Tahun dan semester sama-sama telah berganti. Bagi Leon, libur dua minggu kemarin exceptionally terasa lebih membosankan dari liburan sebelumnya. Ia menghabiskan lima puluh persen waktu yang ada untuk menatap langit-langit sambil berkontemplasi tentang bermacam-macam hal yang sebenarnya tidak siap untuk ia pikirkan sekarang.
Lelaki itu lebih suka pergi ke sekolah. Setidaknya waktunya tidak habis untuk termenung sendirian dengan melakukan banyak hal.
Leon curiga mengurus kebun sekolah sebenarnya adalah salah satu bentuk terapi.
"Udah tahu mau lanjut ke mana?" tanya Leon pada sosok yang berjongkok satu setengah meter darinya.
Pasalnya, sejak hari pertama masuk semester genap kemarin seluruh kelas mulai ribut dengan urusan pilihan-jurusan-dan-universitas-kita-jangan-sampai-sama. Raport semester ganjil adalah pertimbangan terakhir untuk jalur undangan, begitu hasilnya keluar tentu semua akan sibuk menyusun strategi.
"Udah," Kathrin bergeser menjauh untuk menyirami pohon jeruk yang belum berbuah. "Agroteknologi."
"Cocok, sih," komentar Leon, jujur.
"Leon?"
"Manajemen."
"Lintas jurusan ke IPS, dong."
"Iya," sang siswa sedikit lega tanggapan yang didapatnya tidak heboh. "Tapi gue belum bilang ke orang tua."
Atau karena Kathrin memang orang yang seperti itu saja, ya?
"Gue baru ngasih tahu ke Melvin, Tristan, Dipta," tambahnya seraya memupuk tanaman jeruk lainnya.
"Kayaknya ortu bakal oke oke aja, cuma nggak tahu kalo kepengaruh Om, Tante, Opa gue."
"Keluarga gue teknik semua kecuali Bunda sosiologi."
"Kayaknya nanti konsultasi ke BK gue juga bakal diomelin."
"They expect me to get that jalur undangan, kan, pasti."
"Nggak tahu, ah."
Kalimat-kalimat itu mengalir begitu saja dari mulut Leon. Rasanya ada sebuah pintu yang terbuka. Sore itu dirinya ingin mengeluarkan apa yang selama ini tertahan di balik dinding. Apa yang selama ini menjadi bahan pembicaraan dirinya dengan langit-langit di kamarnya. Padahal itu semua hanya dirinya sendiri dan segala macam kata pengandaian yang ada.
"Kenapa gue bawel banget, ya, hari ini?" Leon berdiri dan mengamati lapangan sekolah di mana ada anggota dari klub bola yang sedang berlatih. Lapangan ini ternyata adalah mesin waktu yang membawanya melihat sosok dirinya dari tahun-tahun sebelumnya.
Kalau boleh Leon masih ingin berlarian di sana dalam dua babak alih-alih memikirkan kelanjutan dari perpanjangan waktu ini.
"Kalo begini jadi kayak kakak kamu," celetuk si rambut sebahu ketika ia memotong daun-daun yang layu dari tanaman monstera.
"Lo kenal?"
"Nggak, cuma impresi pertama lihat."
Hampir saja Leon menjatuhkan selang biru saat mengira ada hal penting yang dilewatkannya.
"Oh, kirain kenal secara personal. Dari mana gitu," celetuknya santai. Leon memutar keran dan menyirami tanaman berukuran lebih besar dengan selang di bagian selatan.
"Sion," ucap lelaki itu, menyebut nama kakak tercintanya. "Dia emang anaknya ramah, mudah bergaul."
"Tapi yang paling bikin gue iri adalah dia tahu dan yakin tentang apa yang disuka."
"Beruntungnya lagi pilihan dia didukung keluarga dan dia mampu mencapai itu."
Leon tidak 'iri' pada kakaknya dalam artian 'ingin mengalahkan' atau apa. Hubungan mereka sebenarnya baik-baik saja. Hanya saja Leon menilai sebagian dari keluarga besarnya hanya melihat dirinya sebagai cetakan kedua dari Sion yang bisa apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
全力少年 All Out Boy; boys planet 02z
Fanficsegelintir cerita empat pemuda dalam mengatasi gempuran persoalan persahabatan, cinta, keluarga, dan mimpi menjelang hadirnya momok utama siswa kelas dua belas; ujian masuk universitas. 2023 © konnayuki