Euforia Ashel

798 112 1
                                    

Kalian mungkin tidak akan mengerti, sebahagia apa Ashel ketika Ardel mencegahnya pergi bersama Andra hari itu dan menagih janji yang pernah pemuda itu tolak sebelumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalian mungkin tidak akan mengerti, sebahagia apa Ashel ketika Ardel mencegahnya pergi bersama Andra hari itu dan menagih janji yang pernah pemuda itu tolak sebelumnya. Atau ketika Ardel bilang bahwa Ashel terlihat manis dengan rambut yang dikepang.

Hari itu seolah-olah ribuan kupu-kupu tak henti berterbangan di dalam perutnya. Ashel sangat bahagia. Hingga rasanya Ashel enggan untuk turun dari sepeda milik Ardel, padahal mereka sudah sampai di depan rumah Ashel.

Pun Ardel banyak memberi senyum yang ternyata sangat menawan. Bagaimana bisa Ashel tak pernah mengenal pemuda ini selama hampir 2 tahun belajar di sekolah yang sama dan ruang kelas yang bahkan tak jauh jaraknya.

Mari kita lupakan sejenak kejadian tersebut dan beralih pada Rabu pagi di awal bulan Maret ini.

Hujan mengguyur atap bangunan sekolah di siang hari. Tak biasanya seperti ini, terlalu mendadak. Kantin pun jadi lebih ramai oleh para siswa yang mengantri untuk membeli makanan dan tak mungkin pergi membeli di luar sekolah seperti hari-hari biasanya disaat hujan seperti ini.

Tak ada harapan untuk Ashel dan juga Marsha bila memaksa ikut berdesakan di kantin. Beruntung pacar nya Zedhiaf itu punya beberapa coklat kacang di saku roknya untuk mengganjal perut mereka.

"Apa kita pinjem payung aja ya ke ruang guru. Gak kuat banget aku pengen siomay mas anwar di depan," keluh Ashel, memeluk perutnya yang masih meraung ingin diisi.

"Tenang, Cel. Bentar lagi makanan dateng," kata Marsha.

Ashel tak mendengarkan dan berniat untuk pergi ke depan sendiri jika Marsha tak mau. Tubuhnya yang baru saja bangkit dari kursi terpaksa harus jatuh lagi ketika melihat Zedhiaf masuk ke dalam kelas, disusul Ardel di belakangnya.

Tak peduli Marsha yang beranjak menghampiri Zedhiaf dengan antusias, yang membuatnya terpaku saat ini ialah pemuda tinggi yang berdiri di ambang pintu sana.

"Sini, sini. Makan disini aja, Zed." Marsha menarik lengan pacarnya itu untuk masuk.

Ashel memberi gestur dengan tangannya supaya Ardel juga ikut ke mari. Walau awalnya canggung, akhirnya Ardel masuk ke dalam kelas lalu duduk di depan bangku Ashel bersama Zedhiaf.

"Basah banget jaketnya," ujar Ashel, menyadari jaket yang Ardel kenakan basah setengahnya. "Kalian gak pake payung?" tanyanya.

"Pake kok," jawab Ardel dan Zedhiaf berbarengan. Mata Ashel menyipit curiga saat hanya Zedhiaf yang cengengesan setelahnya.

"Biasalah, Cel. Ada tragedi sedikit tadi."

Sudah Ashel duga. Zedhiaf memang tak pernah jahil, sepertinya.

"Udah-udah. Mending kita makan." Marsha akhirnya menengahi. "Mana batagor punyaku?"

Lupakan tentang mereka berdua. Ashel menatap dua bungkus siomay hangat di kresek Ardel yang terlihat lezat itu dengan mata berbinar.

Teras Rindu (Delshel) [End] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang