Ring 4

626 109 5
                                    

"So, ada apa kali ini?" tembak Zack setelah ia menutup restorannya.

Ameera memandang wajah lelah Zack lalu memaksakan sebuah senyum. "Riska dateng ke butik gue dengan membawa ini," ujarnya seraya mengeluarkan sebuah kartu yang sukses mengacaukan pikirannya.

Zack memandang kartu tersebut dan wajah Ameera secara bergantian sebelum akhirnya mengambil kartu tersebut dan membacanya. Tak lama kemudian terdengan dengusan dari bibir pria itu. "I don't know what to say. Tapi mereka memang sudah keterlaluan. So will u come to their wedding?"

"I don't know. Gue bingung. Jujur gue nggak mau lihat mereka lagi. Tapi, kalo gue nggak dateng mereka akan berpikir gue takut atau gue belum move on. Belum lagi nyokapnya Riska. Bener-bener menyebalkan," geram Ameera tak dapat menahan emosinya lagi.

"You should come, then!" seru Zack tiba-tiba bersemangat.

Di sisi lain ucapan Zack membuat dua mata Ameera membesar. "No! Gue nggak mau datang."

"C'mon Ameera! Lo nggak mau terlihat payah bukan?"

"For what? Gue udah terlihat payah sejak tahu perselingkuhan mereka."

"Gue akan jadi partner lo di pesta mereka," kata Zack menawarkan diri.

Sesaat mereka saling pandang sebelum akhirnya Ameera menarik sebelah sudut bibirnya dan menggeleng pelan. "Still no, thank you." Memikirkan kedatangannya di acara pernikahan Richard dan Riska membuat hatinya berdenyut sakit. Apalagi jika ia harus melihat pasangan itu berdiri berdampingan dalam balutan gaun pengantin? Oh.. Tidak. Ameera tidak mampu memikirkannya.

Zack menarik napas panjang. "Baiklah. But, if u change your mind, let me know."

"I am sorry. Kayaknya keputusan gue nggak akan berubah. End of conversation."

Tapi, kenyataannya hari itu Ameera terpaksa mengubah keputusannya. Kedatangan Richard ke butiknya siang itu cukup mengejutkan Ameera. Setelah meminta Richard untuk berbicara di dalam ruangan kerjanya, keheningan menyelimuti ruangan berdinding wallpaper soft pink dengan lukisan bunga putih di seluruh ruangan. Meninggalkan suara pendingin ruangan yang entah mengapa terasa lebih dingin dari biasanya.

"Bicaralah..." pinta Ameera pelan sambil menatap lurus Richard yang berdiri di tengah ruangan dengan penampilan yang tidak biasanya. Dalam balutan kemeja abu-abu lengan panjang yang tergulung hingga siku. Juga wajahnya yang terbiasa tercukur rapi, namun tidak untuk kali ini. Menimbulkan beberapa pertanyaan di dalam benak Ameera. Ada apa dengan Richard? Padahal hari pernikahannya bisa dihitung tidak lebih dari lima jari.

"Berikan aku kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita, Ameera..." ucap Richard lirih.

Kening Ameera menyatu. "Hubungan kita sudah berakhir. Apa kamu lupa itu?"

"Maka dari itu, izinkan aku memperbaikinya," pinta Richard.

"Tidak ada yang perlu diperbaiki. Kamu tahu kenapa? Karena hubungan kita memang sudah tidak bisa diperbaiki." Dada Ameera mulai dipenuhi letupan api emosi yang masih tertahan.

"Jangan berkata seperti itu..." Tanpa diduga Richard meraih sebelah tangan Ameera dan sebelah tangannya yang bebas meraih sesuatu dari saku celananya. "Aku sudah mempersiapkan ini sudah lama sekali. Hanya saja aku belum memiliki waktu yang tepat untuk memberikannya kepadamu."

Ameera memandang kotak beludru berwarna merah dalam genggaman Richard dengan mata nanar. Hatinya terasa semakin sakit seakan ada sebilah pisau yang menancap dan menekannya pelan-pelan. Sakit sekali. Tanpa bisa menahan perasaannya sebulir kristal bening mengalir di atas pipinya. Satu kata muncul di dalam kepalanya. Terlambat.

"Mengapa? Mengapa kamu setega itu padaku?"

Untuk sesaat mereka saling pandang sebelum akhirnya Richard meraih Ameera ke dalam pelukannya. "Maafkan aku. Maafkan aku, Ameera. Aku khilaf. Aku terbuai godaan Riska ketika kita sedang berantem hebat. Maafkan aku Ameera... Aku mohon, berikan aku kesempatan sekali lagi.." ucapnya tulus. "Aku akan membatalkan pernikahanku dengan Riska dan kembali padamu."

Ameera bergeming untuk beberapa menit sebelum akhirnya melepaskan pelukan Richard. Lebih tepatnya membuat pria itu melepaskan pelukannya. "Sudah terlambat."

"A-apa maksudmu Ameera?"

"Bukankah aku sudah mengatakannya kepadamu tadi? Hubungan kita sudah berakhir. Tidak ada yang perlu diperbaiki. Jadi, kembalilah kepada kekasihmu." Ameera melangkahkan kakinya melewati tubuh Richard dan duduk di balik meja kerjanya. "Aku rasa urusanmu denganku sudah selesai. Jadi, silahkan pergi."

Richard membalikkan tubuhnya dan memandang Ameera sesaat. "Ameera..."

Namun, tak ada jawaban dari mantan kekasihnya itu. Ameera tampak sibuk dengan tumpukan sketsa di atas mejanya tanpa memedulikan panggilan Richard. Tahu jika kali ini Ameera benar-benar tidak akan memedulikan dirinya Richard melangkahkan kakinya mendekat ke arah meja kerja Ameera dan meletakkan kotak beludru itu di atas meja. "Milikmu. Aku pergi..." Sebelum ia melangkahkan kakinya dari situ, sekali lagi Richard memandang Ameera untuk terakhir kalinya dan membalikkan tubuhnya. Melangkah keluar dengan penuh penyesalan.

Dari balik mejanya Ameera memandang kepergian Richard dalam diam. Punggung yang selalu menjadi tempat teduhnya kali ini harus pergi untuk selama-lamanya. Lalu pandangan matanya pindah ke kotak beludru yang ditinggalkan Richard. Perlahan diraihnya kotak itu lalu perlahan dibukanya. Detik selanjutnya Ameera menemukan sebuah cincin emas bermata satu di dalamnya. Diraihnya cincin itu dan alangkah terkejutnya Ameera ketika menemukan inisial Richard di dalam lingkaran cincin tersebut. RA. Sesak mulai merayapi hati Ameera. Hidungnya memanas. Ia tak mampu lagi menahan perasaannya. Perlahan satu persatu buliran air mata mulai mengalir di atas permukaan pipinya. Mengapa? Mengapa kamu tega melakukan ini kepadaku? Apa salahku? Apa kurangku?

Dalam kesendiriannya Ameera menumpahkan seluruh tangisannya. Tangisan yang tertahan selama ini. Karena faktanya dia tidak sekuat yang ia pikir. Pada akhirnya ia kalah dari ego dan harga dirinya. Memandang cincin ini membuat rasa rindu akan Richard kembali muncul ke permukaan. Ingin rasanya ia melangkahkan kakinya, lalu mengendarai mobilnya menuju rumah mantan kekasihnya. Tapi, mengingat kartu undangan itu, sukses membuat semua rencana itu hancur. Mengalahkan egonya, Ameera memakai cincin tersebut di jari manis tangan kanannya. Cantik sekali. Perlahan ia meletakkan kepalanya di atas meja kerjanya dan memandang cincin yang melingkari jarinya dengan senyum pahit. Karena lelah menangis, Ameera pun terlelap di dalam ruangannya seorang diri dengan cincin itu di jari manisnya. Cincin yang akan mengubah seluruh kehidupannya mulai detik ini.

***

The Magic RingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang