Matthew terbangun begitu ketukan pintu yang di ciptakan oleh Nicholas mengusik pendengarannya. Ia butuh waktu untuk mencerna kronologi semalam, sebelum Nicholas curiga, Matthew hanya bermodal memakai celana boxer membukakan pintu untuk kakaknya.
"Lo kemana semalem? Nih HP lo ketinggalan di bar!" Nicholas melemparkan ponsel milk Matthew ke ranjang sembari menggeleng, tidak biasanya tempat tidur seorang Matthew Edwina Dwi Partawijaya sehancur ini. Hancur dalam arti berantakan parah, juga Matthew paling anti dengan kasur yang sprei-nya tak terpasang benar.
Wajah bantal Matthew tidak mempedulikan perkataan Nicholas. Jujur kepalanya masih sedikit pusing sampai Matthew tak menyadari bahwa pagi menunjukkan situasi.
"Thanks HP-nya, gue masih ngantuk, mending lo lanjut tidur."
Mata Nicholas memicing, satu tangannya ia gunakan untuk menahan Matthew agar mengurungkan niat kembali ke ranjang.
"Lo belum jawab pertanyaan gue,"
"Ck, apa sih? Gua tadi malem udah pusing jadi gua tidur buat ngilangin mabuk,"
"Kalau terjadi sesuatu bilang, siapa tahu gue bisa bantu, Matt."
Matthew merebahkan tubuhnya ke ranjang, lalu bergumam sebagai tanggapan pada pesan Nicholas. Nicholas tak mau berlama-lama, ia pergi karena rasa kantuknya akibat semalam suntuk berada di kursi bar belum terbayar. Langit di luar masih tampak redup, belum sepenuhnya pagi. Tersisa 3 jam lagi sebelum kegiatan Out Class hari kedua akan berjalan.
Setelah kepergian Nicholas, kantuk juga pusing Matthew berangsur menghilang. Ia duduk bersandar pada boardbed sembari memijat pelipisnya. Matthew mencoba menyusun ingatannya semalam, namun ada beberapa bagian yang sama sekali tak ia ingat.
Matthew duduk meminum sampanye, Karissa yang menghampirinya, dan, ia ingat seseorang mencampurkan obat perangsang di minumannya.
Apa selanjutnya?
Netra Matthew menelisik sekitar, berakhir menatap tangannya. Dia ingat, ia mencekal pergelangan seseorang. Perempuan dan mulai turun meraih tengkuk perempuan itu. Ia kembali menyusun. Lenguhan, tangis, jeritan kesakitan.
Dan Matthew terhenyak, rasa kepuasannya tadi malam.
Buru-buru menyibak selimut, Matthew menangkap corak darah mengering jelas di atas sprei putih ranjangnya. Pemandangan itu membuat nafasnya tercekat beberapa saat.
"Sial, gue ngapain semalem?" lirih Matthew nyaris tak terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
June
Teen Fiction[17+] June-si pecinta kedamaian tak pernah menyangka kehidupan nya akan merumit setelah tragedi di kamar hotel saat out class. Tragedi itu terjadi secara kebetulan menodong June sebagai korban. Di sisi lain-Matthew berusaha mengingat dengan yakin d...