H-319

283 55 6
                                    

Jam istirahat kedua selalu menjadi waktu yang strategis untuk melepas penat setelah melalui sesi pelajaran yang panjang dan melelahkan. Lapar dan kantuk bercampur menjadi satu di jam-jam krusial ini. Untungnya tersedia waktu yang cukup bagi siswa untuk mengisi energi atau memejamkan mata barang sejenak dengan tenang.

Sayangnya, kemewahan itu tidak didapatkan oleh Pradipta khususnya hari ini.

"Yang namanya Pradipta Abimanyu keluar bentar!"

Suara nyaring dari pintu depan menggemparkan seisi kelas yang tinggal setengah.

"Dip, dipanggil ayang lo," dengan siku, Tristan menyenggol Dipta yang sedang menidurkan kepalanya di atas meja.

Suara menyebalkan ini sudah lama tidak Pradipta dengar, dirinya jadi merasa agak rindu. Walaupun ternyata saat muncul lagi membuatnya ingin kabur terbirit-birit.

"Yaelah," meskipun malas, Pradipta berdiri dan melangkah menuju suara yang memanggilnya.

"Dipta pacaran sama anak kelas sebelah?" selidik Melvin penuh rasa penasaran. Memutar lehernya dengan dramatis ke arah belakang dan menodong Tristan dengan matanya yang terbuka lebar.

Melvin mengetahui bahwa Cheryl, orang yang memanggil Pradipta, adalah ketua kelas 11-1. Sebagai sesama ketua kelas baru maka wajar jika mereka ada keperluan tertentu. Namun, dari reaksi malas Pradipta dan kata-kata ambigu dari Tristan lah Melvin baru mengerti bahwa mereka berdua 'ada apa-apa'.

"Lebih tepatnya pernah pacaran, sih. Udah putus," jawab Tristan sembari mengunyah roti.

Discovering something new everyday.

"Kenapa?" sembur Pradipta mengabaikan sikap ramah tamah ala visi misi sekolah begitu berhadapan dengan siswi kelas sebelah itu.

Cheryl membalas nada bicara yang tidak enak itu dengan ekspresi yang sama tidak bersahabatnya. Belum apa-apa rasanya sudah ingin nyolot saja.

"Denger-denger kelas lo mau pake ruang workshop besok jam ketiga?"

"Iya, gue udah bilang ke TU," tukas Pradipta acuh tak acuh sambil mengalihkan pandangan pada kuku-kuku tangannya.

"Eh, apaan?! Gue duluan yang bilang, kelas gue mau pake buat biologi."

"Cheryl, gue duluan yang bilang. Lo tanya aja sama Bu Sara, udah dari tiga hari yang lalu ngomongnya."

Pradipta bersandar santai di dinding luar ruang kelasnya. Ia merasa santai karena pasti akan menang melawan celotehan 'mantan tersayangnya'.

"Kata Pak Hadi masih belum ada yang minjem, tuh."

"Ya berarti miskom. Tapi yang jelas gue udah lebih duluan ngomong," timpal sang siswa sambil bersedekap.

"Kelas gue proyektornya rusak padahal kita butuh banget buat biologi. Ngalah dong lo."

Tanpa sadar Cheryl membentangkan tangannya ke arah dinding. Dari kejauhan, ia seperti sedang memerangkap Pradipta yang jauh lebih tinggi darinya.

"Enak aja, tempat kita juga rusak, belum diganti. Kita juga perlu buat Bahasa Inggris, dih."

"Terus anak-anak gue gimana, dong?"

"Anak-anak gue juga gimana?"

Pilihan kata yang bombastis, seperti dialog yang mengambil latar bukan di sekolah menengah saja.

"Udah lo kompromi aja sama guru biologi. Tukeran jadwal kek, apa kek. Lagian gue duluan yang nge-tag," lanjut Pradipta sambil menawarkan solusi yang masuk akal. Entah akan ditanggapi seperti apa oleh si ketua kelas sebelah, ia sama sekali tak akan mengalah demi kepentingan kelasnya—dan perasaan puas setelah memenangkan ritual adu argumen dengan mantan kekasih cinta monyetnya.

"Ini dari dulu nggak ada perubahan, ya."

Cheryl menurunkan telapak tangannya yang menempel pada permukaan dinding yang dingin. Perempuan itu berniat mengakhiri debat kusir yang ternyata tidak menghasilkan apa-apa untuknya.

"Emangnya situ ada perubahan?" Pradipta melempar balik sindiran yang ditujukan untuknya.

Sayang sekali adegan seru tersebut segera berakhir dan keduanya kembali ke kelas masing-masing. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Keduanya sama-sama merasakan kejengkelan, despite of any result that comes from the talk.

"Baru kali ini liat kabedon di dunia nyata."

Leon bergumam dengan volume yang sangat pelan dari tempat duduknya yang sangat strategis. Menyaksikan drama romansa-coming of age-school life secara langsung membuat rasa kantuknya melayang ke ujung lain dunia. Sepertinya ini waktu yang bagus untuk mengulas sedikit pelajaran yang diterima tadi. Si jangkung itu memutuskan untuk menuju tempat favoritnya di sekolah sambil membawa buku catatannya. Meninggalkan Melvin, sang deskmate yang tampak mulai memejamkan mata dengan kepala di atas meja.

Kuberitahu satu hal, Leon bukanlah siswa rajin. Ia hanya sedang berusaha.

Hanya perlu waktu dua menit untuk sampai ke tempat yang ditujunya. Kebun sekolah yang ditanami berbagai tanaman buah dan tanaman berbunga. Di sana ada bangku taman yang sengaja ditaruh di bawah pohon mangga yang rimbun sehingga meskipun cuaca sedang terik rasanya tidak akan menyengat.

Leon mulai membuka buku catatan kimianya dan mencoret-coret di sana sini menggunakan pensil. Sebenarnya ia sudah paham betul dengan apa yang dibaca tetapi prosesi review ini tetap ia lakukan demi ketenangan batinnya. Entahlah, Leon sendiri pun tidak memahami dirinya.

Lima menit berlalu, dirinya mulai merasa perutnya meraung-raung minta diisi. Harusnya ia pergi ke kantin terlebih dahulu sebelum ke sini. Ditambah lagi dengan kombinasi terik matahari dan materi kimia yang sedikit membuat kepalanya menjadi berat. Hari ini Leon salah dalam mengkalkulasi, ia mengira di bawah pohon ini tidak akan terlalu panas.

"Eh, itu anak kelas bukan, sih?"

Begitu Leon hendak beranjak pergi ke kantin ia melihat seseorang dari kelasnya membawa watering pot berwarna hijau ke arah kebun. Jujur saja Leon belum terlalu hafal dengan nama-nama siswi di kelasnya apalagi yang terlihat pendiam—persis dirinya. Namun, entah mengapa jiwa sok tahunya sedang bangkit dan membuatnya menyimpulkan siswi itu hendak menyiram beberapa tanaman yang ada.

"Nyiram tanaman kok siang-siang."

Entah sudah berapa kali Leon berbicara sendiri di hari ini dan setelah ini ia berniat akan mengeluarkan suara berharganya pada orang lain. Ia berdiri di depan bangku menunggu agar teman sekelasnya itu sampai di posisi yang lebih dekat karena Leon malas jika harus ia yang menghampiri.

"DUAKK!"

Belum ada sepuluh detik tiba-tiba bola basket yang entah datang dari mana menghantam kepala Leon. Tubuhnya ambruk—untungnya Tuhan sayang Leon—di atas rerumputan yang tidak keras seperti bagian lain halaman sekolah.

"Leon!"

"Bukannya nggak boleh main basket kecuali jam olahraga dan di lapangan indoor?!"

Leon mendengar suara memanggil namanya lalu mengomel kepada terduga pelaku yang sedang sama apesnya dengan dirinya. Setelahnya ia merasakan sebuah tangan memegang kepalanya dan semuanya lalu menggelap.

Padahal Leon cuma ingin menjadi rajin dengan kesadaran bahwa di kelas dua belas ini belum tentu ia masih akan dipayungi keberuntungan di bidang akademik, seperti yang sudah-sudah. Ah, harusnya ia tidak ke sini siang ini.

to be continued

mari vote anak-anak keren ini!(anyway semoga chapter ini nggak aneh 😭)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

mari vote anak-anak keren ini!
(anyway semoga chapter ini nggak aneh 😭)

全力少年 All Out Boy; boys planet 02zTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang