H-177

124 37 7
                                    

Kalau ada sesuatu yang lebih cepat daripada pelari sprint peraih medali Olimpiade dengan rekor dunia, maka hal itu adalah kalender akademik. Semester ini nyaris berakhir ditandai dengan dimulainya Ujian Akhir Semester Ganjil. Seharusnya Senin pagi ini menjadi pagi yang tenang, di mana masing-masing siswa menunggu dimulainya ujian dengan membuka kembali materi yang sudah diulas.

Seharusnya.

"Elo, tuh!" pekik Pradipta yang baru datang, terhenyak melihat lembaran kertas bergaris yang memenuhi lantai koridor kelas.

"Maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin," Tristan mengatupkan kedua tangan seperti memohon ampun.

Seluruh siswa sedang menunggu waktu masuk ruang ujian dengan duduk berjajar di koridor-koridor kelas. Sebagian besar duduk dengan khidmat berkomat-kamit merapalkan materi untuk dihapal. Sementara empat serangkai itu adalah sebagian kecil yang sibuk sendiri karena urusan lain.

"Mentang-mentang emak bapaknya dokter," sindir Leon yang tahu dari mana referensi kalimat Tristan diambil. Sinema elektronik 'kebanggaan' negeri.

"Sssttt. Nggak nyambung," protes Tristan.

Tristan butuh bantuan. Tugas rangkuman PPKn yang semestinya dikumpulkan hari ini masih belum ia selesaikan. Meskipun itu hanya perkara menebalkan dan merapikan garis tepi tetapi jika dikali dengan tiga puluh tujuh halaman maka memakan waktu yang lumayan.

Ia telah menggunakan sebagian besar waktu tidurnya untuk belajar Bahasa Indonesia dan PPKn—yang diujikan hari ini—serta menyelesaikan rangkuman satu semester yang super panjang itu.

"Pokoknya bantuin please, besok gue traktir."

"Hape gue kayaknya udah perlu ganti," celetuk Leon sambil mengangkat ponselnya yang baik-baik saja.

"Traktir makan, bege," cela Tristan, menghentikan sementara kegiatan dengan penggaris dan spidol hitamnya, "gue bukan sugar daddy lo."

"Tahu lah, cocoknya duit lo dipake buat joki tugas. Lihat ini masih seabrek."

"Ikhlas nggak, sih?" Tristan berkacak pinggang tetap dalam posisi duduk bersilanya.

"Tinggal aja, guys. Udah dibantuin masih ditanya ikhlas nggak," ajak Pradipta sambil menarik lengan Leon. Si jangkung menaruh penggaris yang dipegang dengan asal lalu berdiri.

"Mut, udah," Leon gantian menarik lengan Melvin yang masih asyik menebalkan garis. Saking seriusnya ia hampir lupa kalau ini bukan tugas rangkumannya sendiri.

Dari kejauhan mereka tampak seperti Cinderella yang sedang dirundung sang ibu dan kedua saudara tirinya. Dengan pengecualian bahwa kali ini si Cinderella memang pantas didemo massa.

"Jangan, dong. Bantu temen kalian ini biar bisa lulus dengan lancar," pinta si kacamata bulat sembari memaksa membagikan spidol dan kertas pada telapak tangan ketiganya.

"Membantu teman termasuk pengamalan sila ketiga Pancasila," sambungnya.

"Ir. Soekarno bangun dari kubur denger omongan lo," sembur Pradipta lalu kembali ke posisinya.

Tristan kapok. Dalam hati ia bersumpah tidak akan menunda-nunda pengerjaan tugas besar seperti kali ini. Soalnya mengerjakan tugas sambil dikejar-kejar waktu ternyata tidak enak. Apalagi sampai harus mengerahkan bala bantuan seperti ini. Di waktu yang akan datang bisa jadi tidak akan ada yang bisa membantunya.

"Vin, tulisannya dimiripin, dong," ucap Tristan ketika temannya itu hendak membantu membuatkan halaman judul.

"Maksudnya dijelekin?" tanya Melvin, menahan tawa.

全力少年 All Out Boy; boys planet 02zTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang