Chapter 8

2K 376 4
                                    

[Halo! Bab 7 full sudah aku upload di Karyakarsa, ya. Untuk yang ikutin di sana, tinggal 3 bab lagi cerita ini tamat. Gak kerasa udah 36 ribu kata, hehe. Jangan lupa ikutin instagram freelancerauthor juga, ya. Siapa tau ada kabar yang aku share di sana soal cerita-ceritaku.]

Arthur tidak bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Dia melihat sendiri bagaimana menakjubkannya makhluk kecil itu bisa menggetarkan hatinya. Dia tidak bermimpi mengenai apa pun hingga bisa menemukan fakta bahwa dirinya sudah menjadi seorang ayah dalam waktu yang bisa dikatakan sekejap. Sebab Arthur tidak mengalami perjuangan kehamilan itu sendiri. Bagi Tavi mungkin waktu berjalan lebih lama dan penuh dengan tantangan. Pria itu harus berterima kasih karena diberikan kesempatan ini. Kesempatan dimana Arthur akhirnya bisa mengamati dari dekat anaknya.

Melihat betapa gemuknya bayi yang sekarang ini sedang terlelap, membuat Arthur menyimpulkan bahwa Tavi tidak pernah setengah-setengah dalam mengurus bayi mereka. Perempuan itu pasti sangat memperjuangkan supaya Emory mendapatkan ASI yang berkualitas dan banyak.

"Tangannya kayak roti," ucap Arthur dengan senyuman yang tidak bisa lepas dari bibirnya.

"Ya, dia ngamuk kalo makanannya nggak sesuai yang dia mau."

Tentu saja usia Emory yang masih dua bulan membuatnya mengandalkan ASI dari sang ibu. Dengan segala kekuatan, Emory selalu mampu menangis keras jika ASI yang diinginkannya tak kunjung datang menghinggapi mulutnya.

"Berapa bulan usia kandungan kamu saat kamu pergi?" tanya Arthur.

"Sekitar tiga bulan. Mereka nggak menunjukkan keberadaannya di dalam perutku sebelum aku tahu. Aku sempet bingung gimana bisa aku hamil bayi kembar sedangkan ukuran perutku nggak sebesar wanita hamil lainnya."

Arthur tidak sanggup membayangkan bagaimana perjuangan Tavi untuk mengurus kehamilannya sendiri. Bukan hanya ada satu bayi, tapi dua. Meski pada akhirnya salah satu dari bayi itu tidak mampu bertahan di dunia.

"Mungkin mereka sangat tahu kalo aku ... agak malu dengan kehamilanku sendiri. Mereka ngumpet dan nggak menunjukkan diri sampai akhirnya aku nyesel karena putriku nggak selamat—"

Arthur tidak bisa mendengar kalimat lanjutan dari bibir Tavi. Pria itu berjalan cepat dan memeluk tubuh Tavi. Meski terkejut dengan tindakan Arthur, tapi pelukan itu nyatanya mampu memberikan kehangatan yang Tavi inginkan. Cinta untuk Arthur memang masih begitu kuat hingga Tavi kesulitan untuk menyangkalnya.

"Aku minta maaf, Vi. Maafin aku yang nggak ada disaat kamu mengalami semua itu."

Pelukan itu tidak bisa bertahan lama. Tavi mendorong dengan cepat pelukan Arthur dan mengusap pipinya yang menitikkan air mata.

"Bukan salah kamu. Aku yang nggak kasih tahu kamu, untuk apa kamu minta maaf? Aku yang berkehendak begitu. Itu kesalahanku sendiri kalo harus menanggungnya sendirian."

Arthur tahu bahwa semua sikap keras yang Tavi tunjukkan ini akan terus berlanjut. Perempuan itu tidak ingin membuka dirinya terlalu bebas lagi untuk Arthur. Tidak ada yang bisa membuat Tavi percaya begitu saja pada sikap Arthur saat ini. Perempuan itu terlalu takut jika nantinya disakiti kembali oleh harapan yang dibangun di kepalanya sendiri.

"Oke. Aku nggak akan minta maaf lagi. Tapi kamu juga jangan nyalahin diri sendiri lagi. Aku nggak mau kamu menyalahkan diri kamu sendiri, Vi. Kalo kamu belum bisa maafin aku, nggak masalah. Asal kamu bisa memaafkan diri kamu sendiri dan nggak semakin melukai diri kamu sendiri juga. Cukup aku yang menyakiti kamu, jangan kamu sendiri."

Tidak ada yang lebih mencemaskan bagi Arthur saat ini ketika melihat Tavi selain sikap perempuan itu pada dirinya sendiri. Arthur tahu diam-diam Tavi tidak sepenuhnya menyalahkan Arthur, hingga menjadi lebih keras menghukum diri sendiri dengan mengatakan bahwa Tavi yang bersalah.

Tidak ada yang membuat Arthur lebih takut selain melihat Tavi menyembunyikan kesakitannya. Justru Arthur merasa bisa sedikit lega jika Tavi mau membagi kemarahannya di depan pria itu. Tak apa jika Tavi ingin menampar, atau meluapkan kemarahan dengan cara brutal. Tak masalah jika Arthur menjadi pelampiasan bagi kemarahan dan rasa kecewa Tavi, setidaknya semua itu bisa mengurangi tekanan di hati Tavi.

"Jangan sok tahu mengenai apa pun, Arthur. Kamu aku kasih izin untuk bisa dekat dengan Mory, tapi jangan melewati batas kamu. Kamu memang ayah Mory, tapi bukan pasanganku. Jadi bersikaplah seperti kamu sebagai ayah Mory aja, nggak perlu merasa bisa berbagi emosi denganku."

Tavi berbalik dan pergi dari kamar itu, meninggalkan Arthur yang kembali terdiam dan harus terus bersabar untuk bisa menghadapi Tavi yang sekarang ini. Wajar jika perempuan itu bersikap kasar dan keras hati, yang terpenting adalah Arthur bisa menjaganya meski tak diharapkan demikian. Perlahan tapi pasti, Arthur ingin meluluhkan hati Tavi kembali dan tidak melakukan kesalahan bodoh lagi.

Pria itu kembali menatap Emory, dengan takut-takut berusaha menyentuh pipi sang bayi. Lembut. Arthur merasa sangat cengeng karena keinginan menangis melihat bayinya bisa tertidur lelap saat ini.

"Emory, maafin papa, ya. Mulai sekarang papa akan berusaha menjaga kamu dan mama. Kalo kamu sudah lebih besar, papa akan ajak kamu ke makam kembaran kamu. Meskipun nantinya mama akan mengenalkan kamu dengan Rory, papa akan tetap berusaha untuk dekat dengan kalian berdua."

Melihat rupa Emory saat ini membuat Arthur juga bertanya-tanya seperti apa rupa bayi perempuannya. Apakah mereka sangat mirip? Atau justru berbeda? Yang pastinya Arthur yakini, Rory pastilah secantik Tavi. Meski perempuan itu selalu merasa tak percaya diri dengan kecantikannya, tapi bagi Arthur Tavi memiliki kecantikannya sendiri.

"Papa cinta kamu, Rory, dan mama. Tolong bantu papa untuk bisa membuka hati mama kamu lagi."

Ponsel Arthur berdering, dia buru-buru menyingkir dari tempat tidur putranya dan mengangkat panggilan tersebut.

Mami ...

Arthur menghela napasnya. Tidak tahu apa yang akan maminya sampaikan.

"Halo, Mi?"

"Adek lagi dimana?"

Arthur sejujurnya tak suka dengan panggilan 'adek' yang selalu digunakan oleh maminya. Dia sudah dewasa, kenapa masih saja diperlakukan demikian?

"Arthur lagi ada urusan. Kenapa emangnya, Mi?"

"Kenapa nggak dateng di nikahan Davni? Kamu masih belum move on sampe menghindar begini?"

"Astaga, Mami. Nggak ada yang begitu. Arthur nggak dateng karena ada urusan yang lebih penting."

"Urusan apa yang lebih penting? Mami dapet info dari Amir kamu nggak ada di kantor, kok. Jadi kamu lagi dimana? Sembunyi dimana kamu? Harusnya kamu dateng di acara nikahan Davni, Dek! Biar kamu tahu kalo kamu nggak perlu susah-susah move on. Davni, tuh, sebenernya masih berharap sama kamu—"

"Mami terlalu ngaco. Aku nggak mau bahas ini lagi. Udah berapa bulan masalah ini berlalu? Kenapa, sih, Mami masih aja bahas? Lagi pula, aku udah bilang kalo aku nggak cinta sama Davni."

"Adek, kamu tuh keras kepala banget! Kamu cuma ngenalin Davni sejauh ini ke keluarga kita. Itu artinya dia adalah perempuan yang kamu cinta."

Tangisanbayi terdengar begitu melengking. Arthur segera mengakhiri telepon tersebut."Mi, aku nanti mampir ke rumah. Ada hal yang harus aku omongin. Tapi nanti. Loveyou, Mi!"

Kata Cinta Yang Sia-Sia / TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang