Part 7

152 20 2
                                    

Chen Mahendra, seorang lulusan sarjana teknik elektro yang mengembangkan usaha berupa studio 3D. Sejauh ini yang ia kembangkan hanyalah suasana 3D roller coaster dan beberapa wahana ekstrem.

Tapi kemarin adik tingkatnya datang dan merequest sesuatu yang out of the box. Chanyeol memintanya membuat sebuah studio baru dengan tema ruang angkasa dan suasana seperti di dalam jet yang pergi ke bulan.

"Itu gak murah dan gak mudah, Chan. Untuk sketsa ide doang bisa puluhan sampe ratusan juta, belum biaya pembangunan." waktu itu Chen memberi tahu.

Tapi Chanyeol bersikukuh, "Gue bakalan usahain dananya bang."

Kai dan Chen hanya geleng-geleng kepala saja. Chanyeol seniat itu hanya untuk pasien yang baru ia kenal satu hari. Tapi pagi ini Chen kembali mendapat panggilan dari nomor Chanyeol.

"Halo?"

"Kayaknya gue mundurin dulu deh bang, anaknya tadi malam tiba-tiba collapse."

"Ooh gitu, yaudah. Lu fokus buat sembuhin dia dulu aja, Chan. Kalo urusan ini kapanpun lu mau bisa gua usahain, asal ada dananya. hehe."

"Oke siap bang. Ntar gua kabarin lu, ya."

***

"Kenapa muka lu jelek banget begitu, Chan?" tanya Lay yang baru masuk ke ruangan mereka. Chanyeol memang habis mendapat shift jaga malam, tapi biasanya tak pernah sekusut ini.

"Tadi malam Sehun collapse bang,"

"Oalah, jadi gimana rencana lu sama Chen?" Lay mengambil duduk di sebelah Chanyeol.

"Barusan gue batalin dulu sementara."

"Jadi Sehun sekarang gimana?"

"Tadi malam masih demam."

"Lu gak ke sana?"

"Bokapnya gak kasih dulu anaknya dipegang dokter magang, jadi mas Suho yang follow up hari ini."

Lay menepuk-nepuk punggung juniornya itu. Dia pernah merasakan apa yang Chanyeol rasakan. Sebagai spesialis bedah anak, Lay bukan tak pernah punya teman dekat anak kecil. Seperti Chanyeol yang saat ini menjadi teman dekat pasiennya sendiri.

Dulu ada anak kecil bernama Jaehyun yang umurnya baru 6 tahun dengan penyakit kanker usus yang Lay tangani. Wajahnya mirip sekali dengan adik kandungnya yang sudah berkuliah. Meskipun belum berpengalaman punya anak, Lay merasa Jaehyun seperti anaknya.

Di mana ada Lay, pasti ada Jaehyun yang ia bawa. Jaehyun anak yang pintar dan penurut, semua orang menyukainya. Sayang, umurnya tak panjang. Lay sulit juga mengikhlaskannya pada awalnya.

Sama halnya yang Chanyeol rasakan sekarang. Meskipun tak pernah berjumpa sebelumnya dengan Sehun, tapi rasa persaudaraan itu tumbuh begitu saja. Mulanya diawali dengan Chanyeol yang kasihan, tapi berubah menjadi kasih sayang layaknya seorang kakak. Sehingga saat Sehun sedang tidak baik-baik saja, Chanyeol seperti tak punya semangat hidup.

***

"Mbak.." panggil Sehun pada Irene yang tengah fokus pada televisi.

"Iya? Adek butuh apa?" spontan dia mencondongkan tubuhnya ke arah Sehun.

"Sehun mau nanya." ucapnya lirih.

"Apa?"

"Menurut mbak, mami orangnya gimana?"

Irene tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Menurut mbak, ibu itu baik banget. Dulu waktu masih di karantina, mbak pikir bakalan dapat bos yang jutek, cerewet. Tapi nyatanya, ibu gak banyak komentar. Asik banget orangnya. Ibu juga sering bawain mbak oleh-oleh kalo habis liburan. Gitu dek.." penuturan Irene tulus dari hati kecilnya.

Jiwon adalah majikan yang baik baginya. Saat masih tinggal serumah, mereka cukup dekat. Jiwon bahkan menjadikan Irene sebagai teman curhat. Setahunya Jiwon juga ibu yang baik sebelum perceraian itu terjadi. Setiap Sehun anfal, Jiwon jelas tak mampu menutupi wajah cemasnya.

Entah apa yang mengubah Jiwon menjadi sedingin sekarang bahkan pada putra kandungnya yang sedang sakit parah. Irene juga tak tahu apakah ini memang ada hubungannya dengan perceraian waktu itu.

"Sehun percaya kok, Mbak, mami memang sebaik itu. Tapi kenapa ya, papi segitu bencinya sama mami?"

Irene terdiam. Sehun selalu to the point, dan dia selalu mati kutu untuk menjawabnya. Jujur, Irene juga merasakan hal yang sama. Tuannya selalu memasang wajah tak suka jika Jiwon sedang datang menjenguk. Irene pernah menjadi anak, dia tahu rasanya melihat kedua orang tua berdebat kecil saja adalah momen terburuk. Apalagi melihat kedua orang tua saling membenci.

"Apa nunggu Sehun mati dulu ya Mbak, baru mereka berdua bisa pelukan lagi?"

Tentu saja Irene kaget mendengar penuturan anak asuhnya, "Heh!  Adek, jangan ngomong kayak gitu.."

"Sehun egois ga sih mbak, kalo pengen mami sama papi akur lagi? Bisa becanda kayak dulu lagi."

Meskipun terdengar tidak realistis, tapi Irene sebenarnya mengharapkan hal yang sama terjadi pada keluarga ini. Membayangkan kedua majikannya berdamai saja rasanya tenang. Apalagi jika hal itu benar-benar terjadi. Irene berharap setidaknya dua orang dewasa ini bisa saling mengalah untuk mendukung kesembuhan anak mereka satu-satunya.

Tangan Irene terulur untuk mengelus pucuk kepala Sehun. "Jangan putus doa buat papi mami ya, dek. Semua ada masanya."

Fly Me To the MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang