Tristan berdiri sambil menempelkan telapak tangannya pada permukaan kaca jendela kelas bagian belakang. Rasa dingin menjalar dari sana. Hari ini hujan turun sejak jam pelajaran ketiga hingga sekarang, beberapa menit setelah jadwal terakhir selesai. Wajar sekali karena setiap tahun hujan selalu rajin berkunjung di Januari.
Suara gemericik memenuhi telinga Tristan, menjadi latar suara bagi kepalanya yang tak kalah berisik. Tadi Pradipta membagikan angket dari Bimbingan Konseling yang berisi pilihan rencana studi lanjutan. Itu saja sudah membuatnya resah tidak karuan.
Sayangnya itu bukanlah hal yang paling ia risaukan, melainkan fakta bahwa angket itu harus ditandatangani oleh wali murid. Tristan sendiri sudah lelah hanya dengan membayangkan jalan terjal macam apa yang ada di hadapannya.
"Leon, jawab 'nggak'. Lo bawa payung nggak?" titah Melvin sambil berdiri saat Tristan kembali ke bangkunya, tepat di belakang dua sejoli.
"Nggak," jawab Leon datar.
"Oke."
Melvin menyodorkan payung lipat berwarna hitam pada teman di sebelahnya. Leon menerima dengan raut kebingungan.
Tristan merasa ini akan menjadi tontonan yang menarik. Dirinya menaruh perhatian penuh tanpa membereskan buku matematika yang masih tergeletak di atas mejanya.
"Lah, lo gimana?"
"Aman."
Dalam dua kedipan si pemilik payung sudah ada di barisan bangku kanan di kelas. Menahan langkah seseorang dengan memegang bagian kait atas dari ransel biru tuanya.
"Risa!" panggil Melvin, sambil menunggu seseorang itu berbalik. "Ikut sampe halte depan."
"Hah?" yang ditahan menampilkan ekspresi heran.
"Gue nggak ada payung. Please sampe situ doang."
Apakah Melvin berbohong? Tentu saja tidak.
"Lo pake aja kalo gitu."
Siswi berambut kuncir ekor kuda itu justru menyerahkan payung transparannya pada Melvin. Tidak tega sebab ada jadwal bus yang harus 'dipatuhi' anak itu untuk dapat pulang dengan segera.
"Jangan, nanti lo gimana? Mending bareng kan lo juga ke gerbang," tutur Melvin, mendorong si payung kembali pada pemiliknya. Si kuncir kuda tampak berpikir sejenak. Sepertinya memang lebih baik seperti itu.
"Ya udah, ayo."
Mendengar jawaban itu, Melvin mendadak cerah di tengah cuaca yang muram. Ia lalu mengekori Risa untuk menerjang hujan bersama-sama walau hanya sampai halte depan. Melvin tahu Tristan memperhatikannya dari tadi maka ia sempat melambaikan tangan pada si kacamata.
"Oke, bisa banget," Tristan mengulum senyum sambil menopang dagu di atas mejanya.
Belum selesai dengan kegiatannya mentertawakan tingkah Melvin, Tristan kembali dibuat 'geli' dengan tingkah yang satunya.
"Kath," Leon menghampiri bangku Kathrin saat sang siswi sibuk merogoh tasnya. Seperti sedang mencari sesuatu.
"Ya?"
"Lo nggak bawa payung lipat?"
"Lupa," sang siswi mendongak. Rupanya mereka kini tidak lagi berpura-pura tidak akrab meskipun masih ada banyak siswa lainnya.
"Nggak usah, Leon. Kamu pake aja, kan kamu yang bawa."
"Gue masih nanti pulangnya, paling pas udah reda."
Leon menaruh payung hitam yang dipegangnya di atas meja Kathrin. Payung hitam milik Melvin, tentu saja.
"Beneran?"
KAMU SEDANG MEMBACA
全力少年 All Out Boy; boys planet 02z
Fanfictionsegelintir cerita empat pemuda dalam mengatasi gempuran persoalan persahabatan, cinta, keluarga, dan mimpi menjelang hadirnya momok utama siswa kelas dua belas; ujian masuk universitas. 2023 © konnayuki