# 00.04

24 3 0
                                    

"semuanya bisa aku atasi sendiri, tapi ayah ibu lama-lama aku capek sendiri."

️☁️☁️

tahukah kalian, apa yang lebih kesal dari marah?

jawabannya kecewa.

aku menatap uang pecahan lima puluh ribu rupiah yang baru saja di berikan ayah padaku. kalian tahu makna dari uang lima puluh ribu itu? itu merupakan simbol kata maaf.

kata maaf dari kesalahan kemarin yang menghakimiku dengan emosi.

lucu sekali bukan? maaf di rumah ini bisa di ganti dengan uang. lucu lagi, aku menerima saja karena aku yang beban ini memang tak punya uang.

aku benci diriku dengan kecewa yang begitu besar pada takdir yang ku hadapi saat ini.

karena kejadian semalam, aku lebih banyak diam, dan diamku selalu membuat mamaku menangis.

seperti saat ini yang terjadi.

mama tiba-tiba menangis ketika baru saja ia bangun tidur.

"kapan aku sembuhnya?" Isak ibu.

"aku mau sembuh, aku sudah usaha, sudah berdoa, tapi belum sembuh juga. aku mau masak, nyuci baju, nyapu. rumah ini berantakan sejak aku sakit." kata ibu dengan tangisnya yang pecah.

lihat, ibu selalu begini tiap kali aku mendadak menjadi lebih banyak diam dan terlihat dingin dihadapan mereka, apa aku terlalu berlebihan? kakaku bilang aku terlalu mudah tersinggung. sebenarnya aku cuman butuh tenang dan dimengerti tanpa dibilang.

jika melihat ibu seperti ini, aku selalu merasa bersalah, ada perasaan di sisi hatiku yang luas akan benci pada dunia ini yang sangat ingin meminta maaf pada ibu jika tangis ibu selama ini karena aku. tapi sayang dari kecil aku tidak terbiasa mendengar kata maaf di lingkungan keluarga, jadi kata maaf seperti kata asing yang menjadi sulit untuk aku ucapkan.

ayah menghampiri dengan maksud menenangkan, "coba berpikir positif, kamu itu sudah sembuh, tinggal tahap pemulihan aja. banyakin sabar, kami disini gak akan tinggalin kamu. ada aja (aku) yang bantu beres-beres rumah ini, ada kakak yang bantu kita soal keuangan, ada juga adik yang bisa kan di minta tolongi beli ini beli itu. jadi kamu gak usah mikirin apa-apa, fokus aja sama kesehatan kamu."

mendengar itu ibu masih terisak, "kalau kamu terus gini yang ada kamu stress sendiri ntar makin lama sembuhnya. udah kamu tenang aja, semuanya akan baik-baik aja, jangan dipkirin, anggap kamu sudah sehat aja."

aku tersentuh dengan wajah datarku. ayah bisa menjadi baik disaat-saat seperti ini tapi kadang menjadi jahat ketika moodnya buruk apalagi saat bermain catur.

aku jadi bingung, aku berada di keluarga seperti apa? cemara atau cempaka?

pukul sebelas, aku pergi ke pasar beli bahan untuk masak siang dari uang lima puluh ribu yang ayah kasih pagi tadi , dari sayuran, sampai bahan instan seperti tepung, ku beli dan uang lima puluh ribu itu telah habis.

kadang aku mikir, aku anak kuliahan tapi aku gak pernah cukup punya uang padahal aku sudah cukup hemat, bukan aku tidak bersyukur, tapi mengingat tugas ku jadi manusia tidak hanya menjadi seorang mahasiswa, tapi berperan ganda juga menjadi anak kedua yang merangkap tugas seperti seorang ibu. uang yang katanya untukku akan selalu habis kembali untuk mereka yang ada dirumah. jadi jika dipikir aku jarang mendapat uang untuk belanja diriku sendiri. karena setiap kali aku belanja, aku melibatkan uang itu untuk kebutuhan mereka agar mereka merasa senang.

terkadang aku merasa ini tidak adil, tapi aku tidak bisa menjadi egois, terkadang aku merasa iri dengan adikku yang SMP dikasih jajan setiap hari lima belas ribu bahkan bisa lebih sedang aku dikasih lima puluh ribu kadang dalam kurun waktu seminggu sekali, kadang dua kali dalam seminggu. rasanya aku ingin menyuarakan uang lima puluh ribu untuk waktu seminggu bagi aku seorang mahasiswa sekaligus sebagai seorang yang membeli bahan masak kebutuhan perut orang rumah sangat lah tidak cukup. lagi-lagi, aku bisa apa, aku tidak boleh egois.

sorenya, ayah datang membawa lauk masak untuk makan malam sambil berbincang denganku.

"udah banyak sabar aja kita, tadi kalau gak di alihkan perhatiannya bisa bahaya terganggu pikirannya, bangun tidur tiba-tiba nangis, kasian ayah sama mama kamu."

aku hanya berdehem menanggapi itu. bingung harus balas apa.

"syukuri aja jalani aja, masalahnya kalau sakit langsung mati gapapa gak ngerepotin kan, nah ini kan ibu kamu sakit nya kita harus rawat jadi kita harus banyak bersabar, entah sampai kapan bersabarnya, anggap aja kamu lagi berbakti sama ibu kamu, kasian ibu kamu itu." lanjut ayah.

aku terdiam.

***

"kakak katanya nginep sini ya?" tanya ayah padaku.

"hmm," kujawab seadanya.

"nasinya ini kalau cuman kita berempat cukup aja, tapi kalau tambah kakak kamu juga ikut makan malam, kayaknya gak cukup."

aku tersenyum tipis, "biar ja, tenang, aku gak ikut makan malam kok. aku males makan malam, ayah." ucapku bohong.

tiap kali berada di posisi seperti ini aku selalu mengalah, aku memilih untuk tidak ikut makan malam agar nasi itu cukup untuk mengenyangkan perut mereka. siapa yang tidak ingin makan dengan lahap dengan lauk yang enak? tapi aku menahan nya demi mereka.

"kamu yakin gak makan? makan aja bagi dua nasinya sama ayah?"

"gak! aku gak makan." seru ku tegas.

"dia memang suka gak makan malam ayah, takut gendut, diet dia." celutuk ibu yang ku balas diam.

hal ini memang sering terjadi aku yang tidak ikut makan beralasan malas makan yang di simpulkan ibu aku ingin ber diet dan takut gemuk.

terkadang aku jenuh dengan semuanya, apakah itu wajar?

setiap hari isi kepalaku penuh untuk berusaha menjadi baik untuk mereka.  terutama soal perut. aku selalu sibuk mikirin masak apa untuk esok, aku terkadang jenuh jika harus memasak lauk yang sama tiap hari. tapi aku bisa apa, aku tidak bisa melepaskan tanggung jawabku.

setidaknya jika aku tidak bisa memberikan uang dan prestasi untuk ayah ibu, aku bisa memberikan tenaga sebagai gantinya. benar kan?

☁️☁️☁️

01.03.23

Dongeng 00.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang