"Kau punya bayang-bayang, Miss Marshall."
Aku mendongak ke arah gagak yang terbang di atasku bagaikan awan hitam. Burung itu telah mengikutiku selama dua tahun, aku tak mengerti alasannya. Efeknya? Orang-orang semakin yakin kalau aku adalah keturunan setan.
Yah, terserah. Jika orang terus mencapku seperti itu, lambat laun aku akan berubah menjadi monster di mimpi buruk mereka.
Yang barusan bicara adalah Mike Fahey, karyawan yang siang tadi kupecat karena tidak profesional. Aku menatapnya bosan, sudah jelas apa yang akan dia minta.
"Bisa minggir, Mr. Fahey? Sudah larut malam, aku harus pulang."
Dia tetap berdiri di dekat tangga dengan kemeja kusut, dasi longgar, dan rambut berantakan. Gagak di atasku berkoak seolah memperingatkan lalu bertengger di salah satu hiasan dinding.
"Kumohon, Miss Marshall, beri aku kesempatan," dia memohon, satu tangan di dada sehingga terlihat jelas sebuah tato bergambar theta dan tulisan Mors di punggung tangannya, "aku sudah bekerja bertahun-tahun bersama ayahmu dan tidak ada komplain apa pun."
Aku memutar bola mata. Itu tidak benar. Ada setumpuk folder berisi komplain mengenai kinerja Mike Fahey namun Dad belum sempat memecatnya dan aku baru menemukan folder itu kemarin.
"Aku membaca setumpuk keluhan tentangmu, Mike Fahey, dan keputusanku sudah bulat. Sekarang tolong minggir."
"Miss Marshall—"
Gagak hitam itu sekali lagi berkoak ketika tangan Mike Fahey meraih pergelangan tanganku. Kucoba menepis namun dia justru mempererat cengkeramannya. Aku meringis menahan sakit.
"Kau menyakitiku," aku menggeram, "lepaskan sekarang juga."
"Tapi, Miss Marshall, tolonglah. Aku mohon."
"Apa kau tidak memahami arti kata tidak, Mr. Fahey? Sebegitu dangkalnya otakmu? Tidak berarti kau tidak bisa kembali. Paham? Lepaskan aku."
Wajah Mike Fahey berkerut-kerut dan perlahan berubah merah seperti tomat busuk, "Tidak akan kulepas sampai kau membatalkan pemecatanku!" suaranya menggema di kantor yang kosong.
Baiklah kalau begitu, Mike Fahey sudah kuminta pergi baik-baik tapi tampaknya dia menginginkan jalan kekerasan. Aku menatapnya garang dan Mike Fahey membalas tatapanku dengan kesan meremehkan.
"Apa yang mau kau lakukan, Juventas Marshall?" cemoohnya, "berteriak?"
Hanya karena aku perempuan jadi dia mengejekku seperti itu? Baguslah, remehkan aku terus.
Hal selanjutnya terjadi begitu cepat dan tak terduga. Aku menerapkan teknik pertahanan diri yang kupelajari di Youtube, Mike Fahey berteriak karena tak menduga serangan dariku, lalu kutendang dia menjauh—
—teriakkannya baru berhenti ketika tubuhnya mendarat di kaki tangga. Leher Mike Fahey tertekuk ke arah yang tidak seharusnya, matanya masih terbuka, dan perlahan-lahan genangan merah mengumpul di bawah kepalanya.
Untuk beberapa saat aku hanya memandanginya, terlalu syok untuk melakukan apapun. Begitu genangan merah itu semakin banyak, barulah aku sadar.
"Ya Tuhan," aku mulai panik, "apakah dia mati?" segera aku berlari turun menghampiri.
Kusentuh pundaknya dan tanganku bernoda merah akibat genangan itu sudah meluas, "Mr. Fahey!"
Dia bergeming.
Sekali lagi kuguncang tubuhnya hingga darah yang menggenang terciprat padaku. Tidak ada respon. Lehernya yang patah tak ikut bergerak ketika bahunya kuguncang dan itu membuatku semakin histeris.
"Bangun, Fahey! Jangan main-main. Ini tidak lucu."
Panik dalam diriku makin membuncah, aku bagaikan orang kesetanan. Meneriaki Mike Fahey seolah itu dapat mengembalikan roh ke tubuhnya.
"Kau tidak mati, kau tidak mati, kau tidak mati. Bangunlah!"
Burung gagak itu kembali berkoak, kali ini panjang dan berulang-ulang. Aku mengabaikannya dan mundur ke dinding setelah menyadari bahwa usahaku sia-sia. Air mata mulai menetes, aku menekuk kedua lutut dan memeluknya. Bergoyang ke depan belakang sementara otakku mulai menyanyi...
Aku membunuh orang. Aku membunuh orang. Aku membunuh—
"Memang sudah saatnya dia mati," terdengar suara dari sebelahku.
Aku berhenti dan menoleh. Halusinasi apa lagi ini? Apakah aku jadi gila setelah mendorong Mike Fahey dari tangga? Karena tak mungkin kan yang kulihat ini adalah—
"Azrail?"
Di sampingku berdiri sosok Azrail dengan mata hazelnya yang indah. Azrail yang itu, yang membantuku mengungkap kebusukan Mr. Cameron. Bagaimana mungkin dia ada di sini?
"Halo, Jove." dia berkata kalem.
"Bagaimana kau bisa di sini?"
"Well, aku sudah di sini sejak tadi."
"Apa maksudmu?"
Azrail berjongkok di sebelahku, matanya mengerling sejenak pada tubuh Mike Fahey yang mengerikan. Kemudian dia menghela napas panjang. Aku berusaha tenang namun dengan darah yang masih menempel pada tangan dan sebagian bajuku, aku pun menjadi seperti binatang yang dipojokkan.
"Katakan sesuatu, Demi Tuhan!"
"Oke, oke," Azrail mengangkat kedua tangan seolah aku menodongnya dengan senjata, "akan kujelaskan, Jove. Sebenarnya Azrail hanyalah salah satu dari sekian nama yang kugunakan."
Omong kosong apa pula yang dia katakan?
"Aku adalah Kematian dan selama ini burung gagak yang mengikutimu adalah aku. Saat ini aku tidak bisa—"
Kematian? Buruk gagak? Tidak bisa mengambil nyawa? Apa maksudnya? Apa-apaan ini?
Bumi serasa tidak berputar pada porosnya, ruangan di sekitarku berbalik seratus delapan puluh derajat, duniaku adalah langit tanpa bintang—gelap dan tak berkesudahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MORS
General Fiction"Kemana kita pergi saat kita mati?" Aku tidak mengharapkan jawaban, tentu. Tapi kakakku, Jove, membisikkan jawaban tanpa ragu-ragu. "Ketiadaan." Saat itu Jove menjawabku berdasarkan logika. Aku jadi ingin tahu, bagaimana jawabannya sekarang seandain...