# 00.02

32 5 0
                                    

"aku tak mengerti tapi dipaksa mengerti. ibu ayah, aku sakit."

️☁️☁️

"anjing! anjing! anjing!"

"bangsat kenapa harus jalan situ!"

"dasar kapang! asu! bodoh kali lah!"

"kenapa harus jalan situ! bodoh!"

ayah menghardik di depan layar ponsel yang menampilkan papan catur dengan kekalahan ayah disana.

"kamu sih ganggu aku, main ajak ngobrol segala, kan jadinya gak fokus dan kalah kan main caturnya! anjing! anjing!" seru ayahku yang membuat ibu terdiam membisu.

jangan terkejut, itu hal lumrah di keluargaku. bahkan keluarga kami sering bertengkar hanya karena benda mati itu. iya karena catur, membuat hati yang satu dan yang lain nya terluka. luka yang tak tahu cara sembuhnya.

ayah selalu saja begitu, mencari kambing hitam atas kekalahannya.

ibu diam, kembali menatap televisi, dan tangan kiri yang memetik tasbih, seraya mengucapkan istighfar.

sedang aku? aku hanya menutup wajah dengan selimut bersembunyi dengan pengecut. sejujurnya aku takut, meski sudah sering mendengarnya bahkan hampir tiap hari di ajarkan terbiasa untuk mendengar kata-kata kasar itu, tetap saja perasaanku belum bisa terima.

kata maaf begitu tabu di keluargaku. sumpah serapah nyanyian tiap hari yang ku dengarkan hingga tanpa sadar aku pun begitu terkadang.

inikah pulang yang dimaksud orang-orang? kenapa rumahku terkesan tak nyaman? atau mungkin aku saja yang baperan?

bahkan takbir bacaan ibu tak dapat lagi membuatku tenang. aku menangis diam-diam. jika aku di posisi ibu aku pasti akan meraung keras dengan air mata. kenapa menjadi salah, ketika ibu mengajak ngobrol dengan ayah agar ibu tidak stress dengan keadaannya sekarang, ibu hanya ingin menghibur diri, tapi karena catur, ibu terasingkan oleh ayah.

itulah alasan terbesar kenapa aku membenci catur.

rumah ini sama sekali tidak nyaman. aku tak bisa menemukan tenang yang seharusnya.

"adik berapa poin kamu!?"

hening sebelum akhirnya adikku menjawab, "dua, jaringan nih makanya sering kalah."

"aduh! menurun banget kualitas main kamu! gimana mau juara nasional kalau gitu! jangan malu-maluin dong! masa main catur online aja kamu kalah! makanya jangan kebanyakan main, main bola yang tidak meuntungkan itu, jadi menurun kan sekarang permainan kamu!"

adik hanya terdiam dengan mata yang kupastikan sudah berlinang. aku tahu perasaan adikku, tapi aku terlalu gengsi untuk sekedar memeluk tubuh tegarnya. aku pengecut, aku kakak yang jahat dan buruk untuknya.

aku benci ayah dalam kondisi seperti ini. selalu saja egois dan jahat jika sudah berhadapan dengan catur.

"kapan aku sembuhnya, dari kakak lulus kuliah sampai menikah bahkan sampai istrinya sudah mengandung, ibu belum juga sembuh dari stroke, ibu belum bisa berjalan normal." lirih Ibu, pernyataan yang sudah sangat fasih kudengar bahkan hampir tiap hari.

ibu tahu, pertanyaan ibu soal kapan sembuh, membuat aku terluka Bu, aku marah dan sedih pada takdir yang terikat ini.

"ibu pengen sekali, masak, pergi ke pasar beli baju, beli makanan, beli emas, beli apa saja kayak dulu lagi." lanjut ibu yang membuatku menghela napas panjang.

aku mendekati ibu, "esok kah kita ke pasar, ibu?" tanyaku bergurau.

"gak mau, kaki ibu belum bisa berjalan normal sepenuhnya, ntar yang ada orang-orang akan meliatin ibu dan memandang ibu iba. ibu gak mau."

aku menggeleng, "siapa yang berani ngomongin ibu, coba? ibu itu udah sembuh tinggal tahap pemulihan, buktinya ibu sudah bisa ngomong lancar, bisa jalan dan masak air kan?"

"iya bisa jalan, tapi jalannya gak normal kayak dulu, ibu maunya kayak dulu jalannya." sahut ibu.

aku tersenyum getir, ku usahakan air mata ini tidak menunjukkan dirinya di hadapan ibu, "bentar lagi ya bu."

"kapan?" tanya ibu.

"sebulan lagi ibu pasti sudah bisa jalan normal, asal dilatih terus kaki dan tangannya."

"sebulan yang lalu juga bilang gitu, tapi buktinya ibu masih aja seperti sekarang, ibu capek."

aku terdiam.

hening.

"nak,"

"iya Bu."

"nanti bulan puasa, ibu bisa sembuh gak? biar ibu bisa masak buat sahur dan buka puasa kita nanti."

aku tersenyum kecut, "pasti Bu, pasti sembuh."

setiap doa aku titipkan ke langit untuk kesembuhan ibu, entah doa di hari yang mana yang akan sampai tembus ke langit dan terkabulkan untuk kesembuhan ibu, aku hanya mampu berdoa.

sejujurnya, aku capek. tapi ibu pasti jauh lebih capek.

pengen istirahat sebentar aja. cuman sebentar, tapi bagaimana caranya?

☁️☁️☁️
25.02.23

Dongeng 00.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang