BAB 1

89 44 234
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, namun seseorang yang ditunggu – tunggu belum kunjung datang. Mayra, wanita berparas blasteran itu sudah siap dengan dress midi warna dusty pink. Pipinya yang baru saja selesai dipoles oleh MUA langganannya merona dengan indahnya di tengah lampu rias yang terang. Meskipun ia menyadari kesempurnaan look-nya, hatinya masih gusar karena seseorang yang ditunggu – tunggu belum juga datang ke studio.

"Mbak, apa kita tunda aja bikin kontennya? Dari tadi Mas Rio nggak bisa dihubungin nih," tanya Aris, salah satu asisten Mayra yang selalu mendampinginya kemana pun wanita itu bekerja. Ini sudah tahun keempat Aris bekerja sabagai personal assistant Mayra, wanita yang sukses menjadi selebgram terkenal bersama Rio, suaminya, atau lebih tepatnya sekarang menjadi mantan suaminya. Empat tahun ia bekerja keras membranding dirinya sebagai pasangan muda serasi dengan Rio, dari follower ratusan menjadi jutaan. Dari panas – panasan naik motor mencari spot foto ke tempat – tempat wisata viral hingga memiliki studio foto dua lantai dengan peralatan videografi yang lumayan lengkap. Ketekunan Mayra dalam membagikan konten tentang keserasiannya dengan Rio mengundang banyak netizen mem-follow akun instagramnya. Alhasil, banyak para pebisnis online tertarik mengendorse mereka. Namun keserasian yang sering mereka tampilkan di sosial media hanyalah kamuflase belaka. Rio yang sering menunjukkan kasih sayangnya kepada Mayra di instagram rupanya sosok yang temperamental. Lelaki gempal itu tidak ragu memukul Mayra jika wanita itu melakukan kesalahan. Bahkan ia pernah dipukul sampai masuk rumah sakit hanya karena lupa menaruh tas selempangnya di tempat semula. Mayra sebenarnya sudah lelah hidup dengan lelaki toksik itu namun ia juga tidak rela jika harus meninggalkan pekerjaannya sebagai selebgram. Ia hanya lah anak yatim piatu, di mana kebutuhan hidup harus ia penuhi sendiri. Ditambah lagi, ia juga tidak siap dengan pendapat orang lain jika hubungan serasi yang sering ia pamerkan bersama Rio ternyata hanyalah sebuah kebohongan.

"Hai semuanya.. maaf aku telat, tadi macet di jalan," suara ngebas khas Rio menggema di studio foto yang cukup besar. Mayra menghela nafas dalam – dalam, mencoba untuk tidak tersulut emosi karena dia dan timnya sudah menunggu lelaki itu hampir dua jam.

"Hari ini bikin konten apa nih?" tanya lelaki itu tanpa merasa bersalah, dilemparnya tas selempang moschino ke meja rias lalu merebahkan diri di sofa. Semua orang di studio saling melempar pandangan heran.

"Ngiklan mie instan, Mas.. sebenernya ini schedule kemarin, tapi karena Mas Rio nggak dateng yaa kita tunda sampai hari ini." tukas Aris, suaranya terdengar menahan kejengkelan.

Rio melirik sinis sebungkus mie instan merk Sukamie di tangan Aris. "Hahh? Nggak.. nggak.. gua alergi makan gituan" timpalnya memalingkan muka.

"Tapi konten kita udah ditunggu klien, Mas.. makan sedikit gak apa – apa, kan cuma buat konten" Mayra yang terlihat cemas mulai membela Aris. Tiba – tiba saja Rio berdiri dan berteriak,

"POKOKNYA GUA GAK AKAN MAKAN SAMPAH KAYAK GITU!!", suaranya meninggi dan menggema hingga semua orang yang ada di ruangan tersontak kaget. Matanya memerah bak orang kesetanan. Semua terdiam, termasuk Mayra. Wanita itu hanya menatapnya datar. Seperti sudah terbiasa menghadapi amarah lelaki itu.

"Kalian tau kan siapa gua? Hahh? Gua yang bayar elu – elu semua.. jadi jangan sembarangan nerima endorse-an, jangan bilang nih produk lagi viral, engagement-nya lagi tinggi, halah taik! Nolak aja gak bisa?! Gobloogg lo semua! Termasuk lo!", telunjuk lelaki itu mengarah ke Mayra. Tangan kirinya berkacak pinggang di hadapan wanita yang sudah membesarkan namanya.

Mayra menghela nafas sembari melihat mata Rio yang semakin memerah. Ia tahu kalau amarahnya ia ladenin maka bogem mentah akan mendarat di wajahnya, "Kalian semua bisa keluar sebentar?", pinta Mayra kepada kelima karyawannya. Pandangannya tidak bergeming sama sekali di hadapan lelaki yang sedang berdiri di hadapannya. Entah bagaimana, aura panas amarah lelaki itu menelusuk di hati Mayra hingga dadanya sesak. Mayra menghela nafas dalam – dalam lagi saat semua karyawannya telah keluar dari studio.

"Kita udah cerai, cerai secara agama dan negara. Tapi nggak ada seorang pun yang tau, kecuali keluargamu. Kamu masih beruntung, Mas, karena teman – teman kita belum mencurigai kita. Gimana kalo ada orang yang tau kita udah bercerai? Kita udah gak bisa bikin konten bareng – bareng lagi. Job endorse nggak bakalan ngalir segampang sekarang. Dan artinya kamu gak bisa dapet uang semudah sekarang. Kamu gak bisa lagi ikutan komunitas moge yang kamu bangga – banggakan itu. Boro – boro ikutan komunitas, temen – temen tongkronganmu nggak bakalan nganggep kamu lagi."

"Udah.. cukup.. cukup!" lelaki itu menunduk dan melipat tangan, matanya menyiratkan kekhawatiran yang amat sangat. Pikirannya dipenuhi prasangka buruk. Jika karirnya hancur, ia tidak bisa lagi membeli barang – barang mewah. Egonya yang terlalu tinggi tidak ingin tersaingi oleh teman – teman sefrekuensinya yang memiliki barang lebih mewah darinya.

Ia mulai duduk di kursi rias, kedua tangannya menutup matanya.

"May, please... maaafin aku. Aku tadi marah bukan karena gak mau makan mie itu. Aku cuma kesel aja sama si supir baru, jalannya pelan banget, mana macet lagi. Please.. kamu masih mau rujuk sama aku, kan? Ayolah.. kemarin kamu udah janji sama aku, lho,", Rio merebut kedua tangan Mayra, ia pegang erat – erat dan sesekali menciuminya, berharap mantan istrinya tidak mengeluarkan jawaban yang tidak ia inginkan.

"Aku trauma, Mas.. entah apa yang bikin kamu berubah jadi beringas seperti sekarang. Aku merasa kamu bukanlah Mas Rio yang aku kenal sebelum kita menikah." Dadanya sesak saat mengatakan kalimat itu.

"Aku janji.. janji sama kamu untuk berubah. Aku gak akan pernah mengulangi kejadian tadi lagi, May.." pinta Rio memelas. Wajah beringasnya kini berubah seperti anak kecil yang mengiba.

Mayra mulai melepaskan genggaman erat Rio. Dilihatnya lamat – lamat wajah lelaki yang melamarnya empat tahun lalu. Wajah itu tidak seperti dulu, apa pun yang dipikirkan lelaki itu bisa dirasakannya melalui raut wajahnya. Namun setelah mereka sukses, raut wajah itu tertutup oleh ego yang tinggi dan juga kepalsuan.

"Tadi aku telpon mediator pengadilan agama. Beliau bilang karena kita udah cerai tiga kali, kita harus cari muhallil supaya bisa rujuk kembali," kata Mayra, matanya menelisik respon Rio yang mulai mendongak lagi.

"Muhalil? Apa itu?", alisnya yang tajam bertaut, seolah – olah baru pertama kali mendengarnya. Wajahnya yang sedetik lalu mengiba berubah curiga.

Mayra menghela nafas dalam – dalam sebelum menjawab, "Lelaki lain yang harus menikah denganku sebelum kita rujuk, atau.. bahasa gampangnya, suami sementara,"

"APAAAAA?!!!!!"

...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang