"Enggak kok, kita lagi sibuk sama klien kita masing – masing aja," tangannya mulai dingin dan berkeringat. Anak rambutnya mulai berpeluh meski pendingin ruangan dinyalakan pada temperatur sedang.
"Ohh.. gitu, ihhh.. ternyata Rio nggak seromantis di IG ya, kalo suamiku mah nggak bakal ngijinin aku kerja sendirian. Dia selalu setia nemenin aku kemana – mana.." kata Jelita manja. Gestur tangannya mengiringi bibir merahnya yang melontarkan kalimat penuh kebanggaan. Mayra tersenyum nyengir. Dia pernah memergoki mobil suaminya Jelita terparkir di tempat karaoke plus – plus.
"Ihh.. apalagi Kevin.. suamiku itu tiap hari kasih suprise loh..nggak mahal sih, ya cuma masakin steak wagyu atau bawain starbuck" tambah Cheryl tidak mau kalah, tangannya sesekali merapikan rambut super halusnya.
Mayra hanya tersenyum. Otot wajahnya kaku, tidak tahu harus menunjukkan emosi apa saat dipermalukan dengan sesama teman – teman selebgramnya. Setelah suasana agak tenang, mereka sibuk dengan obrolan menonjolkan harga diri, termasuk memamerkan pasangannya masing – masing, sekali lagi Mayra tersenyum muak. Bagaimana bisa ia terjebak di lingkungan penuh kepalsuan seperti ini? Rasanya ingin sekali berhenti menjadi selebgram tapi ia belum memikirkan bagaimana ia menghidupi diri sendiri setelah melepaskan profesinya?
Sebenarnya ia juga sudah gerah memalsukan statusnya bersama Rio. Tapi jika ia tidak rujuk dengan Rio, bagaimana ia melanjutkan pekerjaannya sebagai selebgram? Netizen terlanjur menyukai konten mereka sebagai pasangan serasi. Padahal kenyataannya.. Ahh.. sudahlah..
Kepalanya berdenyut memikirkan itu semua. Tiba – tiba saja ia beranjak dari kursi dan memutuskan untuk pergi dari manusia – manusia palsu di hadapannya.'
"Ini uang arisanku untuk enam bulan ke depan," ujar Mayra sembari mengeluarkan enam bendel uang ratusan dari tasnya.
"Maksud kamu?" Jelita melipat dahi, raut wajahnya kebingungan melihat Mayra yang tetap pada pendiriannya.
"Aku keluar dari grup ini, sepertinya kalian lebih happy tanpa aku.. sampai jumpa..", Mayra berlalu pergi begitu saja. Mereka saling tatap, tidak percaya Mayra berani melakukan itu. Meskipun begitu, ada kelegaan di wajah Mayra meninggalkan mereka yang sepertinya menyadari kepalsuan pada diri mereka masing – masing.
***
"Pak, apa tidak perlu dipertimbangkan lagi?" Doni, salah satu personal assistant Raka berjalan mengejar bosnya itu yang melangkah sangat cepat.
"Sudah saya pertimbangkan berkali – kali, tapi mereka tidak kooperatif, cut-off saja mereka." balas Raka, tangannya sibuk membalas chat dari beberapa pemegang saham hotel.
"Baik, Pak," Doni langsung menghentikan langkahnya saat Raka memasuki mobil alphard. Pak Anwar, supirnya yang sudah bekerja sejak ia menjabat menjadi General Manager Hotel Clark Bali, langsung membawa mobil itu ke Moresco Garden Restaurant, salah satu restoran miliknya yang akan menjadi tempat wawancara eksklusif dengan wartawan Al – Jazeera.
Mobil hitam itu melesat keluar area hotel. Diletakkan ponselnya di kursi sebelah. Tanpa sadar, pikirannya mulai melayang membayangkan wajah Mayra. Selama sepuluh tahun, melamuni wajah ayu cinta pertamanya adalah moodbooster saat dilanda stres oleh pekerjaan, yang lama – kelamaan malah jadi kebiasaan. Seketika hatinya teremas – remas menahan kerinduan pada wanita pujaannya itu. Tiba – tiba saja lamunannya terpecahkan oleh suara dering telepon ponselnya.
Deg!
Jantungnya hampir copot melihat nama yang terpampang di layar ponsel. Nama di kontak tersebut sama sekali tidak pernah ia hubungi atau bahkan menghubunginya. Mayra.. begitu ia menyimpan kontak itu. Ia masih terdiam melihat nama itu. Tapi mengapa Mayra menghubunginya? Apakah karena pertemuan terakhir itu mengesankan juga bagi dia? Ahh.. ia tidak ingin berharap lebih.. tapi bagaimana mungkin ia tidak berharap? Sementara hatinya sudah mengharapkan wanita itu selama sepuluh tahun!