June tercenung kosong di atas kursi pantry. Mata sembabnya tak sedikitpun berpaling dari punggung Matthew saat si pria sibuk menyiapkan sarapan. Pikirannya melayang ke momen semalam, saat mereka berdua langsung tertidur setelah saling membantu mengeringkan rambut, ralat, Matthew yang mengeringkan rambutnya telaten penuh kelembutan.
Tak hanya itu, June juga enggan lupa bagaimana ia kepergok diam-diam melekatkan hidung ke punggung kokoh itu ketika posisi tidur Matthew membelakanginya. June akui, dini hari tadi ia kehilangan akal. Kebiasaan menghirup aroma Matthew lewat bajunya ternyata kambuh bahkan mungkin kabar buruknya, June ketagihan.
"Kal?" panggil Matthew pelan masih dengan posisi membelakangi istrinya. June kontan kembali ke posisi semula, menjauhi Matthew ke ujung sisi ranjang.
Tanpa memastikan apakah June benar-benar tertidur atau hanya berpura-pura, Matthew menarik tubuh June dengan satu gerakan hingga badan mereka saling beradu, depan dengan belakang. Tangan kanan Matthew sengaja ia selipkan di bawah tengkuk June sebagai pengganti bantalan. June hampir memekik kala Matthew sedikit menyeretnya pelan ke arah belakang, bila saja ia tak lebih dulu kalut di serang rasa malu.
Tangan kekar Matthew lainnya mulai meraih permukaan perut June memberikan usapan terlampau lembut. Walaupun posisi June kini membelakangi Matthew, berdusta jika ia tidak bisa merasakan kuat aroma suaminya. Bagai terhipnotis, harum Matthew memangkas insomnia ringan June dalam hitungan menit.
"Kal, jangan bengong, makan."
Interupsi Matthew sukses menarik realitas June kembali. Entah sejak kapan tiga tumpuk pancake bertabur gula halus dengan tumpahan madu tersedia tepat di atas meja.
Tak mendapat respon signifikan dari sang istri, Matthew berceletuk, "are you feeling something?"
"No, cuma pusing sedikit, hari ini gue mau libur minum susu, please?" June berucap sembari memicingkan mata, Matthew yang hendak meraih kemasan susu bergambar ibu hamil mengurungkan niatnya, "punya Paracetamol?"
"Jangan sembarang minum obat, tunggu gue kontak dokter apa yang boleh Lo minum dan haram Lo minum," Matthew berkata sambil menuju kamar untuk mengambil ponselnya. June hanya memutar matanya, merasa jengah. Hidup di bawah pengawasan medis bukanlah sesuatu yang pernah ia harapkan.
Dirinya menghela nafas, apa boleh buat. Matthew protektif, dan itu demi kebaikannya serta calon bayi mereka. June terpaksa berprasangka baik untuk kali ini, mencoba menerima perhatian Matthew sebagai bentuk rasa peduli.
Matthew ikut bergabung di pantry, namun tangannya sibuk mengetik beberapa utasan untuk seseorang yang June yakini dokter obgyn Erisca. Netra June mengamati Matthew tanpa pria itu sadari. Rahang terpangkas kokoh, hidung tinggi mancung, dan tatapannya turun tepat di bibir sensual Matthew. June tak mengerti, dirinya bisa dengan mudah menaruh hati pada Luke, dan perlu di catat kedua insan itu punya karakteristik fitur wajah yang seiras. Divergensi keduanya hanya dalam sifat tingkah laku; Luke cukup ekstrovert untuk June yang introvert, namun Matthew, June butuh waktu untuk mencerna apa yang tengah berlangsung.
"Acetaminophen, dosis kecil, setelah makan..."
"Matt," pungkas June berbuah menghentikan perkataan Matthew, "can I kiss you?" tambahnya tanpa di duga.
Tiga detik keinginan itu terucap, June langsung buang muka dan panik sendiri. Matthew yang sama terkejutnya bisa melihat wajah merah kepiting rebus milik June.
"No, Matthew, I mean..."
Matthew mengabaikan reaksi goyah June, Ia langsung meraih sela pinggir bawah kursi yang tengah diduduki June. Dengan satu tarikan ke samping, jarak di antara mereka kini kurang dari 50 cm beberapa inci, Matthew bahkan bisa merasakan hembusan nafas hangat June yang memburu.
KAMU SEDANG MEMBACA
June
Teen Fiction[17+] June-si pecinta kedamaian tak pernah menyangka kehidupan nya akan merumit setelah tragedi di kamar hotel saat out class. Tragedi itu terjadi secara kebetulan menodong June sebagai korban. Di sisi lain-Matthew berusaha mengingat dengan yakin d...