Arthur terdiam bagai raja di sebuah bidak catur yang stuck siap di checkmate. Mendengar June berkata demikian membuatnya memutar ingatan lima tahun ke belakang.
"Saya tidak menyangka itu kamu," ucap Arthur lirih dan datar. Matthew merasakan kejanggalan pada keduanya.
"Saya juga tidak menyangka bapak dan keluarga bapak kembali buat menghancurkan saya," suara June bergetar ketika berujar.
Matthew beralih ke sisi June, melempar seulas raut penasaran, "apa maksudnya ini?"
"Matthew, lebih baik kamu bawa dia pulang, tidak baik membawa wanita hamil keluar terlalu lama," final Arthur sebelum pergi meninggalkan ruangannya sendiri.
"Ayo pulang, Kal."
"Bibir lo berdarah," bisik June nyaris tak terdengar. Matthew mengangguk, ia kembali menautkan tangannya di pergelangan tangan milik June sebagai pertanda mereka harus segera meninggalkan tempat ini.
Matthew menepikan motor-nya ke pelataran Apotik paling terkenal di kota. June di rundung bingung tetapi menepis karena ia pikir Matthew butuh obat untuk mengatasi luka hasil kemarahan ayahnya. Bukan June tak peduli pada luka Matthew, ia terlalu condong menjerumuskan otaknya pada urutan kejadian satu jam lalu. June tidak menyangka, Matthew ataupun Luke adalah anak pelaku penyebab utama kematian orang tuanya. Lucu, hidup ini terlalu lucu.
"Suplemen buat ibu hamil," kata Matthew pada pegawai apotik.
June mengernyit mendengar permintaan Matthew.
"Asam folat, vitamin, atau-"
"Semuanya, yang paling bagus dan mahal," Matthew merogoh dompetnya mengeluarkan kartu.
"Tunggu kak, saya mau kapas dan alkohol juga," tambah June tergesa sebelum karyawan tadi berlau, netra Matthew menuntut penjelasan dari June, "buat bibir lo,"
Ia sungguh bingung, June sangat tidak mengerti. Logikanya berkata untuk terus bersikap tak peduli dengan luka di sudut bibir sensual Matthew. Seolah terhipnotis barang tak kasat mata, dalam sekejap rasa tak peduli berganti paksa dengan rasa khawatir.
"Harusnya lo menghindar tadi," celetuk June tanpa sadar ketika dirinya menuangkan dua tetes alkohol pada kapas.
Matthew menghela nafas, "itu memang pantas gue dapetin."
June mengangkat setengah tangannya memberi isyarat agar Matthew mau mendekat. Laki-laki itu meringis tertahan kalau June menempelkan kapas bercampur alkohol.
"Siapapun ga pantas dapat kekerasan sekalipun dia pelaku tindak kriminal,"
"Lo peduli?" tanya Matthew reflek. June mengentikan gerak tangannya, terpaku tiba-tiba.
"N-no."
"Maafin gue," pecah Matthew di sela keheningan. June tak merespon. Memaafkan, satu hal yang terkadang sulit manusia lakukan untuk mengakhiri kesalahan fatal, June pikir ia salah satunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
June
Teen Fiction[17+] June-si pecinta kedamaian tak pernah menyangka kehidupan nya akan merumit setelah tragedi di kamar hotel saat out class. Tragedi itu terjadi secara kebetulan menodong June sebagai korban. Di sisi lain-Matthew berusaha mengingat dengan yakin d...