JUNE | 18

1.8K 127 36
                                    

Selama hadir di rumah Luke yang secara gamblang adalah kediaman mertuanya sendiri, June sedikit terus-menerus menghidupkan layar ponsel sekedar melihat urutan angka indikator waktu  beserta menit. Lebih tepatnya sejak ia mendapati Matthew juga berada di atap yang sama dengannya saat ini. Sekilas mata June tak luput dari jendela berkaca besar menjurus halaman belakang, langit di luar mulai abu nyaris hitam. Hari sial memang tidak di tandai dalam kalender, hujan gerimis berangsur membesar ikut menambah kekalutan June malam ini.

Bukannya merasa di kucilkan di rumah besar Partawijaya, alasan June ingin segera angkat kaki tak lain karena gelisah terhanyut tatapan terakhir Matthew sebelum pria itu hilang dari pandangan. Benar-benar mirip orang kepergok selingkuh dirinya. Ketika Luke hendak menghabiskan waktu berdua dengannya, Nicholas dan Richard selalu berhasil menyeretnya menuju permainan game yang sejak tadi mereka mainkan di layar besar. Alhasil June malah seperti nyamuk pengangguran di antara ketiganya.

"June, sini sayang," panggil Hani membuyarkan lamunan June, segera ia menghampiri ibu mertuanya.

"Kenapa, ma?"

Hani tersenyum, "di minum ya, sama ini kue langganan mama enak banget, kamu harus cobain!"

June mendapati segelas susu dan cheesecake berpotongan triangle. Memang waktu yang pas untuk menikmati kedua makanan itu. Ia juga mendapati suplemen vitamin merek ternama terselip di sela-sela piring kue. Hani begitu antusias menuntunnya untuk duduk di pantry.

"Mama gak punya susu ibu hamil, sama suplemen juga cuman punya ini, gak apa-apa 'kan sayang?" bisik Hani pelan sembari merangkul June.

"Ma, harusnya jangan seperti ini, June jadi gak enak bikin repot..." ucap June bergetar, tak di pungkiri matanya sedikit berkaca-kaca. Hani menggeleng cepat.

"No, mama gak keberatan sama sekali. Ayo di cicipi," June memotong sedikit bagian ujung kue berbahan dominan keju dan memasukan ke dalam mulutnya, "enak 'kan?"

June mengangguk antusias, itu bukan kebohongan yang di sengaja. Nyatanya kue itu memang enak.

"Kalau kamu suka nanti Mama bawain Red Velvet dari toko yang sama juga, itu lebih enak sih menurut mama,"

"Makasih banyak ya ma," Hani terkekeh dan memeluk June dari samping.

"Sama-sama sayang," Hani menyelipkan anak rambut June ke belakang telinga, "ibu hamil jangan banyak sedih ya sayang, gak baik. Mama mungkin ga berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi sama kalian bertiga, tapi kesehatan fisik dan mental kamu itu prioritas."

June berhenti menyendok cheesecake, tangannya selah reflek terhenti. Tangan kirinya bergerak meraih segelas susu setengah hangat.

"Aku, Aku sama Luke punya hubungan lebih dulu, sebelum bertemu Matthew..." June mengigit bibir bawahnya, "mungkin aku kelihatan rakus dan denial, tapi aku juga masih merasa bingung, Ma."

Tangan Hani tergerak mengusap punggung June lembut, "hidup kasih kita pilihan, tapi terkadang pilihan itu juga rasanya susah di putuskan. Pelan-pelan saja, pada akhirnya kamu akan tahu apa yang kamu harus putuskan."

"Makasih ma," di lubuk hati terdalam June, ia menangis. Hani mengingatkannya pada sang Ibu. Sudah lama ia tak merasakan sensasi sehangat ini dari seorang ibu.

"Kamu tahu Matthew pulang beberapa hari lalu ke rumah ini?" June menggeleng, Hani langsung menangkap sinyal perang dingin antara keduanya,

"Selama mama tinggal bersama keluarga ini, mama baru lihat Matthew punya raut frustasi. Dia hanya jawab nothing happened ketika mama tanya..." June mendengarkan ucapan demi ucapan Hani mengenai kondisi Matthew beberapa hari kebelakang, "...di rumah dia juga nyibukin diri dengan tugas dari ayahnya. Intinya Mama berharap separah apapun masalah kalian, semoga kalian cepat berbaikan lagi ya,"

JuneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang