BAB 3

46 31 192
                                    

Mobil civic putih yang dikendarai Mayra melaju pelan menuju garasi depan rumahnya. Rumah peninggalan ibu angkatnya tidak begitu mencolok di antara deretan rumah lainnya, namun pepohonan dan berbagai tanaman di depan rumah membuat rumah itu sejuk dipandang. Wanita itu turun dari mobilnya, namun matanya masih tidak bergeming menatap ponselnya. Ia masih sibuk berselancar di aplikasi pencarian jodoh yang belum lama ia instal. Sudah hampir sebulan ia mencari seorang laki – laki yang bersedia jadi muhallil tapi tidak ada satu pun yang bersedia melakukannya. Jika ada yang mau, pasti mereka menginginkan bayaran yang setimpal. Sempat terbesit di hati Mayra untuk mengikuti usul Rio agar menikahi Bimo saja, tapi kemudian ia menggeleng – gelengkan kepala, bagaimana bisa ia menikahi Bimo yang istrinya sedang mengandung 8 bulan? Dia masih punya hati nurani.

Dibukanya chat di aplikasi pencarian jodoh. Rata – rata balasannya tidak mau karena memang mereka berniat mencari pasangan serius. Bukan untuk sementara. Mayra membuka pintu utama dan merebahkan diri ke sofa ruang tamu. Ia pegang kepalanya erat – erat untuk mengusir denyut kepala yang semakin mengganggu. Namun tiba – tiba, bel rumah berbunyi. Dibukanya pintu utama perlahan dan betapa terkejutnya saat ia melihat sosok di balik pintu itu.

"Mbak Tamara? Tumben mbak ke sini?" Mbak Tamara, kakak iparnya, atau lebih tepatnya mantan kakak iparnya datang sembari menenteng rantang dan tas kresek hitam yang sudah gampang ditebak apa isinya.

"Duhh.. disuruh masuk dulu, kek, sebelum nanya," jawab wanita itu ketus, wajahnya mengkerut. Mayra sudah terbiasa menerima ekspresi seperti itu. Wanita 38 tahun itu memang gampang tersulut emosi dengan hal – hal sepele. Pantas saja kerutan di wajahnya sangat banyak.

"Mau minum apa, Mbak?" tanya Mayra sesaat setelah mereka berdua duduk di kursi tamu.

"Nggak usah.. aku mau to the point aja, gini.. kita udah baik hati nawarin Bimo untuk jadi muhallil, kita juga udah izin istrinya kok dan dia nggak keberatan, tapi kamu malah mempersulit diri. Aku heran sama jalan pikiranmu, kan nikahnya cuma sementara? Apa karena Bimo kurang ganteng?" alis matanya yang dicetak tebal menukik tajam ke atas, membuat Mayra sedikit bergidik.

"Bukan begitu, Mbak.. aku nggak mau me-..."

"Nggak.. aku nggak butuh jawaban. Intinya begini, kalau sampai bulan depan kamu nggak dapet muhallil, kamu harus nurutin apa kataku!" hati Mayra rontok seketika saat mendengar ucapan Tamara. Dia tidak mau menikah dengan Bimo, dia tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati Siwi saat suaminya dipaksa menikahinya demi uang.

"Nih.. aku bawain sarden sama bedcover. Masih bagus ini bedcover-nya," kata Tamara sembari menyodorkan rantang dan tas kresek hitam. Mayra tersenyum sinis. Namun sebelum mantan kakak iparnya itu menyadari senyum sinisnya, ia buru – buru mengucapkan terima kasih. Wanita bertubuh bulat itu langsung keluar dari rumah Mayra dan segera menyalakan mobil innovanya.

Mayra kemudian dengan malas membuka oleh – oleh mantan kakak iparnya itu. Sebuah bedcover berwarna pink kusam dan banyak bercak noda kecoklatan terbentang jelas di hadapannya. Mayra menghela nafas dan berkata pada diri sendiri untuk sabar. Selanjutnya ia buka rantang yang berisi sarden.

"Astagfirullah.. udah berlendir!"

***

Sabtu malam yang ditunggu – tunggu pun telah tiba. Raka sudah duduk di meja beralas kain satin putih di sebuah restoran western mewah. Lelaki berjambang tipis dengan rambut sedikit gondrong yang ditata rapi itu mengenakan kaos putih polos yang dipadu dengan blazer casual warna navy. Meskipun tampilannya sempurna tapi ketegangan di wajahnya tidak bisa ditutupi. Berkali – kali ia mengelap telapak tangannya yang berkeringat dan kemudian membayangkan wajah Dewa yang pasti akan menertawakannya jika berada disampingnya. Berkali – kali juga ia menengok jam tangan mewahnya, berharap jarum jam segera menunjuk angka tujuh tepat.

Ia menghela nafas dalam – dalam, menoleh lagi ke arah pintu masuk,

Deg!

Hatinya mencelos melihat wanita yang selama ini jauh dari jangkauannya berjalan dengan anggun melewati pintu masuk. Rasanya seperti mimpi, wanita yang selama sepuluh tahun ini hanya datang di mimpinya kini berjalan mendekatinya. Semakin dekat semakin ia bisa melihat paras menawan itu, membuat hatinya semakin bergelora, dan hampir kehilangan akal jika ia tidak bisa mengontrol dirinya.

"Hai Raka... apa kabar?" Mayra langsung menyalami Raka. Disambutnya tangan lentik itu yang segera memicu getaran hebat di dadanya. Ahh.. sungguh ia ingin tetap memegang tangan indah itu!

" Alhamdulilah, baik, kamu gimana?" suaranya terdengar bergetar, kedua bola matanya begitu melekat pada paras menawan itu.

"Aku juga baik, .." balas Mayra sembari tersenyum.

Alunan musik instrumen di sudut restoran mengiringi pertemuan mereka. Raka yang memang bukan tipe pembuka pembicaraan pun hanya terdiam dan mencoba mengalihkan pandangan dari Mayra, matanya pura – pura fokus pada para waitress yang belum juga mendatangi mejanya.

"Aku nggak nyangka kamu sekarang jadi sesukses ini..", Mayra membuka topik pembicaraan. Raka lekas menoleh ke arahnya, rona merah padam dipipinya terlihat jelas di bawah sinar lampu kristal kekuningan yang menaungi mereka.

"Emm.. masih banyak alumni SMA Perdana yang lebih sukses dari aku.." jawabnya singkat, padahal hatinya ingin berteriak bahwa dia lah yang menginspirasinya menjadi sesukses ini.

Hening lagi.

"Aku.. aku seneng waktu kamu bilang pengen ketemuan, padahal kita baru kenal pas mau ujian nasional, tapi rasanya aku udah kenal kamu jauh sebelum itu.." Mayra tersenyum tipis, mengukir lesung pipi yang membuat hati Raka semakin bergejolak.

"Sebenarnya.. Vina yang ngechat kamu, bukan aku.. aku sibuk akhir – akhir ini," Mayra terdiam mendengar jawaban itu, binar wajahnya yang berseri lenyap seketika.

"Ohh.." wajah ayu itu tertunduk lesu. Sesaat Raka menyadari bahwa apa yang diucap dan dirasakannya sungguh bertolak belakang.

"Dasar bodoh! Bodoh!" umpat lelaki itu dalam hati.

Tiba – tiba saja seorang waitress mendatangi meja mereka. Seperti orang yang pertama kali mendatangi restoran mewah, Raka terlihat canggung membaca menu tebal itu, padahal tiap minggu ia mendatangi restoran yang lebih mewah dari ini untuk sekedar membicarakan bisnis hospitality dengan klien. Mayra kemudian memesan air mineral sementara Raka memesan orange juice. Sang waitress pun lekas mengambil dua menu dari meja mereka kemudian bergegas menuju kitchen.

"Gimana kabar suamimu?" Raka mencoba mengawali pembicaraan.

"Emm.. baiik.." jawab Mayra lama.

Tak lama kemudian, minuman yang mereka pesan sudah datang. Mayra langsung meminumnya saat sang waitress sudah pergi.

"Kata Vina, suamimu nggak sebaik yang diekspose di instagram-mu, apa itu benar?", Mayra terdiam, gelas yang dipegangnya terhenti sejenak.

"Kok Vina bisa ngomong kayak gitu?" diletakannya gelas bertangkai itu lalu mulai mencondongkan tubuhnya ke arah Raka.

"Dia tahu dari karyawan barunya yang dulu pernah kerja di tempatmu," mata Raka tajam menelisik raut wajah Mayra yang tidak nyaman oleh pertanyaannya.

Hening.. lagi – lagi Raka telat menyadari bahwa tidak seharusnya ia menanyakan hal seperti itu, apalagi di pertemuan pertama.

"Maaf.. maksud aku.. aku cuma ingin memastikan kamu baik – baik saja sama suamimu. Aku bakalan nggak bisa tenang kalo kabar itu memang beneran, karena aku nggak tahu bagaimana caranya menolongmu. Jujur.. aku masih berhutang budi padamu.." suara lelaki itu terdengar semakin bergetar. Meskipun begitu ia merasa lebih lega.

"Berhutang budi apa?", Mayra melipat dahinya.

...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang