1

11.2K 875 273
                                    

Entah sudah berapa lama Sae di bentak oleh sang ayah perihal nilai sae yang turun menjadi 98 di bidang Fisika.

"MAU JADI APA KAMU?! MALU MALUIN KELUARGA. AYAH UDAH KELUAR DUIT BANYAK BUAT APA?! BUAT KAMU SEKOLAH TAPI NILAI KAMU MALAH TURUN! KAMU AYAH HUKUM JANGAN KELUAR KAMAR KECUALI SEKOLAH! INTROPEKSI DIRI KENAPA NILAI KAMU JADI TURUN!!" Sae hanya menurut dan berjalan pelan menuju kamar.

Meja makan yang seharusnya hanya terdengar dentuman sendok dan piring malah berganti dengan bentakan sang ayah kepada Sae. Bunda dan adiknya hanya acuh seolah mereka tidak mendegar apa apa.

Di kamar ia rasanya ingin menangis tapi ia urungkan dan malah berjalan ke arah meja belajar. Mempelajari semua materi materi yang ada di buku dan mencoba memperbaiki kesalahan yang ia buat sebelumnya, bahkan ia sampai mempelajari ilmu yang seharusnya di ajarkan waktu kuliah.

Biasanya di saat seperti ini Rin akan datang ke kamar Sae walau hanya sekedar untuk menghibur atau menemani Sae belajar. Tapi tidak setelah kejadian itu.

__________

"BUN RIN CAPE MINUM OBAT TERUS, RIN CAPE GA BOLEH INI SAMA ITU!!"

"Maaf sayang Bunda ga bisa bantu apa-apa, ini semua salah kakak kamu dia yang bikin kamu jadi gini."

__________

Semenjak saat itu Rin mulai membenci kakaknya. Sekarang sudah tidak ada lagi yang peduli kepada Sae, semua keluarga nya membenci nya dengan alasan yang tidak masuk akal.

Di kantin sekolah Sae sedang menemani temannya yang sedang makan siang sedangkan dirinya hanya belajar, belajar dan terus belajar.

"Lo ga cape belajar?" Tanya teman Sae yang bernama Kaiser.

"Ga. Udah kebiasaan juga." Jawabnya acuh tanpa menoleh.

"Gua yang cape liat lu belajar mulu. Heran padahal nilai lo udah bagus, lo selalu ranking pertama bahkan seangkatan tapi lo masih mencoba belajar dan belajar? Gua jadi lo udah muntah di menit pertama." Ujarnya dengan memakan kerupuk dan gado-gado yang tadi ia pesan.

"Hahaha, gua juga ga bakal percaya kalo lo jadi gua mah. Jangan kan menit pertama detik pertama udah gua yakini lo pasti muntah."

"Nah bener tuh gua enek sama pelajaran. By the way, ini gado gado buat lu. Gua tau lo ga di kasih uang lagi sama nyokap bokap lo." Ucap Kaiser dengan menggeser piring gado-gado itu ke arah Sae.

"Ga usah, gua udah kenyang. Lo aja makan, gua tau lo di rumah ga di masakin sama nyokap lo."

"Yaa dari pada lo? Ga dua duanya." Tawa renyah terdengar di telinga Sae membuatnya sedikit terkekeh dengan ucapan fakta Kaiser.

"Hidup gini amattt, gua jadi ga mau nikah deh." Celetuknya tiba-tiba.

"Kenapa emang?" Kini fokus Sae sudah bukan di bukunya lagi, melainkan gado gado yang ada di hadapannya.

"Yaa lo liat aja orang tua lo, orang tua gua, dan orang tua anak broken home. Gua takut buat jalin komitmen sama orang."

"Yeuu basi lu mah. Bilangnya ga mau jalin komitmen tapi semua cewe lo embat." Dengan perasaan yang jengkel Sae dengan sengaja memasukan lontong yang sempat jatuh ke meja ke dalam mulut Kaiser.

"Wwowhh bwrengweswek lwuh wyha."

"Makan habisin dulu cil."

"Gila anjing itu lontong segede gaban lo masukin mulut gue!"

"Ya mang kenapa si? Toh jarang jarang gua mau nyuapin elo."

"Wahh, lo sih tipe anjing yang lebih anjing dari segala spesies anjing. ITU LONTONG UDAH JATOH ITOSHI SAE YANG CAKEPPP YANG HENSOMM! AH GUE GEDIG NANGIS LO."

"Gapapa nutrisi itu mah." Jawabnya enteng sembari memakan gado-gado dengan slay dan anggunly.

"Goblok anying. Dah ah lo mau minum apa gua pesenin." Kaiser dengan songongnya mengeluarkan dompet dari saku nya dan mengintip uang yang ada di dalam dompet tersebut dengan lagak jametnya.

"Minimal Starbucks lah ya."

"Ngelunjak tai. MBAK ES TEH ANGET MANIS GA PAKE GULA SATU!" Teriaknya kepada salah satu pegawai kantin di sana.

"Goblok bukan temen gua."

"Anu mas maksdunya ES TEH ANGET MANIS GA PAKE GULA apa ya?" Tanya mbak mbak kantin dengan kalimat yang di tekankan.

"Ya itu apa lagi? Es teh manis."

"Owalah, oke tunggu sebentar ya."

"Goblok banget anying."

"Apasih anjir lo dari tadi maki gua mulu setan."

"Lo ga sadar apa?" Tanya Sae melihat kelakuan temannya yang hanya duduk dengan tampang tak ada dosanya itu.

"Apa?"

"Tolol. Lo pesen es teh, ES TEH TAPI ANGET MAKSUD LO APA? DAN JUGA MANIS TAPI GA PAKE GULA TERUS DI KASIH APA JAMET?"

"Lah iya ya goblok banget, siapa dah dia tolol bet sumpah."

"Gua cuma bisa senyum Ser." Sae menampilkan senyum terpaksa nya kepada Kaiser.

Hanya disini, di sekolah ini, dan bersama dia. Sae bisa merasakan tertawa dan tersenyum kembali setelah semua yang di lalui oleh Sae. Dia bersyukur mempunyai teman seperti Kaiser, meskipun agak sengklek tapi dia tetap baik.

"Ser, hubungan lo sama keluarga lo gimana?" Tanya Sae tiba-tiba membuat Kaiser menoleh kearahnya.

"Yaa ga gimana gimana, masih dengan dia yang ke hotel ngajak cewe sana sini terus nyokap gua juga malah ikut ikutan wkwk. Lo sendiri gimana?" Kini Kaiser membenarkan duduknya agar terlihat nyaman.

"Ya sama, gua masih di benci sama mereka gua juga ga tau kenapa mereka benci gua dengan alasan ga masuk akal itu. Dan oh ya lo masih suka keluar malem?"

"Yoi, udara malem tuh lebih sejuk tau. Lo ga mau ikut gua? Ntar gua jemput deh."

"Hahaha so funny. Lo mau gua patah tulang akibat di pukul?" Sae hanya menatap malas temannya itu.

"Lo akhir-akhir ini pake hoodie terus. Lagi?" Mengerti tentang pertanyaan Kaiser, Sae hanya mengangguk saja.

"Jangan sering sering."

"Iya, lo juga jangan sering sering keluar malem ga baik buat kesehatan."

"Hahhh, udah lah balik aja kita dah mau bel."

Perasaan ini yang di benci oleh Sae. Perasaan di mana ia harus kembali ke rumah. Sae ingin pergi bersama Kaiser tapi dia juga memikirkan konsekuensi nya seperti apa jika keluar di luar jam sekolah.

Sae melangkahkan kaki ke dalam bangunan mewah itu. Belum sempat melepas sepatu, telinganya sudah mendengar pernyataan.

"Gimana ulangan kamu?" Sae hanya menghela nafas dan memberikan beberapa lembar kertas ujian kepada bundanya.

Sae langsung saja melepas sepatu dan berjalan cepat menuju kamar. Sangat lelah, lelah sekali. Dia belum sempat berganti pakaian, dia sudah nyaman berada di ranjangnya yang meskipun ranjang itu tak se empuk ranjang milik adiknya, Rin.

Sae tidak tau harus melakukan apa lagi, dia lelah belajar dan dia tidak memiliki sebuah handphone dan juga dia tidak di perbolehkan keluar rumah. Bahkan untuk saat ini dia tahu bahwa pembantu dirumah ini sudah mengunci kamarnya dari luar.

Pembantu itu, Bu Inah sudah bekerja cukup lama, dan dia di beri tugas untuk selalu mengunci kamar Sae dan hanya membukanya saat jam makan dan sekolah. Walau terkadang orang tua Sae tidak mengijinkan Bu Inah untuk memberi makan kepada Sae tapi Bu Inah masih mempunyai hati nurani dan memberi Sae makan walau sembunyi sembunyi.

Apakah Sae tidak ingin keluar rumah? Jawabanya sudah jelas di ketahui. Dia ingin sekali menjelajah dunia, dia pernah berfikiran untuk keluar rumah lewat jendela tapi apalah daya kamar Sae yang berada di lantai dua dan tak memungkinkan untuk kabur lewat sana.

Sae pun memutuskan untuk tidur saja tanpa mengganti pakaiannya.

SORRY || ITOSHI SIBLINGS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang