar langkah kaki Jove menaiki tangga. Yang membuatku heran adalah dia berlari. Aku keluar dari kamar tepat ketika dia melewatiku. Tercium bau anyir. Hidungku berkerut otomatis. Apa ini?
"Jove?"
Dia tidak menghiraukanku dan berlari menuju kamarnya. Terdengar suara muntah. Aku membelalakkan mata kemudian menyusul Jove. Dia sedang membungkuk di depan toilet, memuntahkan isi perutnya. Aku hendak bertanya apa yang terjadi ketika perhatianku teralihkan dengan hal lain.
Tangan Jove berlumuran darah dan sekarang darah itu menempel di pinggiran toilet.
Aku berlutut di sebelahnya, "Apa kau terluka?"
Jove melambaikan satu tangannya yang berlumur darah, masih terus muntah. Aku menelan ludah dan memegangi rambutnya. Sebenarnya aku sendiri mual mencium aroma anyir yang menempel di tubuh Jove, tapi aku menahan diri. Aku memang bukan adik yang baik, meskipun begitu aku tak bisa hanya diam melihat kakakku seperti ini.
Kemudian tidak ada lagi yang bisa dia muntahkan. Aku menekan tombol untuk mengguyur toilet sedangkan Jove menyandarkan dahinya. Jove membelakangiku sehingga aku tak bisa melihat wajahnya. Kengerian apa yang membuatnya sebegini syok? Jove tak pernah syok, dia selalu siap dengan keburukan yang dunia timpakan pada setiap orang. Jadi mengapa berubah?
"Jove?" panggilku kesekian kalinya, "Apa yang terjadi?"
Dengan sangat perlahan, Jove mengangkat kepala. Dia berbalik padaku dan aku terdiam melihat tak hanya tangannya, tapi bagian depan baju dan sebagian wajahnya ternodai darah.
"Ini bukan darahku," jelasnya datar, "Bukan... bukan... ini darah—"
Dia berhenti dan mengeluarkan suara tercekik dari tenggorokannya. Aku tak mengatakan apa-apa, menunggunya melanjutkan.
Setelah menarik nafas panjang, Jove berkata, "Aku tahu kenapa manusia tidak mati selama dua tahun ini."
"Kenapa?"
"Karena—" dia berhenti, menggelengkan kepala, "—aku tak bisa menjelaskannya tapi mereka..."
"Ya?"
"Oh, Terra. Mengerikan. Sangat mengerikan."
Oke, dia jelas meracau sekarang.
Aku berusaha menenangkannya, "Tidak apa-apa. Kau tidak perlu memberitahuku. Lebih baik sekarang kita bersihkan dirimu ya?"
Aku menariknya berdiri, melepas bajunya, dan membersihkan tubuhnya. Jove tidak protes, dia hanya terus menggigiti kuku. Kusuruh dia berganti pakaian setelah itu.
"Terra."
"Hmm?" aku menatapnya, "Kau mau aku menemanimu tidur?"
Syok yang dialami Jove sangat mempengaruhinya dan aku adalah orang yang kejam jika meninggalkannya sendiri.
Tapi aku salah.
Mata Jove mulai fokus dan kesadaran mengambil kontrol. Rahangnya mengatup keras. Jove menggeleng dengan tegas padaku.
"Tidak. Tinggalkan aku sendiri."
Aku sedikit tersinggung mendengarnya, "Dengan senang hati."
Mungkin itu hanya suara angin yang kudengar saat menutup pintu kamar Jove, tapi apakah angin bisa berkata terima kasih?
KAMU SEDANG MEMBACA
MORS
General Fiction"Kemana kita pergi saat kita mati?" Aku tidak mengharapkan jawaban, tentu. Tapi kakakku, Jove, membisikkan jawaban tanpa ragu-ragu. "Ketiadaan." Saat itu Jove menjawabku berdasarkan logika. Aku jadi ingin tahu, bagaimana jawabannya sekarang seandain...