Chapter 11

1.5K 293 7
                                    

[Chapter ini adalah bagian dari bab 3 dari kisah Tavi dan Arthur. Kalian bisa baca lengkap kisah mereka di Karyakarsa secara lengkap. Satu babnya terdiri lebih dari 5000 kata. Bisa beli bab satuan atau mau nggak ribet beli secara paket aja, jadi nanti tinggal nunggu update bab baru dan langsung baca kalo udah beli paket. Happy reading!]

Tiga hal membekas di dada Tavi adalah luka, duka, dan cinta. Sebenarnya tidak aneh jika orang tua Arthur mengenal dan akrab dengan Davni. Perempuan itu memiliki kapasitas yang pantas untuk bisa dikenalkan pada keluarga Arthur. Tak seperti Tavi yang sudah pasti tidak cocok untuk masuk ke dalam keluarga pria itu sama sekali.

Untuk apa kepala Tavi masih saja dipenuhi dengan ekspresi dan pembicaraan Arthur saat mengangkat telepon maminya? Harusnya Tavi tidak membebani diri sendiri untuk hal semacam itu. Sebab memelihara ingatan itu dan menjadikannya beban pikiran hanya akan membuat tiga hal yang dirasakannya semakin nyata.

Terluka karena cinta, berduka karena kehilangan salah satu buah hati yang dicintainya, dan cinta yang melukainya hingga berduka. Semua itu harusnya bisa menyadarkan Tavi bahwa hidupnya sudah sangat kacau dan tak perlu ditambahkan kekacauan dengan mengenal keluarga Arthur.

Namun, mau tak mau pemikiran itu menghinggap di kepala Tavi. Saat ini arthur sudah mengetahui keberadaan Emory. Bagaimana pun pria itu akan mengatakan keberadaan anaknya yang sudah lahir ke dunia kepada keluarganya. Mengatakan bahwa Arthur sudah menjadi seorang ayah meski tak resmi dalam ikatan pernikahan. Pria itu akan mengatakan semuanya dan bagaimana keluarga Arthur akan menanggapinya?

"Kalo mereka tahu Mory, itu artinya mereka akan berusaha telibat, 'kan?" gumam Tavi sendiri.

Tavi tidak bisa menahan helaan napasnya yang terlalu keras berhembus, hingga Mory terkejut dan melepaskan bibir dari puting akibat gelagapan oleh napas sang ibu.

"Eh, Sayang."

Bayi itu menangis karena aktivitasnya terganggu. Akibatnya, Tavi harus menenangkan Emory yang malah merajuk. Bayi sekecil Emory saja sudah pandai merajuk karena momen makannya terganggu.

"Maaf, maaf, Nak. Maafin mama, ya."

Usapan di punggung Emory yang dilakukan sang ibu membuat sang bayi tenang secara perlahan. Setelah beberapa menit, Emory sudah kembali sibuk menyusu dan bergegas masuk ke alam mimpi. Jam menunjukkan pukul lima pagi, setelah ini Tavi harus membereskan rumah dan membuatkan dirinya sendiri sarapan karena menyusui Emory membuat perempuan itu kelaparan.

Tidak ada waktu untuk tidur karena aktivitasnya sudah harus dimulai pagi-pagi sekali. Meski kekurangan jam tidur semalam, tapi Tavi tidak bisa memejamkan mata jika sudah mendengar adzan subuh. Hebatnya, Emory selalu ikut terbangun saat ibunya memang bangun. Anak itu terhitung tidak rewel mengenai jam tidur. Entah karena kebiasaan Tavi tidur bersama anak itu atau bagaimana, tapi Emory seolah mendapatkan sleep training hingga Tavi selalu merasa kenyang ketika tidur malam.

"Anak pinter, mama bersih-bersih dan masak dulu, ya."

Tavi tetap meredupkan pencahayaan kamar, tetap membuat suasana senyaman mungkin bagi bayi itu. Nanti sekitar jam tujuh, Tavi akan membangunkan Emory untuk memandikannya dan saat itulah ibu Nolan akan menjemput Emory dan memberikan waktu bagi Tavi untuk membersihkan diri sendiri dan sedikit me time—mengunjungi makam Rory, sebelum mulai bekerja membuat kue pesanan.

Seluruh aktivitas Tavi berjalan normal seperti biasanya. Dia membuat sarapan yang terhitung berat karena sepagi ini sudah menggoreng nugget, menumis sayur labu, dan membuat sambal. Dia makan dengan lahap seperti Emory yang selalu asyik mengisi perut. Setelah selesai, dia bergerak untuk mencuci peralatan makan dan masaknya, menjemur pakaian yang sudah digiling semalam dan memasukan cucian kotor yang baru. Meski hanya berdua dengan Emory, nyatanya jumlah cucian tidak sesedikit itu. Sebab Tavi sering berganti pakaian jika merasa baju yang dipakainya kotor karena rembesan ASI, bekas memasak, atau sekadar berkeringat. Untuk pakaian Emory, Tavi selalu mencucinya dengan tangan sesering yang ia bisa.

Pukul tujuh, Emory sudah terbangun tanpa menangis dan kegiatan mandi pun dilakukan. Bayi itu suka bermain air dan terkadang justru menangis jika diangkat untuk berganti pakaian.

"Anak mama pinter banget kalo mandi. Seneng, ya? Main air seneng banget. Kayak siapa, sih? Mama nggak hobi main air, loh. Mama aja nggak bisa renang. Kamu pasti mirip papa—"

Tavi menghentikan ucapannya sendiri yang terlalu keblablasan. Dia selalu tak bisa mengendalikan diri mengatakan hal-hal semacam itu. Padahal selama kehamilannya, bisa dibilang tak ada sosok Arthur yang menemani.

Mungkin karena terlalu hening, Emory menggerakan kakinya dengan semangat hingga Tavi basah oleh ulah bayinya.

"Aduh, Mory! Mama jadi basah, nih."

Berhati-hati membawa Emory kembali ke kamar, Tavi memakaikan baju berwarna biru dongker yang sungguh lucu dikenakan oleh bayi itu.

"Hm! Harumnya anak mama. Ganteng banget pake baju biru. Habis ini nyusu dari botol, ya. Baju mama basah, nanti kamu ikutan basah lagi."

Tavi mengambil ASI yang sudah diperas dan dimasukkan ke botol susu. Diberikannya kepada Emory yang langsung semangat meneguk ASI tersebut. Bel rumah berbunyi, Tavi dengan semangat berkata, "Itu nenek! Mory habis ini sama nenek dulu, ya. Mama mau mandi terus ke tempatnya kakak Rory."

Bayi itu tak terusik meski dibawa keluar, yang terpenting botol susunya tidak pergi kemana-mana.

Dengan senyuman merekah, Tavi membuka pintu. "Bun—"

Bukanbunda Nolan yang datang. Itu adalah Arthur, pelaku yang membunyikan bel rumahTavi. Ini sungguh kejutan yang tak diharapkan oleh Tavi.

Kata Cinta Yang Sia-Sia / TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang