Pertama

151 80 103
                                    

Ije wasseo ya~~~ kkaedareoseo neon
Naege neo hana~~~
Bogoshippeo tto bogoshippeo ddo
Ije neo man gereon ga bwa~~~

Lantunan musik itu terdengar jelas ditelinga Dikarya, dia bisu tapi jangan sangka dia tuli.

Dia suka bernyanyi, setiap saat Rangga membuat lagu, ia selalu duduk bersama kakak keduanya itu, mendengar dengan seksama lagu yang dibuat oleh Rangga.

Rasanya, ingin hatinya untuk bernyanyi juga, bersuara dengan mengeluarkan irama. Mengisi hari dengan nada, dan membuat lagu dengan rasa.

Rasa yang selalu dia usahakan menjadi bahagia, bukan untuk menjadi lara ataupun luka.

Tapi, bagi Dikarya, mendengar lagu saja sudah membuatnya bahagia, setidaknya, jika dia tidak bisa bernyanyi, ia bisa mendengar orang lain bernyanyi.

Bernyanyi untuk mengeluarkan isi resah hati, jika jatuh cinta mereka berlagu, jika sedih mereka bersenandung.

Dikarya cukup mendengarkan saja, dengan mendengarkan, ia sudah menjadi bagian dari sebuah karya.

Siang ini, Dikarya meminjam headphone kakaknya lewat chatting.
Saat itu Rangga sedang keluar bersama teman-teman bandnya.

Anda
Kak, pinjam headphone.
Boleh?.....

Rangga huru hara
Boleh, tapi jaga baik-baik ya dek.
Itu pemberian tersepsial.

Anda
*Special.
Bukan sepsial.

Rangga huru hara
Sama aja, jangan bawwlo.

Anda
Makannya jangan belepotan.

Rangga huru hara
Berisik lo.

Anda
Gw bisu kak. Wkwk...

Berisik? Dikarya bicara saja tidak bisa. Bagaimana bisa, ia berisik?
Rangga selalu menganggap adiknya baik-baik saja.

Rangga huru hara
Gak gitu.
Maksud kakak, suara notifnya berisik.
Baperan amat.

“Dikarya juga bercanda,” ucap hati Dikarya. “tapi kok malah Angga yang keliatan baperan?” lanjutnya.

Rangga huru hara
Gw gk  bprn.

Notif baru itu seketika membuat Dikarya sekali lagi membuka handphone-nya.

“Lah, sekarang malah kospley kak Nata.”

Aneh memang kakak beradik satu ini.

Kembali lagi pada masa kini.
Kini Dikarya tengah duduk ditaman, di bawah pohon rindang, dan tentunya siang-siang.

Tapi, siang ini cuaca tidak panas, malahan udara terus menari-nari menerpa tubuh Dikarya.

Headphone warna putih, baju oblong warna hitam, celana jeans warna hitam dihiasi kaspir warna putih, sepatu berlogo centang berwarna hitam bertali putih.

Sedikit lagi, style Dikarya sudah seperti orang hitam putih.

Tapi itu cocok dengannya, kulit sawo matang, rambut yang tersibak oleh angin, headphone yang menghiasi telinga, kalung yang melingkar di dekat dada, hingga jam tangan yang melingkar dekat nadi.

Sangking sempurna daksanya, siapapun yang melihat tidak akan menyangka bahwa dia ‘tunawicara’.

Hingga pada saat lagu yang didengar Dikarya terhenti, ia malah mendengar suara isak tangis seorang wanita.

Suaranya terdengar sangat jelas.

Siang-siang bolong begini ada hantu? Setan? Kunti? Apa jangan-jangan kuntinya ada di atas pohon?

Tuhan. Tolonglah, Dikarya yang parno itu ingin sekali berteriak.

Dan, mengapa tiba-tiba taman ini menjadi sepi? Dan mengapa cuaca siang ini semakin mendung? Serta mengapa angin semakin kencang.

Bulu tangan Dikarya kini menegak, detak jantungnya kini tak beraturan, hatinya kini merengek ingin pulang.

Tidak beraturan saat mencoba melangkah mengikuti jejak suara.

Seperti difilm-film angker.....

Satu ... Dua ... Tiga ...

Ternyata hanya ada manusia.

Manusia yang mungkin menjadi cinta pertamanya?

Dia seorang gadis, entah dari kapan terduduk di belakang pohon. Tepat berbelakangan dengan Dikarya.

Hanya batang pohon yang menjadi penghalang mereka.

Agaknya gadis itu sedari tadi menangis, mukanya sembab,

“Abis putus cinta?” tanya Dikarya dalam hati.

Jangan lupakan posisi mereka, Dikarya tengah berdiri, dan gadis itu masih duduk dan memeluk kakinya.

Perlahan-lahan, Dikarya dengan jiwa kemanusiaan mengulurkan tangan,

dan dibalas dengan uluran tangan gadis itu.

Bukannya malu, gadis itu malah memeluk Dikarya, entah mengapa udara di taman itu semakin dingin. Atmosfer berubah seketika, hanya ada mereka berdua, ditemani suara petir yang kian detik dan kian menit menggelegag, seakan sang petir ingin menyambar.

Mungkin, dia butuh sandaran?
Lalu, mengapa harus bersandar pada Dikarya yang tidak sempurna?

***

“Saya boleh cerita nggak?”

Cerita tentang apa? Sungguh, sempurnalah harimu karna menemukan pendengar yang terbiasa mendengar.

@rnndt_sfyn

DIAM (Park Jeongwoo) || ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang