"tugasku terlalu besar untuk segera bertemu surga."
☁️☁️☁️
bertahun-tahun berlalu, hingga aku berada di posisi... posisi yang sulit aku deskripsikan. lajunya begitu cepat sekali, hingga aku tak sadar kapan terakhir kali aku berbahagia? kapan terakhir kali aku menyenangi diri dengan menulis?
aku sibuk pada yang fana, tapi aku tak bahagia, tapi tak bisa meninggalkannya. tugasku terlalu besar, untuk segera bertemu surga.
aku sedikit bernapas lega ketika ayahku tak lagi membunuhku dengan catur, tapi sebagai gantinya aku harus menggantikan posisi ibuku.
sudah hampir tiga tahun ibu tak bisa bekerja, tak bisa memasak, menyapu, menyuci, dan segala aktifitas rumah tangga para ibu-ibu.
gula darah begitu jahat ya Bu? sampai membuat separuh tubuhmu tak bisa melakukan aktifitas dengan normal, dari diabetes ibu jadi stroke ringan, katanya si ringan tapi sampai sekarang ibu tak kunjung sembuh, mengumandangkan kebahagiaan. kuliat raut wajah ibu menjadi sayu, kesedihan tiap hari menghampiri ibu, menanyakan kapan sembuhnya? kapan lagi bisa berjalan normal?
aku ingin tertawa menertawakan takdir.
semua aktifitas ibu, menjadi tugas ku sekarang. dan rasanya berat. aku jadi punya peran ganda dan itu melelahkan. menjadi mahasiswa, menjadi ibu rumah tangga sekaligus menjadi anak yang pundaknya berat setiap harinya.
aku masih ingat saat pertama kali aku melihat wajah tak berdaya ibu di ruang ICU, aku seperti melihat proses kematian ibu, tapi tuhan mengijinkan mu hidup, tuhan begitu baik sekali pada ibu. saat dokter mengatakan umurmu tak panjang lagi karena gula darah itu, buktinya kamu mampu bertahan hingga sekarang.
dengan lugu aku bertanya di dalam hati, ternyata darah punya gula, mengapa bisa begitu? sangat kekanakan sekali aku waktu itu.
aku juga tidak akan lupa setelah setahun di vonis mengidap diabetes, ibu mengeluh dengan pandangan ibu yang mengabur, pikiran ibu yang suka tidak sejalan dengan hati ibu, ibu yang suka menjadi pikun tiba-tiba, ibu yang tidak bisa mengendalikan diri sendiri, ibu yang mengeluh soal tangan dan kaki kanan yang seperti mati rasa, itu membuat jantungku berdebar, ditengah rusaknya akal sehatku, aku bertanya, apa sebentar lagi aku akan jadi anak piatu tanpa ibu?
meski kenangan baik yang ku punya dengan ibu sulit ku temukan, tapi aku juga takut kehilanganmu.
betapa marahnya aku dengan takdir, dirasa takdir diabetes itu belum cukup untuk mengujimu, ibu di vonis lagi terkena stroke.
aku sakit. melihatmu berbicara mengucapkan satu kata saja begitu susah untuk dimengerti kami. kami hancur saat itu. bahkan aku melihat tangis cengeng ayah saat mengetahui ibu pertama kali masuk ICU karena diabetes dan kedua kalinya karena ibu di vonis stroke.
aku menjadi tidak mengerti, aku hidup di keluarga yang seperti apa?
sejak hari itu, aku dituntut untuk lebih kuat, aku diharuskan mengganti posisi ibu.
hari-hari pertama begitu berat untuk kuterima dan kujalani. tapi aku sangat yakin ketidakberdayaan ku saat ini, kamu pasti jauh lebih tidak berdaya.
aku tidak bisa lupa soal kenangan dimana pertama kalinya aku membersihkan kotoranmu di atas tempat tidur, aku memandikanku di atas tempat tidur, menyuapimu bubur yang katamu hambar, dan menyaksikan tangis pilu mu di atas tempat tidur karena ketidakberdayaanmu. aku melihat ingin menyerah di mata ibu.
aku diam tak bisa memberi semangat apa-apa, karena kutahu kata semangat tidak lagi membuatmu tenang.
luka mu kali ini begitu besar dan berat. mungkin di vonis mengidap diabetes tidak terlalu membuat mu sakit dan masih bisa di atasi, tapi ketika sakit stroke ibu sangat terlihat tidak berdaya, dan aku tidak suka melihat itu.
dunia memang kejam, Bu.
ibu tahu, pertama kali hal yang kusukai dari ayah, ayah memperlakukanmu dan merawatmu dengan baik, ayah tidak pernah berpikir untuk meninggalkan mu. dan aku bersyukur untuk itu. meski kata kalian sudah tidak ada lagi kata cinta, tapi tanggung jawab dan komitmen yang kalian punya untuk hidup bersama itu sudah lebih dari cinta.
terbukti hampir tiga tahun ibu stroke, ayah masih tetap di samping ibu. banyak hal yang berubah dengan cepat.
termasuk diriku sendiri yang begitu sangat merindukan masakanmu.
seringkali masakanku tak sesuai selera lidahmu, yang membuatmu protes tapi tetap kamu makan.
meski kamu tak memuji anak mu ini soal usaha yang di lakukan nya, aku yakin kamu pasti bangga dengan anak perempuan mu ini kan, akhirnya bisa ke dapur dan mengetahui macam-macam bumbu dapur yang ia pelajari sendiri. akhirnya anakmu ini bisa nyuci pakaian, menyapu, melipat pakaian, merapikan tempat tidur, akhirnya aku bisa melakukan semuanya yang dulu ibu lakukan sebagai ibu rumah tangga meski itu selalu tidak pernah sempurna dimata ibu, setidaknya rumah ini tidak begitu berantakan, bukan? walaupun tidak serapi waktu ibu masih sehat.
kita memang tidak dekat tapi karena sakit ibu kita tidak terlalu berjarak seperti dulu, ibu bahkan tidak lagi memarahi dan menghina ku ketika aku menulis, bahkan ibu dan yang lainnya hanya diam saja ketika mengetahui aku sudah bisa menerbitkan karya ku sendiri jadi novel. tak mengucapkan selamat tak juga menghina jelek, hanya diam.
aku juga senang, karena akhirnya aku bisa merasakan usapan lembut dari tanganmu ibu. aku selalu ingin ada di pangkuanmu dan tangan dingin mu yang mengusap kepalaku dengan lembut, itu membuatku tenang. akhirnya aku bisa merasakan kasih sayang itu.
meski trauma ku waktu kecil masih belum bisa di ajak berdamai, setidaknya aku sedikit merasa terobati dengan usapan lembut tenangmu, ibu.
kondisi seperti ini, aku bingung apa aku harus bahagia atau bagiamana?
☁️☁️☁️
24.02.23
KAMU SEDANG MEMBACA
Dongeng 00.00
Non-Fictionkata maaf begitu tabu di keluargaku. sumpah serapah nyanyian tiap hari yang ku dengarkan hingga tanpa sadar aku pun begitu terkadang. inikah pulang yang dimaksud orang-orang? kenapa rumahku terkesan tak nyaman? atau mungkin aku saja yang baperan? m...