Chapter 6

2K 384 11
                                    

[Aloha! Bab LIMA : DETIK YANG MENGUBAH SEGALANYA sudah aku unggah di karyakarsa, ya. Coba tebak apa yang lima detik terjadi, sih? Sambil nebak, bisa dukung bab 5 supaya aku makin semangat update-nya. Tinggal 5 bab lagi buat tamatin kisah ini di Karyakarsa. Enaknya ada versi cetak nggak, sih? Kalo ada, bisa DM aku di IG freelancerauthor, kalo lebih dari 10 orang aku mau cetak terbatas.]

Ini semua adalah kesalahan Tavi sendiri. Jika dipikirkan berulang kali, Tavi sangat malu sudah berdiri diantara keinginan Arthur dan rasa percaya diri yang salah. Lebih tepatnya, Tavi bisa disebut terlalu gede rasa dengan semua perhatian yang diberikan oleh Arthur. Pria itu hanya berniat menggunakan Tavi sebagai perantara untuk bisa dekat dengan Davni, tapi rupanya Tavi merasa terlalu berlebihan menyikapi apa yang Arthur lakukan. Salah Tavi juga karena tidak menggunakan mulutnya untuk bertanya pada pria itu mengenai apa yang sebenarnya mereka jalani.

Namun, sisi manusiawi yang ada di dalam diri Tavi meraung tak terima. Mengapa Arthur harus melakukan semua tindakan selayaknya pria yang sedang jatuh cinta pada Tavi? Jika memang pria itu menargetkan Davni sejak awal, kenapa malah membuat Tavi salah paham terlalu jauh? Seharusnya, pria itu tidak menidurinya! Oh, jika itu semua karena pengaruh alkohol, bukankah seharusnya sejak bangun di ranjang hotel, Arthur mengatakan bahwa semua semua itu adalah kesalahan? Bukannya malah memberi tawaran pada Tavi untuk tinggal bersama!

Memang tak seluruh kesalahan ada di pundak Tavi, begitu pula Arthur. Pria itu memiliki kesalahannya sendiri, dan harusnya memang pria itu tidak memiliki tanggung jawab atas perasaan yang Tavi miliki. Jika Tavi jatuh cinta lebih dulu, itu adalah urusan Tavi sepenuhnya. Arthur tidak berhak mengatur perasaan perempuan itu apa pun alasannya. Jika pada akhirnya Tavi sesak dengan rasa sakitnya, harusnya memang tak berharap disembuhkan oleh orang lain selain dirinya sendiri.

Namun, sekali lagi, Arthur memang menyumbang kesakitan terbesar bagi Tavi tanpa disadari. Pria itu bahkan bisa saja tak bersikap selayaknya pasangan yang baik kepada Tavi. Mereka tak perlu bercinta seolah memang perasaan itu nyata. Mereka bahkan tak perlu saling menggenggam jika memang Arthur tak memiliki perasaan apa pun pada Tavi.

Sekarang Tavi hanya bisa memandang wajah imut dan tubuh mungil yang sedang menyusu di dadanya. Namanya Emory Oliver, berjenis kelamin laki-laki. Tavi melahirkan bayi kembar tidak identik berbeda jenis kelamin. Namun, putrinya tak bertahan lama di dunia. Bayi manis kembaran Mory itu hanya bertahan dua puluh jam hingga akhirnya meninggal secara mendadak. Meski sering ada kasus semacam itu dalam dunia medis, tapi Tavi tak bisa begitu saja menerimanya.

Kedua bayinya adalah takdir yang diberikan Tuhan. Namun, salah satunya harus pergi, kembali pada Sang Pencipta. Bagi Tavi itu adalah takdir yang terlepas dari genggamannya. Serasa salah satu organ di dalam tubuhnya tercabut dan tak memiliki pendonor yang cocok untuk menyembuhkannya. Tavi akan selamanya merasa sebagian di dalam dirinya hampa, hilang, dan lepas tanpa bisa kembali. Satu-satunya harapan yang bisa membuat Tavi memaksakan diri untuk tetap waras, itu adalah Mory, putranya.

Sesungguhnya saat ini Tavi bersikap sangat tidak dewasa. Kabur dari masalahnya—menghadapi Arthur—dan membiarkan ibu Nolan yang mengatasinya. Padahal bisa saja Tavi tidak membiarkan semakin banyak drama terjadi dengan bicara empat mata dengan Arthur dan menentukan sikap atas semua yang terjadi. Jangan sampai masalahnya didengar tetangga, dan lebih parahnya malah melibatkan ibunya Nolan hingga menimbulkan banyak tanya bagi orang lain yang mungkin saja melihat.

Tersadar bahwa yang tinggal di lingkungan itu bukan hanya dirinya dan ibu Nolan, dia segera merebahkan Mory di ranjang khusus karena sudah kenyang dan tidur lelap. Semoga saja Tavi belum terlambat untuk menyelamatkan situasi menjadi semakin kacau. Jangan sampai ada tetangga yang melihat perdebatan ibu Nolan dan Arthur. Atau mungkin udah, tapi semoga saja tidak banyak. Sebab Tavi tak ingin permasalahannya menjadi konsumsi orang sekitar dengan cuma-cuma. Jika dia seorang entertainer, mungkin publik yang mengonsumsi pemberitaannya bisa menaikkan pamornya. Sayangnya, Tavi tidak bertekad menjadi salah satu orang terkenal baik di media sosial atau di televisi.

"Bu, saya ingin bicara dengan Tavi,"

"Nggak bisa! Tavi-nya saja nggak mau diganggu—"

"Bun," sela Tavi yang pada akhirnya keluar dari rumahnya.

Arthur menunggu dengan berdebar karena Tavi akhirnya keluar. Sedangkan ibu Nolan menoleh dan berusaha untuk menjelaskan bahwa dirinya mengusir tamu tak diinginkan itu.

"Bun, aku mau bicara sama Arthur."

Tatapan ibu Nolan terlihat begitu shock dengan apa yang didengarnya. "Kamu ... apa?"

Tavi menguatkan keinginannya. Dia menatap ibu Nolan dan memberikan senyuman penuh keyakinan. "Bun, aku bisa atasi ini. Makasih udah jagain Mory selama aku pergi ke makamnya Rory tadi. Nanti aku akan ke rumah bunda begitu urusanku selesai."

Meskitampak tak bisa mempercayai apa yang didengarnya, ibu Nolan tetap menghargaikeinginan Tavi yang ingin bicara dengan pria yang diyakini sebagai perusakhidup Tavi. Wanita yang melahirkan Nolan dan tetap menyanyangi Tavi selayaknyaputrinya sendiri itu menurut untuk kembali ke rumahnya sendiri dan memberikanwaktu pada Tavi dan Arthur. 

Kata Cinta Yang Sia-Sia / TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang