Etika

89 50 17
                                    

Pulang.

Kata itu apa masih pantas untuk Dikarya?

Raganya sekarang ada di rumah eyang, tapi hatinya entah berkelana kemana.

Mungkin dibawa Geeta?
Entahlah.

Saa ini Dikarya duduk di ruang tengah dengan menonton tv, ditemani keripik singkong buatan Narasta—nenek Dikarya.

Sedikit pemberitahuan, Narasta tidak terlihat setua itu. Masalahnya, setiap bulan ia pergi ke klinik kecantikan untuk mem-permak wajahnya.

Maklum. Orang kaya.

Umur Narasta dan menantunya berbeda jauh, tapi kelakuan mereka sama, hingga terkadang dianggap adik-kakak dengan selisih umur berbeda.

Sudah cukup tentang itu.

Dikarya bersantai dengan tenang.
Tentu saja tenang. Memangnya apa yang sudah dia lakukan selama ini?

Untuk masalah headphone, sudah terselesaikan. Saat tadi bertemu Geeta, Dikarya dan Rangga mengantar Geeta pulang.

Lokasi minimarket tidak jauh dari perumahan Geeta, saat sampai di rumah Geeta, Dikarya langsung mendapat headphone Angga.

Alhasil, Rangga mendapat headphone -nya lalu mampir ke kampus.

Sejujurnya, jika tidak bersama Geeta-pin, Dikarya sudah tahu rumah Geeta.

Berawal dari bantuan laptopnya, hingga ia bisa mengirim surat ke lokasi tujuan.

Untuk itu, jangan ditanya. Nanti tahu sendiri.

Sedari tadi Dikarya santai dengan keripik yang ia makan. Sangking santainya, keripik yang ia gigit tiba-tiba habis.

Maka, ini waktu Dikarya untuk tambah lagi.

Di rumah megah ini hanya ada Dikarya, Narasta, Arsena, dan 20 asisten rumah tangga.

Mama dan papa Dikarya sudah pulang ke rumah, katanya akan menghadiri acara pernikahan.

Dikarya berjalan menuruni anak tangga menuju ke bawah, niatnya ingin mengambil makanan lain.

Dikarya tidak kerja apa-apa, jadi kerjanya makan saja. Mumpung di rumah eyang yang menyayanginya.

“Tuan muda, apa perlu sesuatu?” tanya salah satu asisten rumah tangga, saat melihat Dikarya didepan pintu dapur.

Dikarya hanya menunjukkan mangkok kaca yang dihiasi serpihan singkong.

“Tuan mau nambah?” tanya asisten rumah tangga itu.

Dikarya mengangguk sebagai jawaban, lalu duduk disalah satu kursi, sembari menunggu asisten itu mengambilkannya keripik dari tupperware.

Disisi lain, ada dua orang asisten yang mengarah masuk ke arah dapur. Mata Dikarya bisa melihat mereka melalui pintu kaca transparan.

Terlihat mereka tertawa, bukan tertawa bahagia. Agaknya tertawa meremehkan.

“Cucunya bisu...”

Samar-samar, kalimat itu terdengar ditelinga Dikarya.

Tentunya 2 kata itu tertuju pada Dikarya.

Apa salahnya sih? Kenapa jika Dikarya bisu? Apa itu membuat kurang gaji mereka?

Dikarya menatap mereka dengan biasa, disaat mereka tertawa setibanya canggung ketika sadar bahwa Dikarya melihat mereka sedari tadi.

Bahkan, sedikit jelas Dikarya mendengar perkataan mereka.

“Tuan, ini.” kata asisten rumah tangga yang tadi mengambilkan keripik untuk Dikarya.

Mata Dikarya teralihkan, dan tangannya mengambil mangkok yang sudah terisi keripik.

Dikarya bangkit, tidak ingin lama-lama di tempat panas ini.

Sementara Dikarya berjalan, ia sempat menatap tajam kedua asisten rumah tangga yang tadinya mengolok-olok dirinya.

Disisi lain, kedua asisten rumah tangga itu hanya diam menundukkan kepala.

Harusnya mereka sadar, mereka hanya orang dari kalangan bawah.
Berani sekali mengolok Dikarya.

Dikarya tidak ingin memperpanjang masalah, toh nantinya mereka akan sadar sendiri.

Dikarya berjalan menuju lagi ke ruang tv, saat sampai, Dikarya melihat Narasta dan Arsena yang duduk di depan tv.

Sialnya. Mereka mengganti saluran tv.

“Hei, kamu dari mana? Sini duduk.” tanya Narasta sembari menepuk-nepuk sofa kosong disampingnya.

Dikarya hanya tersenyum, dan duduk disamping Narasta sembari menaruh keripik yang ia bawa.

“Jangan banyak makan keripik, tenggorokanmu nanti sakit.” kata Arsena saat melihat mangkok berisi full keripik.

Dikarya juga hanya bisa tersenyum dan mengangguk.

Di saat yang bersamaan, setelah Dikarya mengangguk untuk menjawab Arsena, saluran tv yang mereka tonton mengeluarkan berita terkini.

Entahlah. Mungkin suatu kebetulan, mungkin juga suatu perencanaan.

PRANGG...

Mangkok kaca berisikan keripik itu pecah seketika akibat ulah Arsena.
Puncak kemarahannya mengepul drastis setelah mendengar berita tentang keluarganya.

Dikarya hanya menghela nafas, tidak bisakah dia tenang dan tidak melihat kemarahan untuk sehari saja?

Aku rasa itu tidak bisa.

***

@rnndt_sfyn

DIAM (Park Jeongwoo) || ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang