9

6.9K 542 16
                                    

Saat jam pelajaran berlangsung kepala Rin terasa sangat berat. Ia mencoba memfokuskan dirinya kepada guru yang ada di depan namun semakin ia fokus semakin berat juga kepalanya dan tanpa sadar Rin sudah ambruk di atas mejanya.

Isagi yang berada di samping Rin lantas menoleh terkejut, ia sedikit menggoyang tubuh Rin takut jika temannya itu tidur di jam pelajaran.

"Rin? Rin are you okay?" Rin yang tak kunjung merespon membuat Isagi panik.

Isagi mengangkat tangan dan sukses membuat dirinya menjadi pusat perhatian, "Pak! Saya izin membawa Rin ke UKS, dia pingsan, Pak!"

"Ya sudah silahkan." Setelah mendapat izin dari sang guru Isagi memberi kode kepada Bachira yang duduknya sedikit jauh dari tempatnya untuk membantu dirinya memapah Rin.

"Kenapa tiba-tiba pingsan?" Tanya Bachira saat mereka sedang dalam perjalanan menuju UKS.

"Gua ga tau, tiba-tiba aja dia ambruk di meja." Bachira membulatkan mulutnya lalu mereka bergegas menuju UKS.

Saat setelah sampai di UKS dan setelah Rin di periksa oleh salah seorang penjaga disana, Isagi dan Bachira di suruh untuk mengantar Rin ke rumah sakit akibat kondisi Rin yang cukup parah.

Tanpa babibu Isagi bergegas menuju ke kantor guru untuk di mintai pertolongan kepada guru yang sedang tidak mengajar, dan untung saja disana ada guru IPA mereka yang sedang menganggur.

"Permisi, Pak." Ucap Isagi sopan.

"Iya? Mau cari siapa?"

"Sebelumnya mohon maaf, Bapak bisa nemenin saya buat nganterin temen saya ke rumah sakit?"

"Ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Bisa kok, ayo saya antar." Guru tersebut berdiri dari kursinya dan berjalan sedikit tergesa gesa.

Isagi menjelaskan saat mereka bedua berjalan menuju UKS.

Saat di perjalanan menuju rumah sakit, mereka ber empat -Isagi, Bachira, Rin, serta Pak Guru sedang terjebak macet yang lumayan panjang.

"Sial! Kenapa harus sekarang?!" Umpat sang guru.

"Kita nyari jalan pintas aja, ya?" Pertanyaan itu di angguki oleh Isagi dan Bachira.

Dan setelah beberpa menit memutar mutari gang akhirnya mereka sampai juga di rumah sakit terdekat.

Rin langsung saja di bawa ke ruang UGD oleh para suster disana dan yang lain menunggu di depan ruang UGD.

"Meg, gua khawatir sama Rin." Ujar Isagi tiba-tiba.

"Udah tenang aja kali temen kita kuat kok, dia pasti bisa ngelewatin ini semua." Saat setelah mengucapkan kalimat tersebut pintu UGD di depan mereka terbuka dan menampilkan sesosok suster dengan dokumen di tangannya.

"Dengan keluarga pasien?"

"Saya Gurunya sus."

"Baik bisa ikut saya sebentar?" Pertanyaan itu di angguki oleh pria paruh baya dengan seragam kerjanya.

"Sus, kita boleh liat temen kita ga?" Tanya Bachira.

"Pasien masih belum sadar, di harap untuk tidak berisik." Isagi dan Bachira hanya mengangguk saja lalu masuk kedalam ruang UGD meninggalkan guru mereka dengan sang suster.

"Rin!" Teriak Bachira yang melihat temannya terbaring lemas di atas ranjang.

"Stt! Susternya bilang tadi jangan berisik, Meg!" Isagi yang kesal menyenggol siku Bachira sedikit keras membuatnya menutup mulut reflek.

"Gua lupa, sowwyy."

Mereka berdua hanya menatap Rin yang sedang tertidur, menunggu sang guru selesai dengan urusannya.

Tak lama setelah menunggu, 2 suster datang dari arah pintu lalu segera membawa ranjang yang di tempati Rin ke salah satu ruang disana.

Saat Isagi dan Bachira mengekor dari belakang ternyata sudah ada seorang pria dan wanita yang sedang menangis menatap keadaan Rin. Isagi menduga bahwa mereka berdua adalah orang tua Rin.

Saat Rin di tempatkan di ruang inap VIP seorang pria yang Isagi yakini adalah ayah dari temannya menghampiri dirinya dan Bachira.

"Terimakasih sudah mengantar anak saya ke rumah sakit, kalian bisa kembali ke sekolah untuk belajar."

"Sama-sama, Pak. Kalau begitu kita berdua pamit dulu, semoga Rin cepat sembuh ya pak."

"Iya, doakan saja yang terbaik." Isagi dan Bachira pergi dari sana menyisakan kedua orang tua Rin yang sedang menjaga anak mereka di ruang inap tersebut.

"Yah, kita harus cepet cepet cari pendonor paru paru buat Rin." Ucap sang wanita sedikit terisak saat melihat sang suami masuk ke dalam ruangan.

"Iya Bun, Ayah udah usaha nyariin pendonor kesana kesini berdoa aja semoga cepet ketemu."

Di malam hari tepatnya jam 8:30 malam Sae yang baru pulang dari sekolah menatap bingung Bi Inah yang sedari tadi mondar-mandir dengan tergesa-gesa.

"Bi?" Suara Sae membuat langkah wanita itu terhenti dan menoleh ke arahnya.

"Eh iya? Kenapa Nak Sae?" Tanyanya saat melihat Sae masih berdiri di pintu kediaman Itoshi.

"Bibi ngapain mondar-mandir?"

"Bibi lagi nyiapin perlengkapan buat ke rumah sakit, Nak." Sae yang mendapat jawaban tersebut lantas memasang ekspresi bertanya.

"Nak Rin masuk rumah sakit, tadi waktu sekolah sekitar jam 10 pagi gitu."

"Kenapa masuk rumah sakit, Bi?"

"Bibi juga kurang tau, tapi katanya tadi waktu pelajaran tiba-tiba aja Nak Rin jatoh ambruk gitu di meja, terus pas di bawa ke rumah sakit katanya kankernya udah stadium 4 harus cepet cepet cari pendonor paru-paru."

"Jadi semuanya sekarang ada di rumah sakit?"

"Iya, ini Bi Inah juga mau kesana Nak Sae di tinggal sendiri di rumah gapapa, kan?" Sae hanya tersenyum lalu mengangguk saat didapati pertanyaan seperti itu. Ia sudah terbiasa sendiri dari awal jadi masalah seperti ini ia tidak akan takut atau merengek untuk ikut pergi ke rumah sakit.

"Iya, Bi gapapa kok."

"Ngomong ngomong Nak Sae udah makan malam belum?"

"Belum, Bi hehehe."

"Astaga, yaudah Bibi masakin sebentar sebelum pergi ke rumah sakit, Nak Sae mandi dulu abis itu makan." Sae tersenyum mendapat penuturan wanita di hadapannya ini, ia lantas langsung pergi menuju kamarnya guna membersihkan diri dan turun untuk menyantap makan malamnya.

"Nak, ini Bibi bikin makanan agak banyakan buat besok ya di angetin dulu, Bibi kayaknya nginep terus pulang besok sorean." Ucap Bu Inah sembari menyiapkan nasi di atas piring untuk di sajikan kepada Sae.

"Iya, Bi makasih. Maaf Sae ngerepotin Bi Inah."

"Ehh ngga ngerepotin atuh, ini kan udah kewajiban Bi Inah. Kalo gitu ini makan yang banyak ya, Bi Inah liat Nak Sae makin hari makin kurusan."

"Hahaha iya Bi makasih." Sae menyantap makanan buatan Bi Inah, tak bisa di pungkiri betapa nikmat hasil olahan dari tangan beliau. Sae sedikit terharu, ia sudah beberapa hari lupa makan dan hanya memakan roti di sekolah, itupun akibat di paksa temannya Kaiser.

Setelah Sae menyelesaikan makan malamnya Bi Inah pamit untuk pergi ke rumah sakit lalu Sae mengantarnya sampai depan pintu gerbang.

"Jangan lupa di angetin dulu makanannya, ya. Bibi pergi dulu hati hati kamu di rumah." Sae melambaikan tangan melihat Bi Inah yang pergi menggunakan mobil grab, hatinya menghangat saat dekat dengan Bi Inah, ia merasa sosok ibu di dalam jiwa Bi Inah.

Sepeninggalan Bi Inah Sae langsung menutup gerbang yang sedikit besar itu lalu masuk ke dalam rumah dan mengunci semua pintu dan jendela. Setelah nya ia pergi ke kamar untuk menyelesaikan tugas yang belum selesai ia kerjakan. Berkat makan dari masakan Bi Inah Sae merasa dirinya semakin bersemangat dan merasa otaknya kembali encer dan dapat dengan mudah menjawab pertanyaan dan mempelajari materi yang ada di bukunya.

___________________

.
.
.
.
.
.

Maaf telat up

SORRY || ITOSHI SIBLINGS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang