5. Kamar Papa

1.4K 93 0
                                    

Via dengan mudah bisa beraraptasi dengan lingkungannya. Via itu Cia, begitupun sebaliknya. Sifat Cia merupakan sifat milik Via. Jadi tidak sulit untuk memerankan tokoh Cia ini.

Hari yang ditunggu tiba. Setelah seminggu hanya menunggui dengan kebosanan, akhirnya hari ini adalah hari dimana Cia kembali bersekolah. Saking semangatnya, gadis itu bahkan bersiap pagi-pagi sekali.

Mengetuk pintu kamar para Abangnya padahal waktu baru saja menunjukkan pukul setengah enam pagi. Kelakuannya itu hanya mendapat decakan gemas dari  mereka. Dan di depannya ini adalah pintu terakhir yang akan ia ketuk. Pintu kamar sang Papa.

Tok! Tok! Tok!

Dari ketukan pertama hingga ke delapan, akhirnya pintu itu terbuka. Menampilkan seorang pria paruh baya yang menahan kesal, namun setelah melihat siapa pelakunya, Algar merubah rautnya menjadi bingung. Menatap sang Putri yang kini sudah terlihat rapi dengan seragam sekolahnya. Tak lupa pula, tas berwarna pink cerah tergantung di punggugnya.

Cia tersenyum manis, "bangun Papa! Sudah pagi," katanya dengan semangat.

Algar terkekeh lalu mengusap kepala Cia, "masih terlalu pagi untuk terlihat rapi seperti ini."

Algar membawa Cia untuk masuk kedalam kamarnya.

"Papa mandi dulu sebentar. Kau tunggu disini, okey?"

"Okey Papa!" Jawab Cia memberi hormat kepada Algar. Tertawa karena sang Papa menarik hidungnya pelan. Ekspresi Algar begitu lucu dimatanya. Lalu pria itu beranjak menuju kamar mandi.

Cia mengedarkan pandangannya pada seluruh penjuru kamar. Suasananya sangat dingin, seakan tempat ini tidak pernah di jamah oleh siapapun. Hampir semua warna di kamar Papa-nya adalah gelap. Menyeramkan.

Gadis itu berjalan menghampiri rak yang memuat buku-buku tebal disana. Apa Papa-nya tidak mual membaca buku seperti itu? Cia saja sudah malas untuk sekedar melihatnya. Menarik diri, ia menyusuri benda-benda yang lain. Figura kecil berisikan foto-foto dirinya bersama keluarganya. Heran, kenapa hanya Cia saja yang tersenyum lebar di foto-foto itu? Yang lain hanya menatap datar saja ke depan.

Kepribadian keluarganya sepertinya sangat banyak. Kadang datar, dingin dan menyeramkan. Namun terkadang lembut, hangat bahkan menyebalkan. Meskipun tampan rupawan.

Dan Cia terpaku pada figura yang paling besar disana. Tertempel kokoh pada dinding yang dingin. Foto seorang wanita yang sangat cantik. Terlihat sangat elegan seperti wanita bangsawan. Senyumnya terlihat begitu cantik dan sedikit menyeramkan secara bersamaan. Siapa dia?

Tapi tunggu, meneliti dengan serius setiap inci wajah wanita tersebut, Cia seperti mengenalinya. Mengambil cermin kecil di saku seragamnya lalu ia berkaca. Menoleh pada figura lalu berkaca kembali, begitu seterusnya hingga gadis itu sadar. Wajahnya begitu mirip dengan wajah yang ada di foto itu.

"Ada apa?"

Kehadiran Algar di belakangnya membuat Cia terkejut setengah mampus. Gadis itu menoleh ke belakang dan mendapati Algar yang berdiri tegap dengan hanya menggunakan bathrobe yang tidak sepenuhnya membalut tubuh atasnya. Cia meneguk ludahnya sulit saat matanya menangkap dada bidang yang di tumbuhi bulu-bulu halus disana.

Anjir, ini beneran bapak gue?

Tepukan di kepalanya membawa kesadaran yang tadinya oleng berakhir kembali. Masih tidak menyangka di umur yang belum genap KTP sudah melihat pemandangan yang uwow.

"Papa, ih, ngagetin aja!" Ucap Cia sembari memukul perut sang Papa. Keras-keras gimana, euy.

Bukan pelecehan kan melakukan hal itu kepada Papa sendiri? Lihat saja, bahkan Algar sendiri sekarang malah tertawa.

"Serius sekali melihatnya sampai tidak menyadari Papa yang sedari tadi berdiri di belakangmu," sahut pria itu. Lalu ia melangkah menuju almari. Menarik salah satu kemeja disana.

Cia memperhatikan saja apa yang dilakukan Papa-nya. Algar terlihat seperti duda beranak satu. Umurnya seperti 30-an, padahal— Cia tidak tau juga berapa umur Papa-nya sekarang. Tapi satu hal yang pasti, Algar sangat tidak terlihat seperti duda beranak lima.

"Papa?" Panggil Cia yang membuat Algar menoleh. Seksi. Eh astaghfirullah, sadar Via. Di depan lo itu Bapak lo sekarang.

"Kenapa?" Bingungnya, Cia hanya terdiam membuat Algar merasa heran.

"Eum, perempuan di foto itu siapa?" Tanya Cia ragu. Apa ia sudah terlewat batas? Via sendiri sadar, ia bukanlah pemilik tubuh ini, ia sudah sangat lancang bertanya seperti itu pada Algar. Tapi dirinya juga penasaran dengan sosok itu. Kecurigaannya dengan perempuan itu membuatnya ingin bertanya lebih jauh.

Algar berbalik menuju kamar mandi. Apa Papa-nya marah? Apa Cia telah mengungkit hal yang menyakitkan dalam hidup Algar? Apa Cia sudah lancang bertanya? Apa—

Cia menoleh kala pintu kamar mandi terbuka menampilkan sosok Papa-nya yang sudah terlihat rapi. Rautnya ia tampakkan biasa saja namun aura dinginnya lebih kentara. Dan Cia juga menyadarinya. Gadis itu lebih memilih mundur dan menunduk, takut-takut Algar menembaknya.

"Kemari, honey," panggil Algar. Cia sedikit mendongak, berjalan pelan dengan pemikiran-pemikiran negatif yang di bisikkan setan di hati dan kepalanya. Via tidak akan mati untuk kedua kalinya, kan?

Algar tersenyum kecil, menyadari raut takut putrinya. Menarik lembut lengan kesayangan nya lalu mendudukkan dia di sisinya.

"Kau takut pada Papa, hm?" Pria itu mengangkat pelan dagu Cia karena gadis itu terus menunduk.

Cia menggeleng, namun hatinya berkata lain. Tiba-tiba saja Algar terkekeh, membuat Cia merasa aneh. Ah, apa mungkin Papa-nya kesurupan penunggu kamar ini?

"Papa nyeremin," bisiknya meluncur begitu saja. Membuat Algar semakin tertawa. Cia merinding mendengarnya, sepertinya benar, Algar kesurupan.

"Kenapa putri Papa sangat menggemaskan?" Tanya Algar ntah kepada siapa. Pria itu memberikan ciuman bertubi-tubi pada Cia. Membuat Cia menggeliat kegelian. Ia juga tertawa kecil.

"Udah Papa," baiklah, Cia hanya takut terlewat batas. Kenapa Papa-nya begitu seksi dimatanya?

Algar menuruti, ia mengusap pipi berisi Cia lembut. Lalu tersenyum, "kau juga melupakannya?" Tanyanya membuat Cia tidak mengerti.

Algar menghela nafas. Ia paling tidak bisa bercerita perihal ini kepada siapapun. Karena itu sama saja membuka luka lamanya.

"Cia gak ngerti, Papa."

"Perempuan yang ada di foto itu," jeda Algar, tangannya aktif menyelipkan anak rambut Cia ke belakang telinganya. "Mama kamu."

Cia tersentak. Ternyata benar.

"Mama?" Algar mengangguk.

Tapi sedari waktu ia membuka mata sampai sekarang, Cia sama sekali tidak melihat perempuan yang ternyata Mama-nya itu. Papa bahkan Abangnya saja tidak mengungkit.

"Lalu sekarang Mama dimana, Papa? Cia pengen ketemu," ucap Cia semangat, sangat berkebalikan dengan raut Algar. Pria itu menatap putrinya dalam, seakan berat memberitahunya.

"Mama sudah berada di tempat yang jauh, yang indah sekali. Kita tidak bisa menemuinya," ucap Algar yang bisa langsung Cia artikan apa maksudnya.

"M-mama me-meninggal?" Tanya Cia lirih.

"Iya."

"Kenapa?"

"Dibunuh oleh si bajingan sialan itu," desis Algar menyeramkan.

Jantung Cia berdetak kencang mendengarnya.

***

TRANSMIGRASI; Possessive BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang