03

30 15 0
                                    

Dengan wajah pucat, mau tak mau Nata harus melajukan mobil mengikuti arah jalan. Karena ucapan kakek-kakek di sawah beberapa menit lalu.

Mereka-pun sekarang mulai ragu untuk melanjutkan perjalanan. Namun, jika ingin tetap hidup mereka harus sampai garis akhir.

“Harusnya kita gak turun tadi ...” Ungkap Nata dengan bergetar sembari mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Berniat untuk segera menjauh dari sawah tempat mereka singgah.

Angga meminum sebotol air yang ia taruh di sampingnya. Ingin meredakan keterkejutan yang ia dapatkan. Bukan hanya Nata yang menyesal, ia juga menyesal ingin bertanya.

Dengan nafas yang masih ia atur, Angga menjawab “Gu-gue ju-juga gak tau kalo kakek itu...”


































































“....”


---------

30 menit yang lalu ...

“Yaiyalah, turun.” ucap Angga, yang sudah turun menginjak tanah sawah.

Dari belakang Nata bermisuh-misuh, perasaannya tidak enak.

Entah dia akan terjatuh ataukah ada hal lain yang menjadi penyebab perasaannya bergejolak.

“ANGGA ... TUNGGUIN GUE!” Teriak Nata pada Angga yang sudah jauh di depan sana. Hampir mencapai tengah sawah, tempat kakek-kakek itu bekerja.

Mendengar teriakan Nata, Angga sekilas berbalik. “CEPETAN! LAMA BANGET LO.”

Mendengar teriakan Angga yang menggema, Nata mengeluarkan jari tengahnya dari kejauhan.

Brakk...

“Halah, taik.” Nata terjatuh saat memberi Angga jari tengah.

Celana dan bajunya sekarang kotor akibat tanah dan lumpur. Ini hari ter-sial bagi Nata.

Dengan cepat dan hati-hati Angga berdiri, ingin mengejar Angga yang sudah jauh di depan sana. Akan tetapi, saat ia berdiri Nata tidak menemukan keberadaan Angga.

Sepertinya tadi bada Angga masih tertangkap oleh netranya.

“ANGGA ....”

“ANGGA ... BERCANDA LO GAK LUCU!” teriak Nata sekali lagi.

Perlahan angin berhembus kencang mengenai kulitnya, bulu tangannya kini bergidik terasa dingin. Langit perlahan menggelap, menandakan sudah menjelang malam.

Nata kemana?

Sekarang masa bodoh dengan baju kotor ataupun dia akan terjatuh lagi. Nata berlari menuju lokasi terakhir Angga berdiri sebelum ia terjatuh.

“Tuhan, tolong...” batin Nata.

Ia berhenti. Ia lelah, Nata tidak pernah lari di jalan becek seperti ini. Nata berputar, melihat sekelilingnya. “ANGGA ... LO DI MANA DEK?”

Krekk...

Tunggu, ada sesuatu yang Nata injak. Ia berbunyi, tolong jangan hal aneh.

Dengan berani walau sedikit takut, ia melihat kearah kakinya. Tepat di bawah kakinya, ia menginjak sebuah ranting dengan ...





... Headphone Angga?

***

“Lo yakin ini rumahnya?” tanya Angga dengan menatap sebuah gerbang rumah.

Ralat! Lebih tepatnya sebuah rumah panggung dihiasi pendopo dan pagar batu yang dihiasi lumut.

Nomor rumahnya pun sudah berdebu.

Apa yakin? Di tengah hutan ini, hanya rumah dihadapan mereka yang ada.

Apa yakin? Ada orang yang tinggal di sini?

“Yakin tidak yakin.”

“Kalo gak yakin mending pulang!” rengek Angga masih ketakutan.

“Cemen Lo!,”  ejek Nata, Itu, ada di mobil, kan? Ambil gih, gak enak bertamu gak bawa apa-apa.”

Angga mendengus. “Gak enak kalo ada orangnya! Nanti oleh-oleh kita mau ngasih ke siapa? Gak ada penguninya!” kesal Angga dan berniat berbalik badan. Tapi sebelum itu ...

Puk...

Satu tepukan jari-jemari mendarat di bahu Angga. Tubuhnya tersentak menegang. Matanya melirik sebuah tangan yang berada di bahu kanannya.  “Nat, di belakang gue ada orang gak?”

Mendengar itu, Nata merasa heran.

Orang? Jelas-jelas di sini hanya ada mereka berdua.

@rnndt_sfyn

DIAM (Park Jeongwoo) || ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang