H-219

163 50 26
                                    

Sebagai anak dari orang tua super sibuk, Tristan mempunyai kelebihan yang dikuasai karena terpaksa pada awalnya. Salah satunya adalah skill memasak di atas rata-rata remaja laki-laki seusianya. Hari ini pun ia menyatap sarapan yang dimasaknya sendiri seperti biasa.

Bedanya ada seseorang lain yang pagi ini turut menikmati hidangannya itu.

"Makan yang banyak, kamu harus fokus pelajaran. UAS semester ganjil sebentar lagi, kan?" ucap Papa Tristan sambil mengecek ponsel.

Oh, ya ampun. Ini meja makan, kalau lupa.

"Kira-kira bisa nggak kamu lolos jalur undangan?"

"Susah, Pa."

Tiba-tiba Tristan merasa ayam gorengnya hambar. Pembahasan semacam ini selalu terasa seperti obrolan satu arah. Papa dan Mama tidak pernah mendengar pendapatnya mengenai pilihan jurusan yang akan diambil. Alih-alih memahami minatnya di bidang lain, mereka berdua secara sepihak memaksakan kehendak agar Tristan mengikuti jejak keduanya.

Belajar biologi SMA saja rasanya seperti siksaan baginya. Apalagi dipaksa berjuang untuk Fakultas Kedokteran, itu akhir dunia. Bukan salah biologi maupun jurusan mentereng tersebut. Hanya saja Tristan tidak memiliki minat dan bakat di bidang itu. Bukankah setiap individu itu unik, walaupun terdapat ikatan darah sekalipun?

Maka jika pembahasan tentang perkuliahan semacam itu dilempar langsung ke muka Tristan, ia hanya akan menjawab ala kedarnya.

"Kalau gitu bulan depan coba ikut program intensif aja. Ngejar di jalur ujian," lanjut Papa tanpa mengindahkan raut Tristan yang sudah sangat kecut.

"Papa punya kenalan di salah satu bimbel, semoga bisa diurus kalau mau join di pertengahan tahun ajaran kayak gini."

"Udah mau berangkat?"

Sang siswa beranjak dari meja makan membawa piringnya yang hampir bersih. Ia menuju wastafel dapur, berniat langsung membersihkan alat makannya lalu berangkat sekolah. Lagipula dirinya sudah rapi dengan seragam lengkapnya.

"Mau piket," itu hanya alibi sebab; pertama, sekarang masih pukul 06.08. Untuk piket pun masih terlalu awal. Kedua, Tristan tidak piket kecuali kalau Pradipta sudah mengancam sambil membawa sapu.

Pagi yang terjadi tidak untuk diulang. Setelah dihadapkan dengan kalimat-kalimat yang tidak ingin didengarnya sekarang, Tristan kembali dihadapkan dengan kalimat-kalimat yang tidak ingin dibacanya.

Kelas masih sangat sepi. Hanya ada dua orang lain yang sedang saling menyalin pekerjaan rumah. Tristan jadi ingat ia belum mengerjakannya. Biologi. Tristan jadi ingat ia tidak berminat mengerjakannya. Ketika membuka map transparan dari dalam tasnya untuk mencari lembar kerja itu, ia justru menemukan selembar kertas yang lebih menarik.

Jarak sesungguhnya tidak pernah tentang seberapa jauh tempatmu—ruang kelas 12-2—dan tempat saya—suatu sudut lain di sekolah. Jarak adalah seberapa besar keberanian yang dibutuhkan untuk berdiri menatap kedua manik cokelatmu dan mengatakan setiap kalimat, paragraf, dan lembaran kata ini secara langsung padamu. Sayangnya saya merasa tidak akan bisa melampaui bentangan itu.

Kejujuran bukan menyampaikan apa yang sesungguhnya saya lihat, dengar, tahu, dan rasa. Lebih dari itu, kejujuran bagi saya ialah menyerah dan mengaku kalah karena kamu pemenang dalam upaya saya menghargai kehidupan di mana ada kamu di dalamnya. Dan saya bukan orang yang jujur.

Biru tidak sama dengan warna langit. Biru adalah kegelisahan tiada henti yang menggulung hati laksana ombak dan meninggalkan saya jika saja saya tidak bisa lagi melihat senyum manismu. Tanpanya semua warna terlihat sama.

Manakah yang lebih mungkin tidak akan berbohong? Lautan paling dalam atau langit paling tinggi? Menyelami dan menjelajahi keduanya, saya ingin sekali. Juga hatimu, jika izin kamu beri.

全力少年 All Out Boy; boys planet 02zTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang